Loading...
EKONOMI
Penulis: Bayu Probo 14:46 WIB | Jumat, 15 Agustus 2014

Kiara: Subsidi Energi, Pemerintah Jangan Sengsarakan Nelayan

Ilustrasi nelayan tidak melaut di Pantai Ngrenehan, Gunung Kidul, Yogyakarta. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM –  Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mendorong pemerintah untuk memihak pada nelayan terkait kebijakan pembatasan subsidi energi.

Dalam siaran persnya, Rabu (13/8), Kiara mengungkapkan hal itu terkait dengan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang pembahasan Nota Keuangan dan RAPBN 2015. Dalam pidato tersebut diisi dengan topik pemangkasan subsidi BBM. Sebab, terjadi peningkatan pembiayaan negara hingga tujuh kali lipat untuk subsidi energi sejak 2010 (lihat Tabel). Namun kebijakan pembatasan subsidi BBM jelas merugikan masyarakat nelayan.

Tabel Tahun dan Jumlah Anggaran untuk Pengelolaan Subsidi

Namun, komposisi subsidi BBM tersebut 97 persen dialokasikan untuk transportasi darat dan 3 persen sisanya untuk laut. Dari nilai yang kecil inilah, 2 persen diperuntukkan kepada nelayan.

Menurut Kiara, begitu kecil alokasinya, mengakibatkan nelayan kesulitan mendapatkan BBM. Padahal, untuk melaut nelayan mengeluarkan 60 persen - 70 persen dari biaya produksi. Apalagi kuotanya dikurangi hingga 20 persen. Dalam konteks ini, Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 Tanggal 24 Juli 2014 tentang Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi tidak memihak dan cenderung menyengsarakan nelayan.

Pusat Data dan Informasi Kiara (Agustus 2014) menemukan persoalan yang berulang dari tahun ke tahun menyangkut pengelolaan subsidi BBM bagi nelayan di Palu (Sulawesi Tengah), Langkat (Sumatera Utara), Konawe (Sulawesi Tenggara), Tarakan (Kalimantan Utara), dan Kendal (Jawa Tengah). Pertama, tidak tersedianya fasilitas (SPBB/SPBN/SPDN/APMS). Hal ini memicu persaingan tidak sehat antara nelayan berkapal.

Kedua, kecilnya alokasi dan pasokan yang tidak reguler berakibat pada sulitnya nelayan mendapatkan BBM bersubsidi dengan harga yang dipatok pemerintah. Di lima wilayah yang ditemui Kiara, nelayan justru mendapatkan solar dengan kisaran harga Rp 7.000 – Rp 20.000. Bahkan, 80 persen nelayan tradisional di Langkat, Sumatera Utara, tidak dapat membeli solar di SPBN.

Ketiga, pola melaut yang berbeda-beda dan diabaikan dalam kebijakan pengelolaan BBM bersubsidi berimbas pada menganggurnya nelayan. Mendapati fakta ini, mestinya ada kebijakan khusus dalam penyaluran BBM bersubsidi untuk nelayan, di antaranya bekerja sama dengan organisasi nelayan/perempuan nelayan.

Berpatok pada ketiga hal di atas, Presiden Yudhoyono dan Presiden Terpilih 2014  harus mengevaluasi kebijakan pengelolaan subsidi energi yang terlampau berorientasi ke daratan, khususnya BBM untuk nelayan, agar benar-benar tepat sasaran.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home