Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 16:43 WIB | Kamis, 10 Maret 2016

JPIK: 4 Perusahaan di Jateng Langgar Ketentuan Ekspor Kayu

JPIK saat menggelar diskusi di Jakarta, hari Kamis (10/3). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menyatakan empat perusahaan terbukti melakukan pelanggaran ketentuan ekspor kayu karena volume terlampau tinggi untuk kategori industri kecil menengah (IKM).

Dinamisator Nasional JPIK, Muhammad Kosar, menilai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89 Tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan berpeluang menjadi lahan pelanggaran oleh oknum nakal yang mengatasnamakan dirinya sebagai industri kecil menengah (IKM).

Sebelum Permendag Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan, Forest Watch Indonesia (FWI), JPIK dan Environmental Investigation Agency (EIA) telah melakukan investigasi. Dalam tahap awal investigasi, tim pemantau khusus menyoroti aktivitas ekspor kayu dalam kawasan Jawa ditemukan sebanyak 60 perusahaan. Dari jumlah tersebut, kemudian dikerucutkan menjadi 25 perusahaan dengan memperhatikan volume ekspor yang terlampau tinggi.

Kemudian, kembali dikerucutkan hingga akhirnya pemantau mendapat 10 perusahaan hingga akhirnya didapat empat perusahaan dengan kompilasi pelanggaran terbanyak.

Keempat perusahaan tersebut adalah CV V&V Logistic dan CV Greenwood International yang berlokasi di Kota Semarang, Jawa Tengah, CV Rejeki Tirta Waskitha dan CV Devi Fortuna di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

JPIK menyatakan keempat perusahaan itu terbukti melakukan aktivitas layaknya broker, yakni menyediakan jasa ekspor dengan menjual dokumen Deklarasi Ekspor (DE). Selain itu, tidak ditemukannya kegiatan produksi dalam pabrik sejak 2011, tidak terdaftar dalam database Disperindag Jateng, dan menggunakan dokumen DE meski izin operasi sudah kadaluarsa.

Dari hasil temuannya, tim pemantau memperoleh nilai ekspor yang dihasilkan dari empat perusahaan tersebut mencapai 532,79 miliar rupiah dengan total dokumen DE sebanyak 3.243. Mayoritas negara tujuan ekspor adalah Amerika Serikat dan Rusia.

"Sebelum permendag No. 89/2015 disahkan saja, kami menemukan pelanggaran di empat perusahaan dengan tingkat frekuensi volume ekspor di luar kemampuan selayaknya ukuran IKM. Apalagi kalau kami telusuri setelah permendag keluar," ucap Kosar, dalam sebuah diskusi di Jakarta, hari Kamis (10/3).

Lebih lanjut, dia menyatakan Permendag Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan sangat kontradiktif, karena mengizinkan sembarang produk kayu diekpor, tidak ada jalur pengaman yang memastikan kayu tidak diperoleh secara ilegal. Padahal, kebanyakan negara tujuan ekspor mebel memakai standar Sistem Verifikasi Legalistas Kayu (SVLK).

“Kami khawatir citra ekspor kayu Indonesia dikhawatirkan akan tercoreng karena dimanfaatkan oleh oknum nakal," katanya.

Tak Ada Batasan

Sementara itu, Direktur Eksekutif FWI, Chritian Purba, mengatakan Permendag Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan secara substansi hukum jauh lebih lemah dari aturan sebelumnya yakni Permendag Nomor 97 Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan dan Permendag Nomor 66 Tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, karena tidak memiliki batasan pelindung untuk jaminan legalitas kayu.

Dia menambakan, Permendag Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan menciptakan inkonsistensi struktural dalam upaya keras Indonesia untuk memperbaiki tata kelola kehutanan melalui pelaksanaan SVLK. Menurutnya, lebih baik apabila permendag tersebut dicabut dan kembali menggunakan acuan SVLK sebagai instrumen pokok untuk ekspor kayu.

"Demi perbaikan ekosistem, sebaiknya permendag dihapus saja. Toh, arahan penggunaan SVLK sudah tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan persetujuan Kemitraan Sukarela antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan, dan Perdagangan Produk Kayu ke Uni Eropa,” ujarnya.

“Apabila perusahaan butuh waktu untuk memenuhi SVLK, pemerintah bisa buat peraturan pendukung yang berisi batasan waktu yang diperbolehkan memakai dokumen DE. Intinya pemerintah harus menjadikan SVLK sebagai standar nasional ekspor kayu," dia menambahkan.

Langgar Mekanisme SVLK

Menambahkan pemimpin Kampanye Hutan EIA, Faith Doherty, menyatakan Permendag Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan secara struktural dan teknis telah melanggar tujuan dan mekanisme dari SVLK dan perjanjian kerja sama Uni Eropa-Indonesia (VPA) yang telah dibangun lebih dari satu dekade.

"Peraturan ini harus dicabut atau akan menganggu ruang lingkup dan tata waktu pelaksanaan VPA, dimana kemungkinannya akan berakibat pada perlunya negosiasi ulang VPA," tuturnya.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home