Loading...
HAM
Penulis: Ardy Pradana Putra 16:44 WIB | Jumat, 24 Oktober 2014

Kasus HAM di Indonesia Harus Dilihat dengan Konteks Global

Kasus HAM di Indonesia Harus Dilihat dengan Konteks Global
Budi Hernawan, peraih gelar PhD dari Australia National University, menjelaskan pentingnya upaya membangkitkan ingatan kasus pelanggaran HAM di masa lalu kepada peserta lokakarya bertajuk "Conflict Analyses" di Perpustakaan Pusat UI, Depok hari Jumat (24/10). (Foto-foto : Ardy Pradana Putra)
Kasus HAM di Indonesia Harus Dilihat dengan Konteks Global

DEPOK, SATUHARAPAN.COM – Kasus Pelanggaran HAM Indonesia harus dilihat dengan konteks global. “Jangan melihat kasus pelanggaran HAM dengan konteks lokal, kasus pelanggaran HAM di Indonesia terjadi karena pengaruh perkembangan global,” kata Naeni Amanullah penelilti dari Abdurrahman Wahid Center (AWC) dalam seri lokakarya bertajuk “Conflict Analyses” yang diadakan AWC di Perpustakaan Pusat UI, Depok, hari Jumat (24/10) siang.

Naeni mencontohkan dengan kasus pembantaian tahun 1965 yang disebabkan pertarungan ideologi pada masa perang dingin. “Gerakan 30 September (G 30 S), yang mengakibatkan pembantaian 1965, jangan dikaji dengan perdebatan apakah PKI terlibat atau tidak dengan G 30 S, namun hal itu terjadi karena pertarungan ideologi antara sosialisme dan kapitalisme pada masa perang dingin,”kata Naeni.

“Kebetulan kapitalisme menang di Indonesia, mengakibatkan pembantaian terhadap simpatisan PKI pada tahun 1965,” tambah Naeni.

Seri lokakarya AWC hari Jumat (24/10) menghadirkan tema “Memory, Witnessing, Truth Seeking”, yang mengkaji posisi saksi dan upaya membangkitkan ingatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Budi Hernawan, peraih gelar PhD dari Australia National University, menjelaskan pentingnya upaya mempertahankan ingatan kasus pelanggaran HAM. “Upaya mempertahankan ingatan ini harus dimulai dengan pertanyaan seberapa jauh kita mampu mengingat kasus pelanggaran HAM di Indonesia,” kata Hernawan.

Hernawan mengutip pemikiran Johann B. Metz, teolog pada masa pendudukan Nazi di Prancis, Metz membagi ingatan menjadi tiga jenis. Pertama romantisisme, ingatan yang hanya memuat hak-hal positif di masa lalu dan membandingkan dengan kenyataan masa kini.

Kedua transfigurasi, ingatan yang memuat hal-hal buruk di masa lalu, namun hanya dianggap sebagai sesuatu yang sudah lewat dan ketiga memoria passionis atau ingatan atas penderitaan, yang menggugat ketidakadilan di masa lalu pada saat ini.

Hernawan berpendapat memoria passionis sebagai paradigma dalam mengingat kasus pelanggaran HAM di Indonesia. “Mempertahankan ingatan kasus pelanggaran HAM di Indonesia penting, sebagai upaya rekonsiliasi dan wadah mendengarkan suara-suara korban pelanggaran HAM di masa lalu, yang menggugat ketidakadilan di masa lalu” kata Hernawan.

Kesalahan memilih paradigma dalam mengingat pelanggaran HAM masa lalu berbahaya. Hernawan mencontohkan pelajaran sejarah holocaust (pembantaian pada masa pendudukan Nazi di Eropa) pada generasi muda Eropa.

“Pelajaran sejarah holocaust memiliki kesalahan, yang diingat oleh generasi muda Eropa yang menjadi korban holocaust hanya umat Yahudi, padahal korban holocaust terdiri dari Etnis Gipsi, yang terlupakan dan masih mendapat perilaku diskriminasi sampai saat ini,” jelas Hernawan.

Seri lokakarya bertajuk “Conflict Analyses” yang diadakan AWC berlangsung hingga 19 Desember, yang menghadirkan tema-tema rekonsiliasi pascakonflik. Lokakarya berformat diskusi dan berlangsung setiap dua minggu sekali.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home