Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 01:00 WIB | Sabtu, 06 Desember 2014

Lima Potret Kepemimpinan

Di tengah krisis kepemimpinan Indonesia sekarang ini, sikap dan gaya kepemimpinan Yohanes Pembaptis layak diteladani.
Yohanes Pembaptis (foto: istimewa)

 

SATUHARAPAN.COM – ”Inilah  permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah” (Mrk. 1:1) Demikianlah prolog Injil Markus. Berbeda dengan penginjil lain—yang langsung bicara soal Yesus—Markus menceritakan tentang pribadi lain. Orang itu adalah Yohanes Pembaptis.

Yohanes Pembaptis bukanlah figur sembarangan figur. Di tengah krisis kepemimpinan Indonesia sekarang ini, sikap dan gaya kepemimpinannya layak diteladani. Setidaknya ada lima potret yang bisa dikemukakan di sini.

Pertama, di tengah banyak orang yang ingin menjadi nomor satu, ada yang bersedia menjadi nomor sekian. Dia sedang naik daun kala itu. Banyak orang menganggapnya Mesias—pribadi nomor satu. Namun, tegas dia berkata, ”Aku bukan Mesias.” Dia tak mau menjadi nomor satu.

Kedua, di tengah banyak orang yang menggunakan aji mumpung—mumpung orang memercayainya—Yohanes kukuh pada sikapnya. Dia tidak mengeksploitasi ketidaktahuan orang.

Banyak orang berharap tinggi terhadapnya. Dia pribadi fenomenal. Gaya hidupnya unik, seunik pakaiannya: jubah bulu unta dengan ikat pinggang kulit; juga makanannya: belalang dan madu hutan. Tetapi, dia tidak mengambil untung dari ketidakpahaman mereka.

Ketiga, di tengah banyak orang yang mencoba menjadi orang lain, ada  yang tetap berusaha menjadi diri sendiri. Orang itu adalah Yohanes Pembaptis.

Dia tidak tergoda menjadi orang lain. Meski banyak orang mengharapkannya menjadi orang lain, dia tetap menjadi dirinya sendiri. Dia mengaku, ”Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan!” (Yoh. 1:23). Ada kepercayaan diri dalam pengakuannya. Yohanes Pembaptis merasa memiliki panggilan khusus—menjadi suara yang berseru-seru di padang gurun.

Tampaknya, Yohanes Pembaptis memahami, setiap orang diciptakan unik—tak ada duanya. Itu berarti setiap orang memiliki panggilan khusus. Pemahaman akan panggilan khusus akan membuat seseorang tetap fokus dalam menjalani hidup. Banyak energi dan waktu terbuang sia-sia karena ketiadaan fokus.

Keempat, menjadi diri sendiri akan membuat kita lebih rendah hati dan jauh dari rasa iri. Itulah hidup yang dijalani Yohanes Pembaptis. ”Membungkuk dan membuka tali kasutnya-Nya pun aku tidak layak,” jelasnya. Yohanes Pembaptis tahu diri. Dia hanyalah pembuka jalan. Sehingga, bukan dia yang dielu-elukan, tetapi Yesus orang Nazaret.

Menjadi diri sendiri akan membuat kita lebih rendah hati karena kita paham setiap orang punya kekuatan dan kelemahan—tak perlu minder, apa lagi sombong. Kelima, di tengah banyak orang yang undur, ada yang setia menjadi saksi kebenaran, yang membuat dia kehilangan kepala. Orang itu adalah Yohanes Pembaptis.

Mengapa Markus memulai Injilnya dengan kisah Yohanes Pembaptis? Mungkin, karena Markus hendak berkata, ”Sehebat-hebatnya Yohanes Pembaptis, toh dia—seperti yang diakuinya—hanya pembuka jalan.” Dengan kata lain, Yohanes Pembaptis saja sudah sehebat itu, apalagi Pribadi berikutnya?

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home