Loading...
OPINI
Penulis: Ito Prajna-Nugroho 00:00 WIB | Senin, 12 September 2016

Intoleransi dan Senja Kemerdekaan

Setelah 71 tahun merdeka, sudah saatnya negara mengambil sikap tegas untuk menjaga kemerdekaan dari tindakan-tindakan intoleran yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bersama.

SATUHARAPAN.COM - Belum lama ini, segerombolan massa dengan leluasa merusak dan membumihanguskan kompleks wihara di Tanjung Balai, Sumatera Utara, hanya karena seorang warga memprotes corong masjid yang dianggap terlalu keras. Di tempat lain, patung-patung keagamaan di beberapa tempat ibadah Katolik, seperti di Klaten dan Goa Sriningsih di Sleman, juga dirusak oleh sejumlah orang karena sebab-musabab yang serba tak jelas.

Sementara itu, para pemuda/i baik di kota-kota besar maupun daerah terlihat bukan saja semakin religius menurut standar agama tertentu, melainkan juga semakin mengeksklusi diri dalam kelompoknya, dan bahkan menghilang bergabung dengan kelompok-kelompok teror internasional. Lebih mengkhawatirkan lagi, belum lama ini dalam suatu konferensi terbatas di Bali, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan bahwa terjadi jumlah peningkatan dana masuk dari luar negeri yang tak jelas statusnya dan diduga kuat akan digunakan mendanai gerakan-gerakan garis keras keagamaan di Indonesia (Lihat: Time: Overseas Money is Financing Terrorism in Southeast Asia).

Kekhawatiran segera bercampur dengan keheranan ketika belum lama ini kita dicekoki pemberitaan tentang bahaya laten komunisme oleh beberapa tokoh masyarakat, pensiunan jenderal, dan organisasi massa. Alih-alih mengantisipasi gerakan-gerakan garis keras keagamaan yang tumbuh semakin subur, beberapa tokoh dan kelompok massa justru mengadu domba masyarakat melalui ‘barang lama’ yang sebetulnya di seluruh dunia sudah tidak laku untuk dijual: komunisme.

 

Intoleransi dan Jerat Kerukunan

Entah mengapa di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berbagai kelompok yang berbeda dalam masyarakat menjadi lebih mudah bentrok satu sama lain dan melakukan kekerasan satu terhadap yang lain. Persoalan mungkin terletak pada kondisi masyarakat yang entah mengapa ternyata semakin rentan terhadap konflik. Persoalan bisa juga terletak pada kesalahpahaman dalam menyikapi perbedaan dan keragaman, serta cara negara merawat perbedaan dan mengelola keragaman di tengah masyarakat. Apapun persoalannya, yang jelas setelah 71 tahun merdeka sebagai negara-bangsa berdaulat, negeri ini jelas sempoyongan dalam mengaktualkan semboyan nasional yang terukir dalam panji yang dicengkeram oleh kaki Garuda lambang negara kita: Bhineka Tunggal Ika.

Padahal, Indonesia memiliki sederet Undang-undang dan peraturan yang mengatur kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan. Bahkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk kini boleh dikosongkan jika seseorang memeluk agama lain di luar agama-agama yang diakui negara, atau jika seseorang tidak memeluk agama apapun. Kita juga memiliki Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk sebagai hasil kesepakatan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) nomor 8 dan 9 tahun 2006. Tetapi faktanya kita justru seperti pengembara yang tersesat di tengah belantara keragaman. Ketersesatan itu mungkin juga bersumber dari sesat pemahaman kita dalam memahami fondasi hidup bersama di masyarakat yang saling berbeda dan beragam.

Setiap kali terjadi konflik horisontal antar kelompok masyarakat dan antar umat beragama para punggawa negara serta tokoh masyarakat selalu cepat-cepat meneriakkan retorika kerukunan dan kebangsaan. Seolah-olah hidup berbangsa yang baik adalah hidup yang rukun, padahal hidup yang rukun belum tentu baik, dan kebaikan serta kebangsaan tidak niscaya bergantung pada kerukunan!

Misal: seorang tokoh pengkhotbah agama dapat saja hidup rukun dengan tetangganya yang seorang bandar narkoba atau koruptor kelas kakap, meski kerukunan hidup bertetangga itu dipenuhi kepalsuan, kebohongan dan sikap munafik satu sama lain. Contoh lain: seorang tentara bisa saja tidak pernah rukun dengan koleganya sesama perwira tentara, namun mereka mampu saling mengatakan secara jujur apa yang memang perlu dikatakan dan saling membatasi diri secara dewasa.

Dalam konteks filsafat moral, hidup si tentara menjadi lebih bermutu dan lebih baik secara moral-etis daripada hidup si tokoh pengkhotbah. Sebabnya tidak lain karena dalam suatu hidup bersama yang serba tegang apa yang lebih diperlukan bukanlah kerukunan, melainkan kemampuan untuk saling memahami dan saling membatasi. Dalam istilah Sang Proklamator Soekarno, kemampuan saling membatasi itu disebut sebagai kedewasaan/kematangan politik untuk tahu “sana mau ke sana, sini mau ke sini”. Dalam jagat peristilahan etika dan filsafat sosial-politik, kemampuan saling memahami dan saling membatasi itu disebut sebagai toleransi, bukan kerukunan. Celakanya, di Indonesia toleransi disama-ratakan dengan kerukunan.

Dalam sejarah pemikiran dan sejarah sistem politik toleransi justru dikaitkan dengan keutamaan moral (moral virtues) seseorang, dan bukan keutamaan politik. Dikaitkan dengan keutamaan moral sebab toleransi merupakan kemampuan diri pribadi untuk menimbang apa yang baik dan buruk bagi dirinya, juga mengerti bahwa apa yang baik/buruk bagi diri sendiri belum tentu baik/buruk bagi orang lain. Dengan kata lain, toleransi merupakan kemampuan untuk menyadari kebebasan/kemerdekaan diri sendiri yang berhadap-hadapan dan tidak selalu sesuai dengan kebebasan/kemerdekaan orang lain. Di dasar pengertian ini tentu saja termuat konsep kemerdekaan (liberty) dan kesetaraan (equality) sebagai dua hak asasi dasar yang ada dalam diri setiap manusia di mana saja dan kapan saja, dan dalam dirinya sendiri layak dilindungi.

Dalam Tractatus Theologico-Politicus dan Ethics filsuf Spinoza menyebut toleransi sebagai bagian dari conatus atau hasrat untuk hidup. Toleransi menjadi keniscayaan dari fakta kebebasan diri manusia, demikian dikatakan Spinoza (Ethics E1p29).  Maka bagi Spinoza, semakin bebas seseorang maka semakin ia berkuasa atas dirinya sendiri dan dengan itu semakin mampu membatasi dirinya. Sebaliknya orang yang tidak bebas adalah orang yang tidak mampu membatasi dirinya sendiri, dan dengan itu menjadi beban bagi eksistensi dirinya, diperbudak oleh eksistensinya sendiri.

John Locke, dalam Letter concerning Toleration (Springer: Netherlands, 1963), dengan lebih lugas menjabarkan toleransi sebagai keutaman moral publik yang harus dikedepankan oleh negara demokratis dalam merawat dan melindungi hak-hak sipil setiap orang, seperti kebebasannya (liberty) dan hak miliknya (property). Dalam konsep yang lebih canggih, filsuf seperti John Rawls akan menyebut toleransi sebagai bagian dari fairness kehidupan publik yang memungkinkan setiap orang dapat mengejar “conception of the good” yang diyakininya masing-masing, tanpa harus bertabrakan dengan “conception of the good” yang diyakini orang lain. Conception of the good tidak lain adalah perangkat linguistik yang digunakan Rawls untuk menyebut iman kepercayaan (belief and doctrine of faith) (John Rawls, 2001, Justice as Fairness: A Restatement, Harvard: Harvard University Press).

 

Intoleransi dan Senja Kemerdekaan

Maka jelas bahwa toleransi merupakan keutamaan moral yang bersifat liberal dan publik. Disebut sebagai liberal sebab terkait dengan kebebasan/kemerdekaan (liberty) diri setiap orang sebagai manusia (juga bangsa) yang pada dirinya sendiri berdaulat. Disebut sebagai publik sebab terkait dengan relasi antara satu manusia dengan manusia lain dalam suatu tatanan kehidupan bersama. Toleransi baru bernilai politik ketika negara masuk sebagai pemegang wewenang kekuasaan koersif, hukum dan perundang-undangan yang mengatur kehidupan publik melalui prinsip kewargaan dan prinsip toleransi, bukan kerukunan.

Celakanya, entah bagaimana awal mulanya, di Indonesia kata liberal telah dikonotasikan dengan segala hal yang negatif dan berbau asing. Padahal, dari fondasinya yang paling dasar, Pancasila, Indonesia merupakan Republik yang menganut asas sekular-liberal. Sekular sebab sebagai Republik, Indonesia memisahkan fungsi negara dari fungsi agama, serta tidak menganut agama tertentu yang hanya diyakini sekelompok masyarakat tertentu (mayoritas ataupun minoritas), dan semata mengakui prinsip KeTuhanan sebagai dasarnya. Liberal sebab Indonesia mengakui kemanusiaan yang adil-beradab dan kemerdekaan (libertas) tiap-tiap warga untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan yang layak, kesehatan, juga kemerdekaan untuk memilih keyakinannya masing-masing. Maka kebangsaan (nasionalisme) Indonesia didirikan di atas fondasi kemerdekaan yang berada dalam satu garis konsisten dengan sejarah pemikiran perihal kemerdekaan manusia (liberty/freedom).

Mungkin karena konotasi negatif yang telah terpatri pada kata ‘liberal’, maka negara juga terlihat enggan mengedepankan prinsip-prinsp moral kewargaan yang liberal-republikan. Maka jadilah toleransi diganti dengan kerukunan. Padahal, toleransi mengandaikan adanya pengakuan akan kemerdekaan masing-masing orang, sementara kerukunan justru mengandaikan adanya paksaan (keterpaksaan) tertentu yang menggilas prinsip kemerdekaan.

Suatu negara tiran-diktatur bisa saja menghasilkan masyarakat yang serba rukun, tetapi pasti negara itu bukan negara yang demokratis dan adil. Rezim apartheid di Afrika Selatan dahulu misalnya, relatif menciptakan tatanan yang serba rukun, namun tidak merdeka dan penuh penindasan. Rezim Uni-Soviet di zaman perang dingin juga relatif menciptakan masyarakat yang serba rukun, namun tidak merdeka dan penuh teror serta penyimpangan.  Sementara suatu negara yang warganya merdeka dan demokratis memang tidak akan selalu rukun, melainkan penuh ketaksepakatan dan perdebatan. Tetapi negara demokratis seperti itu, meski tidak harus saling rukun, pastilah negara yang toleran, toleran terhadap perbedaan cara pandang dan keragaman cara hidup sejauh tidak mematikan kemerdekaan orang lain.

Maka yang diperlukan sekarang bukan lagi retorika kosong tentang kerukunan antar warga dan antar umat, melainkan kemampuan negara untuk membadankan kemerdekaan yang telah dicapai 71 tahun lalu itu ke dalam benak kesadaran masing-masing warganya yang seharusnya juga merdeka. Sebab, toleransi hanya mungkin muncul dari diri manusia yang merdeka. Maka merdekakanlah diri masing-masing warga dan dengan demikian toleransi akan menjadi efek moral dan efek sosial-politik yang muncul sebagai akibat turunannya. Tetapi sejauh masih banyak warga yang belum merdeka, bahkan dicerabut dari kemerdekaannya, maka intoleransi dan kekerasan antara warga/antar umat akan terus terjadi, bahkan bertambah banyak. Sebagaimana pernah dikatakan filsuf Spinoza, jika toleransi adalah ujud kemerdekaan diri, maka intoleransi dan kekerasan adalah tanda senjakala kemerdekaan diri manusia.

Setelah 71 tahun kita merdeka sebagai negara-bangsa berdaulat rasanya baik jika kita dapat lebih menyadari bahwa semakin merdeka dan semakin demokratis suatu bangsa, maka diandaikan setiap warganya mengerti tentang ruang lingkup serta batas-batas kebebasannya masing-masing. Sebab yang disebut dengan kebebasan itu memang seringkali paradoksal: ia dapat memerdekakan, tetapi ia juga dapat membelenggu. Kini tergantung pada diri kita masing-masing, juga kebijakan publik yang akan dijalankan oleh para punggawa negeri: jalan manakah yang akan dipilih?

 

Penulis adalah pengajar filsafat lulusan S1 & S2 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan anggota senior pada Lingkar Studi Terapan Filsafat.

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home