Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 15:04 WIB | Rabu, 25 Maret 2015

Koreksi Total Cegah ''Water Wars''

SATUHARAPAN.COM – Boutros Boutros-Ghali pada tahun 1985, ketika di menjabat Menteri Luar Negeri Mesir, mengatakan bahwa perang berikutnya di Timur Tengah dipicu oleh perebutan air, bukan politik. Dan ketika dia menjabat  Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa / PBB (1992-1996) beberapa kali menyebutkan tentang ancaman ‘’water  wars’’.

Kita bisa mengatakan bahwa prediksi dia tidak sepenuhnya terjadi; setidaknya di Timur Tengah perang masih terus bekecamun dan makin mengerikan.  Sumber konfliknya masih berputar pada politik dan kekuasaan, dabn petro dolar, bukan pada sengketa air.

Namun demikian, konflik dan sengketa tentang air atau sumber daya air (SDA) makin nyata. Tentang konflik  yang telah disebutkn oleh diplomat ulung asal Mesir dua dekade lalu itu awalnya hanya diduga hanya akan terjadi di negara-negara gurun yang sulit air. Dibanyangkan bahwa oase menjadi  sumber sengketa dan medan pertempuran.

Namun tampaknya yang terjadi  justru di negara yang berlimpah air seperti Indonesia. Konflik tentang air belakangan ini makin nyata. Kalau tidak terlihat kepermukaan karena ada pihak yang terlalu kuat, sehingga konflik ada di bawah permukaan.

Namun demikian akibatnya  makin jelas. Banjir telah menjadi masalah serius di banyak wilayah Indonesia, dan menjadi ‘’agenda’’ tetap setiap musim hujan. Sementara ketika musim kemarau datang, kekurangan air hingga tingkat yang parah terjadi di banyak daerah.

Di sisi lain sumber mata air telah banyak dikuasai oleh swasta, dan harga air (khususnya air dalam kemasan) di Indonesia cukup fantastis. Harga eceran untuk satu liter air (dalam kemasan) bahkan bisa sampai Rp 5.000 atau lebih. Harga ini bisa dibandingkan dengan harga premium (di SPBU)  sekarang Rp 6.900.

Mengelola Air

Bagi Indonesia, masalah air bukan pada karena kekurangan air, tetapi lebih pada pengelolaan. Sumber-sumber air yang ada telah mengalami kerusakan dan tercemar dengan berat. Baru-baru ini, satuharapan.com memuat berita bahwa sungai Citarum di Jawa Barat setidaknya dicemari oleh 100 ton tinja setiap hari.

Sumber cemaran itu belum termasuk limbah industri dan limbah rumah tangga lain yang mengotori sungai yang juga merupakan sumber air baku untuk berjuta-juta penduduk. Tahun 2013 Sungai Citarum masuk dalam daftar 10 Tempat Paling Tercemar di Dunia yang dikeluarkan oleh Blacksmith Institute dari Amerika Serikat dan Green Cross Switzerland.

Dari penelitian itu, diperkirakan lebih dari setengah sampah kota dibuang ke Citarum. Akibatnya air Citarum penuh polutan timah, kadmium, kromium, dan pestisida. Selain itu, Kalimantan adalah bagin dari planet yang berlimpah air, namun airnya paling tercemar dan masuk dalam daftar tersebut. Pencemaran ini terutama akibat penambangan. Yang terparah terjadi di perairan Tabalong, Martapura, dan Barito.

Namun sumber air yang masih bersih telah dikuasai oleh swasta, bahkan swasta asing. Akibatnya, di negeri yang berlimpah air ini, hanya sedikit warganya yang mempunyai akses terhadap air bersih. Konflik pun makin banyak, sebab hal itu menyentuh kualitas kesehatan dan kualitas hidup bangsa ini.

Sengketa Air

Konflik tentang air di Indonesia telah dimulai, dan sayangnya politisi kita justru yang menabuh genderang ‘’water war’’ ketika DPR membuat dan menyetujui UU No. 7 / 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). UU ini telah ditentang secara keras warga dan kalangan masyarakat sipil. Namun politisi yang semestinya menjaga konstitusi justru lebih mendengar suara penguasa modal. Mereka menjebol konstitusi tanpa rasa malu di tengah proses reformasi.

UU itu telah mematikan ketentuan bahwa kekayaan alam Indonesia harus dikuasai negara dan dimanfaatkan sebsar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun dengan UU itu justru diserahkan swasta, dan mengabaikan kepentingan bangsa dan rakyat yang seharusnya mendapatkan manfaat sebesar-besarnya.

Bukti bahwa tindakan itu sedemikian buruk, adalah banyaknya konflik yang kemudian timbul. Kemudian Mahkamah Konstitusi pada akhir bulan lalu telah memutuskan bahwa seluruh pasal UU tersebut dihapuskan, karena secara total menyimpang dari konstitusi. Dan untuk pengelolaan air harus kembali pada aturan lama, yaitu UU No. 11 / 1974 tentang Pengairan.

Keputusan uji materiil ini bukan hanya penghapusan atau perubahan pada sejumlah pasal, keputusan MK merupakan koreksi total pada kesalahan pengelolaan air di Indonesia. Ini adalah skandal politik yang besar dan memalukan. Sayangnya masalah ini berlalu begitu saja, dan partai politik serta politisi mereka tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali.

Makin Serius

UU No.7/2004 sebenarnya telah menimbulkan banyak konflik antara rakyat dan swasta yang menguasai sumber air, serta menimbulkan masalah di bidang lain. Masalah kesehatan adalah hal yang paling nyata akibat pengelolaan air yang buruk dan rakyat tidak memperoleh akses pada air bersih secara layak.

Namun masalah ketersediaan dan kualitas air juga terkait langsung dengan masalah pertanian, peternakan dan perikanan; bidang-bidang kegiatan ekonomi yang langsung terkait pada penyediaan pangan bagi rakyat.

Oleh karena itu, akibat dari masalah air menjadi serangan yang masif dan ‘’sempurna’’ pada kualitas hidup manusia. Masalah ini tidak boleh dilihat hanyadari sisi hukum dan legalitas, atau hanya pada korban akibat bentrokan pada konflik itu, melainkan pada akibat langsung konflik ini pada kebutuhan dasar hidup manusia: kesehatan dan pangan.

Koreksi total atas pengelolaan SDA melalui keputusan MK, harus menjadikan kita menyadari dengan rasa malu yang dalam atas buruknya negeri ini mengelola anugerah air yang sangat vital untuk kehidupan. Dan kita membutuhkan koreksi total dalam pengelolaan air. Atau kalau tidak, kita yang ada di negeri berlimpah air akan akan terjerumus pada ‘’water wars’’.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home