Loading...
OPINI
Penulis: Victor Silaen 00:00 WIB | Kamis, 25 Juni 2015

Kendala ASEAN dalam Masalah Rohingya

SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Indonesia tengah melakukan komunikasi intensif dengan Pemerintah Myanmar untuk membahas nasib para pengungsi Rohingya. Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menegaskan bahwa persoalan Rohingnya harus melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintahan negara asal, negara transit, dan negara tujuan. “Dengan Myanmar, Indonesia selalu melakukan constructive enggagment. Kita address isunya. Kita terus berupaya untuk melakukan komunikasi dengan Pemerintah Myanmar,” ujar Menteri Retno, 19 Mei lalu. Namun hingga kini Indonesia masih belum mendengar adanya komitmen tegas Myanmar untuk bertanggung jawab atas masalah Rohingya. 

Sementara Amerika Serikat (AS) memastikan akan terus mengupayakan langkah diplomasi dalam bentuk apa pun guna memastikan Myanmar bersedia menyelesaikan akar masalah krisis kemanusiaan yang dialami etnik Rohingya. Langkah diplomasi itu termasuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Myanmar. Hal tersebut disampaikan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Kependudukan, Pengungsi, dan Migrasi, Anne C. Richard, 3 Juni lalu. 

Sejak beberapa tahun terakhir, Ribuan warga etnik minoritas Rohingya, termasuk anak-anak dan perempuan, pergi meninggalkan Myanmar dengan menempuh perjalanan laut yang berbahaya. Hal itu terpaksa mereka lakukan karena di Myanmar, etnik Rohingya tidak diakui sebagai warga negara dan banyak mengalami diskriminasi. 

Lewat berbagai langkah yang sudah dilakukan AS, termasuk mempertemukan pemimpin Myanmar dan AS, Richard yakin Pemerintah Myanmar sangat memahami apa yang diinginkan AS terkait isu Rohingya. Warga Rohingya butuh diperlakukan sebagai bagian dari warga negara Myanmar. “Mereka memerlukan kartu identitas dan paspor, yang memperjelas status mereka sebagai warga negara seperti warga lain,” ujar Richard. 

Ia juga menceritakan pengalamannya mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Puluhan ribu warga Rohingya terpaksa mengungsi di kamp-kamp dengan kondisi menyedihkan setelah terjadi gelombang kerusuhan berdarah sektarian sejak 2012. 

Dalam kunjungannya saat itu, menurut Richard, ada seorang warga Rohingya senior yang mendekatinya. Pria itu mengatakan, Pemerintah Myanmar berkeinginan mengusir orang Rohingya dari negara itu. Akibatnya, ada ribuan pengungsi asal Myanmar dan imigran pencari kerja asal Banglades yang berada di perairan, mulai dari Selat Andaman hingga mendekati Selat Malaka. Pemerintah Indonesia dan Malaysia berkomitmen menampung pengungsi Rohingya selama setahun sambil menunggu proses pemulangan (repatriasi) atau penempatan kembali ke negara ketiga (resettlement).

AS sendiri, menurut Dubes AS untuk Indonesia Robert Blake, usai mengunjungi  mengunjungi penampungan sementara pengungsi Rohingya di Kuala Cangkoi, Aceh Utara, mengatakan setuju memberi bantuan 3 juta dollar AS (Rp 39,8 miliar) guna membantu Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). Organisasi ini sebelumnya mengajukan permintaan dana 26 juta dollar AS atau Rp 338 miliar.

Pertanyaannya, kalau AS yang bukan tetangga Myanmar begitu pedulinya terhadap nasib pengungsi Rohingya dan berani bersikap tegas terhadap Pemerintah Myanmar, bagaimana dengan ASEAN, organisasi negara-negara se-kawasan Asia Tenggara, yang di dalamnya Myanmar juga termasuk anggota? ASEAN tentu harus ikut bertanggung jawab dalam menjaga stabilitas kawasan. ASEAN juga harus melakukan upaya-upaya serius dalam menangani pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Namun faktanya, mengapa masalah Rohingya masih terus berlangsung hingga kini?

Jawabannya, karena ASEAN menghadapi beberapa kendala yang setidaknya berkait dengan dua hal ini. Pertama, sejak ASEAN didirikan pada 1967, negara-negara anggota “berlindung” di balik prinsip “ASEAN Way”, yang di dalamnya tercakup “non-intervensi” dan “kedaulatan negara”. ASEAN Way seakan menjadi tameng sekaligus justifikasi negara-negara anggota ASEAN untuk tidak melaksanakan penegakan dan menindak pelanggaran HAM. Kedua prinsip tersebut sangat berakar dan mempengaruhi hubungan diplomasi antar-anggota hingga kini agar tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Para pendukung “nilai-nilai Asia” beranggapan bahwa HAM adalah bentuk dari pemaksaaan nilai-nilai Barat yang berbeda karena faktor sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Menurut pendukung “nilai-nilai Asia” itu, HAM tak bisa diterapkan secara universal, karena itu harus disesuaikan dengan konteks lokal. Ide “nilai-nilai Asia” itu berkembang dan dipromosikan sejak awal 1990 oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Singapura Lee Kwan Yew, dan Presiden RI Soeharto. Seiring waktu dan dengan semakin derasnya tuntutan demokratisasi, berbagai asosiasi masyarakat sipil bersama Komnas HAM di Indonesia dan Filipina berupaya merekonstruksi makna “nilai-nilai Asia” dan “ASEAN Way” yang dianggap menghambat promosi dan proteksi HAM itu. Pada 1995, dibentuklah Kelompok Kerja Mekanisme HAM ASEAN untuk mendesakkan usulan perlunya Badan HAM ASEAN dan Deklarasi HAM ASEAN. 

Akhirnya dalam ASEAN Summit ke-15 pada Oktober 2009, Badan HAM ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights/AICHR), resmi dibentuk. Dianggap sebagai pencapaian besar, namun nyatanya juga tidak dapat memberikan jalan keluar bagi masalah pelanggaran HAM di Myanmar karena mandat dan wewenang AICHR masih sangat terbatas pada promosi dan perlindungan HAM, dan bukan sebagai lembaga pembuat keputusan (decision making body). Tak heran jika AICHR dianggap ‘tidak bergigi’ di kawasan ini. Pengaruh prinsip “non-intervensi” dan “kedaulatan negara” dalam “ASEAN Way” masih kuat terhadap AICHR, sehingga AICHR tak merasa terdorong untuk melakukan kunjungan investigatif ke suatu negara dalam rangka melakukan penyelidikan apabila terjadi pelanggaran HAM. Keputusan-keputusan AICHR sendiri selalu dibuat berdasarkan konsensus dan negara-negara anggota ASEAN tidak berkewajiban untuk mengimplementasikannya. Seharusnya ASEAN dapat mengintervensi apabila terjadi pelanggaran HAM berat di negara anggotanya (Lee Jones, 2012). 

Kedua, Myanmar sendiri hingga kini masih bersikap tertutup terhadap negara-negara lain terkait masalah Rohingya. Sejumlah aktivis organisasi non-pemerintah yang fokus dalam memantau isu ASEAN dan HAM pernah menyatakan bahwa masalah Rohingya bahkan tak mudah untuk diungkap secara mendalam dan diekspos keluar ketika Myanmar menjadi tuan rumah ASEAN People’s Forum 2014. Memang, sejak puluhan tahun lampau Myanmar terbiasa menutup akses informasi untuk para jurnalis asing. Di dalam negeri pun media-media kerap disensor berita-beritanya oleh militer. Ketika terjadi Tragedi Biksu tahun 2007, Pemerintah Myanmar bahkan sanggup memutuskan jaringan internet maupun telepon di dalam negeri. 

Terkait dua kendala tersebut maka Makarim Wibisono, gurubesar luar biasa FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, mengusulkan dibentuknya Badan ASEAN Khusus Pengungsi. “MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) itu tidak hanya ekonomi, tapi juga kebersamaan dalam aspek politik, budaya, hukum, sosial,” ujar Makarim (27/5). “Ini sesuai dengan sila kedua dari dasar negara Pancasila. Karena itu kita harus menciptakan masyarakat ASEAN yang hubungan atau kebersamaannya tidak hanya dilandasi aspek ekonomi, tapi juga sosial. Karena itu, Indonesia harus mengusulkan Badan ASEAN Khusus Pengungsi itu dalam pertemuan negara-negara ASEAN, sehingga bila ada masalah pengungsi seperti Rohingya akan dapat diselesaikan secara bersama sebagai satu ‘keluarga besar’ ASEAN,” katanya. 

Mungkinkah itu diterapkan?

 

Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home