Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 01:00 WIB | Sabtu, 20 Desember 2014

Jadilah Padaku Menurut Perkataanmu!

Dia—Sang Mahakuasa, lagi Mahaberdaulat itu—tidak menjadikan Maria sebagai objek, yang bisa diperlakukan sekehendak hati. Allah merasa perlu mengetuk pintu dahulu.
Malaikat Gabriel Mengunjungi Maria (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Siapakah Allah dalam Kisah Kelahiran Yesus? Pada hemat saya, Allah adalah Pribadi yang menghargai pribadi lainnya. Meski Mahakuasa—itu berarti semua ciptaan harus takluk kepada-Nya, namun Allah merasa perlu menyuruh Gabriel untuk meminta izin Maria. Dia—Sang Mahakuasa, lagi Mahaberdaulat itu—tidak menjadikan Maria sebagai objek, yang bisa diperlakukan sekehendak hati. Allah merasa perlu mengetuk pintu dahulu.

Perhatikan catatan Lukas: ”Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria” (Luk. 1:26-27). Perhatikanlah: Maria tidak langsung mengandung dari Roh Kudus. Allah merasa perlu mengutus Gabriel untuk memberitahukan rencana besarnya kepada Maria.

Sejatinya, demikianlah pola yang dilakukan Allah—tak hanya kepada Maria, tetapi juga Zakharia. Allah menghargai kehendak bebas manusia. Allah tidak pernah memaksa manusia untuk melakukan kehendak-Nya. Tidak. Manusia sendirilah yang harus memilih.

Lukas mencatat: ”Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: ’Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau’” (Luk. 1:28). Kata salam yang dipakai di sini, bukan sembarang salam; menurut Paus Emeritus Benekdiktus, lebih tepat diterjemahkan dengan ”Bergembiralah!”. Mengapa Maria harus bergembira? Sebab dia dikaruniai. Dalam BIMK tertera: ”yang diberkati Tuhan secara istimewa!” Maria adalah pribadi pilihan. Dan itulah alasan baginya untuk bergembira.

Maria terkejut dan bertanya-tanya dalam hatinya. Reaksi Maria berbeda dengan reaksi Zakharia. Zakharia terkejut dan menjadi takut. Menarik disimak perbedaan dari keduanya, Sang Imam terkejut dan menjadi takut; sedangkan perempuan biasa dari Nazaret terkejut dan bertanya-tanya dalam hati. Ketakutan memang manusiawi, tetapi ketakutan juga merupakan tanda keberdosaan manusia. Ketakutan terjadi ketika seseorang merasa kenyataan mungkin akan berbeda dengan harapan.

Tampaknya Allah memang tidak salah pilih. Maria agaknya pribadi yang percaya diri. Dia juga pribadi yang rendah hati—dia tidak merasa lebih tinggi atau lebih rendah dari yang seharusnya. Orang menilai diri terlalu tinggi atau terlalu rendah sering dikuasai ketakutan karena dia merasa tidak aman sebab dia merasa orang akan terus mempertanyakan posisi dirinya. Dan tanggapan orang akan membuat dia takut setengah mati.

Dan Gabriel pun langsung mengomunikasikan visi Allah kepada Maria. Gabriel menjelaskan bahwa Allah mempunyai visi dan ingin Maria terlibat dalam visi Allah itu. Menarik disimak, Allah mengomunikasikan visi-Nya dan ingin melibatkan manusia dalam merealisasikan visi-Nya. Mungkin karena kerendahan hati Allah itulah, di samping ingin menempatkan diri pada tempatnya, Maria berkata, ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu. (Luk. 1:38).

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home