Loading...
BUDAYA
Penulis: Eben Ezer Siadari 19:03 WIB | Senin, 03 November 2014

Joas Adiprasetya Menyesal Menonton "Left Behind"

Film ini meninggalkan banyak sekali celah lebar yang membuat teologi pengangkatan (rapture) makin menunjukkan ketidakjelasannya.
Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Joas Adiprasetya. (Dok Pribadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM Left Behind, film thriller apokaliptik yang dibintangi Nicholas Cage, cukup banyak menarik perhatian kalangan Kristiani belakangan ini. Film ini diadaptasi dari novel bestseller karangan Tim LaHaye dan Jerry Jenkins yang berjudul sama. Sama seperti novelnya yang sudah terjual sampai 65 juta eksemplar, film ini juga mempromosikan premis bahwa kebanyakan orang akan ditinggalkan di dunia, dan orang yang percaya diangkat ke surga.

Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta), Joas Adiprasetya, termasuk yang tertarik untuk menonton film ini. Namun akhirnya ia mengaku sangat menyesal telah menonton. Bukan terutama karena pesan teologis yang disampaikan, melainkan karena kualitas filmnya.

“Saya awalnya tertarik dengan nama pemeran seperti Nicholas Cage, yang ternyata tidak menampilkan kemampuan terbaiknya. Pada akhirnya, jika pun ada yang ‘seru,’ sebenarnya adalah proses penyelamatan pesawat terbang dan bukan soal pandangan teologis yang ingin ‘dikhotbahkan’ lewat  film ini. Jadi saya sekadar memandangnya sebagai sebuah film action belaka, itu pun buruk,” kata Joas, dalam percakapan dengan satuharapan.com, hari ini (3/11).

Kendati demikian,  doktor teologi dari School of Theology Boston University, AS,  ini  tidak dapat juga menyembunyikan keinginannya untuk mengomentari “teologi pengangkatan,” atau rapture theology, yang ingin digaungkan oleh film ini. Sebab, bagi Joas, teologi ini memiliki dampak destruktif terhadap pemahaman bahwa dunia ini diciptakan Allah dengan sangat baik.

“Sebagai sebuah film, menurut saya rugilah jika kita menontonnya. Sebagai sebuah alat promosi pandangan teologis tertentu, menurut saya, film ini meninggalkan banyak sekali celah lebar yang membuat teologi pengangkatan (rapture) makin menunjukkan ketidakjelasannya,” ujar pendeta yang melayani di GKI Pondok Indah ini.

Lebih jauh, Joas menulis sebuah esai pendek tentang Left Behind, yang menunjukkan bahwa gagasan tentang orang Kristen akan diangkat ke surga pada Hari Akhir dan kebanyakan orang lainnya ditinggal di dunia, adalah gagasan yang memiliki fundasi yang lemah. 

Berikut ini esai lengkap tersebut, yang menurut Joas, diinspirasi oleh tulisan Matthew Dickerson, Who Gets Left Behind? How End Times Theories Shape the Ways We View Our Earthly Abode, pada Christianity Today 55, no. 6 (2011).

Left Behind

Salah satu dampak paling destruktif dari pemahaman bahwa dunia yang diciptakan Allah dengan sangat baik ini akan dihancurkan adalah munculnya teologi pengangkatan (rapture theology). Mereka yang menganut pandangan teologis ini meyakini bahwa orang-orang percaya pada saatnya akan diangkat ke surga dan mereka yang tidak percaya pada Kristus akan ditinggalkan di dunia untuk menghadapi penganiayaan. Pandangan ini semakin populer semenjak beberapa tahun silam, dengan terbitnya sebuah seri novel rohani sebanyak 16 volume, bertajuk Left Behind, yang dikarang oleh Tim LaHaye dan Jerry B. Jenkins.

Saya tidak ingin membahas secara mendalam pandangan yang kerap juga disebut dispensasionalisme atau pramilenialisme ini. Apa yang lebih menarik perhatian saya akan memperlihatkan asumsi mendasar di balik gagasan tersebut, yaitu keyakinan bahwa memang keselamatan yang dialami oleh orang percaya terjadi secara konkret ketika mereka berpindah dari dunia ke surga, sementara surga ini pada saatnya akan dihancurkan. Asumsi inilah yang membingkai seluruh kisah pengangkatan ke surga di dalam teologi ini.

Akan tetapi, ceritanya akan segera berubah 180 derajat ketika kita mulai dari asumsi mendasar bahwa dunia ini diciptakan dengan sangat indah dan baik dan Allah akan terus memelihara; terlepas dari dosa yang merusak seluruh tata ciptaan, Allah berkarya dengan menghadirkan penyelamatan dan bahkan pembaruan atas seluruh ciptaan. Asumsi dasar yang sangat apresiatif terhadap dunia ini membuat kita harus mempertanyakan semua teologi yang mengajarkan kehancuran—atau bahkan, penghancuran—dunia. Sebab, teologi semacam ini membawa kita pada sebuah pertanyaan tentang kesetiaan Allah yang mengikat perjanjian dengan bumi dan tidak akan memusnahkannya pada masa Nuh (Kej. 9:8-17). Di banyak ayat di dalam teks tersebut, perjanjian Allah dinyatakan bukan hanya dengan manusia, namun juga dengan seluruh makhluk dan bahkan dengan bumi. Apakah Allah mengingkari perjanjian-Nya sendiri?

Jika demikian, bagaimana kita memahami teks-teks tertentu di dalam Alkitab yang berbicara mengenai pengangkatan, yang sepintas menyuguhi kita sebuah skenario penyelamatan melalui pengangkatan?

Matius 24

Matius 24-25 kerap diacu sebagai teks utama ketika berbicara mengenai akhir zaman. Secara khusus Matius 24:37-44 patut kita perhatikan sehubungan dengan tema “pengangkatan.” Ayat 40-41 berbunyi demikian:

40 Pada waktu itu kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan; 41 kalau ada dua orang perempuan sedang memutar batu kilangan, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan.

Nah, kedua ayat ini paling sering dikutip untuk menjustifikasi pandangan bahwa orang yang percaya akan dibawa atau diangkat, sedang yang tidak percaya akan ditinggalkan di bumi. Tetapi, mari kita teliti lebih dalam. Ternyata, di bagian sebelumnya Yesus memakai kisah Nuh dan air bah sebagai kunci pemahaman atas isu “pengangkatan” ini. Dua kali Yesus membandingkan “pengangkatan” pada saat kedatangan Yesus dengan kisah Nuh dan air bah. Yang pertama adalah ayat 37, yang berbunyi, “Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.” Yang kedua, ayat 39, berbunyi, “dan mereka tidak tahu akan sesuatu, sebelum air bah itu datang dan melenyapkan mereka semua, demikian pulalah halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia.” Kedatangan Kristus disejajarkan dengan kedatangan air bah pada masa Nuh hidup. Apa tujuan Yesus mempergunakan kisah Nuh dan air bah? Tampaknya Yesus memang ingin menekankan aspek kejutan yang muncul baik dari datangnya air bah maupun datangnya Anak Manusia.

Kesejajaran kisah Nuh dan air bah dan kedatangan Anak manusia itu berlanjut ketika Yesus memaparkan dua jenis manusia ketika menghadapi kejutan tersebut. Di dalam kisah Nuh, justru mereka yang tidak memercayai datangnya air bah itulah yang “dilenyapkan” (ay. 39) dan justru Nuh beserta keluarganyalah yang dibiarkan hidup dan diizinkan menghuni bumi pascabencana. Nuh sekeluarga adalah kelompok yang ditinggalkan (left behind). Setelah bertutur tentang Nuh dan air bah, Yesus menunjukkan kesejajaran yang sama di dalam ayat 40-41. Yang satu diangkat, yang lain ditinggalkan (left behind). Dalam terang kisah Nuh, itu berarti, mereka yang diangkat adalah yang dimusnahkan dan mereka yang ditinggalkan adalah yang diselamatkan. Yang tak selamat justru adalah mereka yang “dibawa,” seperti orang-orang yang dibawa air bah karena ketidakpercayaan mereka.

Cara berpikir ini makin menguat ketika kita memperhatikan bahwa pusat dari teks ini adalah “kedatangan Anak Manusia” (ay. 37, 39, 42, 44). Dapat dipahami jika kemudian kita berkata bahwa mereka yang ditinggalkanlah yang akan berjumpa dengan Kristus yang datang. Sedangkan mereka yang diangkat justru luput berjumpa dengan Sang Penyelamat itu.

Menyongsong

Lantas, bagaimana dengan teks lain di dalam 1 Tesalonika 4:13-18 yang juga mencantumkan teks tentang “diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa” (ay. 17)? Dalam terang pemahaman di atas, kita perlu dengan seksama memahami bahwa kata “menyongsong” di sini memakai kata Yunani apantēsis, yang lebih berarti “menyongsong untuk membawa kembali.” Lihatlah kisah sepuluh gadis yang “menyongsong” (apantēsis) datangnya mempelai laki-laki (Mt. 25:1; bdk. ay. 6). Dalam perumpamaan tersebut, mempelai laki-laki akhirnya datang, disongsong oleh lima gadis bijaksana, yang kemudian “masuk bersama-sama dengan dia ke ruang perjamuan kawin” (ay. 10).  Dengan kata lain, 1 Tesalonika 4:17 tidak sedang berbicara tentang pengangkatan yang berlanjut dengan meninggalkan bumi dan memasuki surga. Teks ini ingin memberi penekanan pada tindakan menyongsong dan menyambut Sang Raja yang dengan kemuliaan-Nya datang ke bumi ini. Hal yang sama dituturkan ketika banyak orang “menyongsong” (hypantēsis) Kristus dengan daun palma ketika Ia memasuki Yerusalem, menjelang kematian-Nya (Yoh. 12:13).

Tampaknya, pola dasar Kristus yang datang serta memasuki kehidupan kita dan kita menyambut kedatangan-Nya harus terus dipertahankan. Betapa ironisnya seluruh kisah fiktif “pengangkatan” yang digaungkan banyak orang Kristen itu. Apa gunanya kita diangkat “ke atas” sementara Alkitab secara konsisten mempersaksikan Kristus yang datang “dari atas.” Maka, pesan utama dari Matius 24:37-44 harus kita perhatikan dengan seksama: “berjaga-jagalah” (ay. 42) dan “siap sedia” (ay. 44). Ia datang secara mengejutkan! Mari kita songsong Dia yang sudah, sedang, dan akan datang. Semoga Anda dan bukan orang yang diangkat (raptured), namun orang yang tertinggal (left behind).


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home