Loading...
OPINI
Penulis: Efron Dwi Poyo 00:00 WIB | Kamis, 15 September 2016

Kurikulum dan Atlet

Persoalan pendidikan di Indonesia memang rumit. Namun salah satu persoalan paling mendasar adalah tidak adanya pembedaan antara sekolah umum dengan kejuruan. Padahal ini sangat penting, agar anak didik dapat berkembang sesuai dengan kecakapannya.

SATUHARAPAN.COM - Indonesia selalu kesulitan mencetak atlet-atlet profesional berkelas dunia dan atlet-atlet berkelas olimpiade. Untuk menjadi kedua jenis atlet tersebut seorang calon atlet haruslah berlatih tiga jam sehari, kemudian meningkat enam jam sehari pada usia sekolah menengah. Apa yang terjadi?

Calon atlet atau tepatnya orangtua calon atlet lebih memilih anaknya untuk bersekolah daripada menjadi atlet. Kurikulum sekolah menengah di Indonesia tidak memungkinkan anak-anak Indonesia menjadi seorang atlet profesional atau berkelas olimpiade. Apakah kurikulum di Indonesia kurang baik? Bukan itu maksud saya.

 

NEM

Sampai pada saat ini pemerintah (Mendikbud) dalam membuat kebijakan pendidikan nasional selalu saja pada aras praktis. Bahasa premannya hanya bertukar baju. Para pakar pendidikan dalam berbagai seminar atau diskusi kerap bersilang pendapat, namun nadanya sama yaitu tidak mengungkapkan persoalan mendasar pendidikan nasional yang sebenar-benarnya.

Pada 1984 Mendikbud Brigadir Jenderal Nugroho Notosusanto menetapkan kurikulum 1984, yang kemudian memunculkan istilah Nilai Ebtanas Murni (NEM). Sepuluh tahun kemudian Mendikbud Wardiman Djojonegoro menajamkannya lewat kurikulum 1994. Sejak saat itu semua SMA praktis bersifat sekolah unggulan.

Mengapa bersifat unggulan? Kurikulum SMA di Indonesia menjiplak silabus kelas tiga tahun terakhir pada sekolah menengah Gymnasium di Jerman dan Voorbereidend Wetenschappelijk Onderwijs (VWO) di Belanda. Di sinilah persoalan mendasar pendidikan nasional.

Gymnasium, VWO, dan sekolah menengah lainnya yang sejenis di Eropa memang secara khusus memersiapkan para murid menuju universitas. Sekolah menengah itu hanya menerima anak berintelektual tinggi yang jumlahnya 25 – 30% anak seusia. Persentase itu merata di setiap negara.

Anak-anak normal yang jumlahnya 70 – 75% anak seusia disalurkan di sekolah-sekolah kejuruan. Lulusan sekolah ini tidak melanjutkan ke universitas, melainkan ke sekolah tinggi, politeknik, akademi, atau langsung pergi bekerja. Pola pengajaran tentu saja berbeda. Di sekolah seperti Gymnasium para murid mudah diajar lewat persekolahan konvensional (pengajaran di ruang kelas). Di sekolah kejuruan murid diajar dengan guru lewat bekerja di bengkel-kerja sekolah.

Saya sudah mencoba mencari di banyak rujukan, namun saya tidak menemukan atlet-atlet profesional dan atlet-atlet berkelas olimpiade tamatan Gymnasium, VWO, atau sejenisnya. Para pemain Bundesliga, misalnya, pada umumnya menempuh sekolah kejuruan bahasa. Ada juga yang bersekolah kejuruan wirausaha dan teknik. Sekolah-sekolah kejuruan itu ada demi para calon atlet dan demi anak-anak normal pada umumnya (70 – 75% anak seusia).

 

Permasalahan Mendasar

Apakah kurikulum sekolah menengah di Indonesia buruk? Tentu saja tidak. Kurikulum itu sudah baik apabila kita mengandaikan semua anak Indonesia usia sekolah menengah berintelektual tinggi. Permasalahan mendasar bukanlah pada kurikulum itu sendiri.

Harusnya pemerintah tidak perlu malu mengakui bahwa permasalahan mendasar adalah kurikulum yang ditetapkan oleh depdikbud/kemendikbud selalu mengandaikan semua anak berintelektual tinggi. Padahal di setiap negara secara merata hanya 25 – 30% saja dari anak-anak seusia yang berintelektual tinggi, sedang 70 -75% adalah anak-anak normal yang bisa menangkap pengajaran dengan bekerja. SMA di Indonesia menampung hampir 100% anak-anak seusia untuk mengisi bangku-bangku SMA yang tersediakan.

Sudah dapat diduga banyak anak normal menjadi korban beban kurikulum yang semestinya ditujukan kepada anak berintelektual tinggi. Bukti sahih adalah sering terjadi keluhan dari banyak universitas pada mutu lulusan SMA yang menjadi mahasiswa mereka.

Dalam pada itu sekolah kejuruan di Indonesia belum merefleksikan pengajaran dengan bekerja. Sekolah kejuruan di Indonesia pada dasarnya mirip dengan sekolah menengah umum (SMA) dengan penambahan keterampilan tertentu. Saya sebut mirip karena dapat dilihat menjelang ujian nasional akan tampak kegaduhan yang sama dengan SMA.

Artinya sekolah kejuruan lebih membebankan kepada anak dalam pengajaran konvensional seperti layaknya SMA.  Anak yang tidak berintelektual tinggi akan terpuruk. Para calon atlet pun menjadi serba ragu antara berlatih enam jam sehari dan belajar di kelas untuk mendapatkan nilai-nilai tinggi.

Satu tugas serius Mendikbud ialah membenahi kurikulum sekolah kejuruan agar ramah kepada anak-anak normal, yang mudah menangkap pengajaran dengan bekerja, bukan pembebanan pengajaran konvensional di dalam kelas. Menyiapkan kurikulum bagi sekolah kejuruan jangan dipandang remeh, karena lebih sulit daripada kurikulum SMA. Kesulitannya ialah bagaimana memadukan kebutuhan anak-anak peserta ajaran untuk menyiapkan mereka langsung bekerja di masyarakat sekaligus menuju sekolah tinggi kejuruan. Sekolah kejuruan juga harus memberikan ruang kepada calon-calon atlet. Di sini sekolah kejuruan bukan menjadi beban bagi calon-calon atlet, melainkan penopang (sponsor) kebutuhan atlet akan pengajaran. Sekolah kejuruan ada demi calon-calon atlet.

Setelah kurikulum terselesaikan tugas berat menantang di depan. Tugas beratnya ialah menyampaikan penyuluhan kepada masyarakat bahwa sekolah kejuruan merupakan kebutuhan anak-anak untuk mereka diajarkan hidup. Anak bersekolah bukan lagi menjadi gengsi orangtua, melainkan kebutuhan asasi anak guna menerima pengajaran untuk hidup.

 

Sekolah yang Menopang

Sekarang pembaca dapat mengerti mengapa Indonesia kesulitan mencetak atlet-atlet profesional dan atlet-atlet kelas olimpiade. Pembaca jangan terjebak pada tradisi emas Indonesia di olimpiade. Medali emas Indonesia hanya dari cabang bulutangkis, tetapi itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa atlet Indonesia hebat pada cabang bulutangkis.

Sejak bulutangkis menjadi cabang resmi yang dipertandingkan di olimpiade prestasi atlet Indonesia menjadi terukur secara objektif. Sebelum 1992 Indonesia selalu merajai berbagai kejuaran. Ketika bulutangkis menjadi cabang resmi di olimpiade sontak banyak negara, yang sebelumnya tidak menggemari bulutangkis, secara serius menekuni bulutangkis. Setelah 1992 tampak nyata prestasi atlet bulutangkis Indonesia.

Apakah saya bermaksud bahwa prestasi atlet Indonesia merosot? Tidak sama sekali. Pencapaian prestasi atlet bulutangkis berhenti dalam berkembang dan bertumbuh; dari dua medali emas pada 1992 menjadi satu emas dengan sekali tidak mendapat emas pada 2012. Dalam pada itu negara-negara lain yang menekuni secara serius demi medali olimpiade terbang tinggi menjadi sejajar dan meninggalkan Indonesia.

Bagaimana dengan cabang olahraga lainnya? Sangat sulit untuk berkembang apabila tidak ada perubahan radikal sistem pendidikan menengah kejuruan. Sekolah hanya membuat calon atlet ragu-ragu antara memilih menjadi atlet dan belajar di kelas. Selama sekolah tidak menopang calon atlet, selama itu pula Indonesia hanya berkhayal tentang lagu Indonesia Raya banyak berkumandang di pesta olimpiade dan turnamen bergengsi lainnya.

 

Penulis adalah pengamat sosial

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home