Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 20:23 WIB | Jumat, 14 Februari 2014

LBH APIK: Pemisahan Penanganan Perdata dan Pidana Rugikan Perempuan Korban KDRT

Logo YLBH APIK.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemisahan penanganan perkara perdata dan pidana dalam kasus-kasus yang menyangkut hubungan keluarga seperti misalnya perkawinan dan kekerasan dalam rumah tangga dalam sistem peradilan Indonesia menimbulkan dampak merugikan bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam mengakses keadilan. Hal ini disampaikan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia di Jakarta dalam siaran pers di Jakarta pada Jum’at (14/2).

Pemisahan perkara perdata dan pidana menyebabkan proses penyelesaian perkara menjadi  lebih panjang dan mahal  yang menyebabkan impunitas bagi pelaku KDRT. Alih-alih memberikan tambahan kompensasi, Pengadilan sering tidak mempertimbangkan terjadinya KDRT itu selain semata  menjadi alasan terjadinya perceraian. Dalam banyak kasus, para istri yang mengajukan gugatan perceraian karena KDRT justru kehilangan hak-haknya seperti misalnya tidak memperoleh nafkah iddah dan atau uang mut’ah. Padahal, istri yang mengajukan gugat cerai semakin tinggi   59.32 persen atau 190.280 kasus dibandingkan dengan talak yang diajukan suami sebesar 29.33 persen  atau 94.099 kasus. Data ini terkonfirmasi dengan tingginya angka KDRT dibandingkan angka kekerasan atas perempuan lainnya.

Data yang dikutip LBH APIK menyebutkan sebagian besar istri yang mengalami KDRT lebih memilih menyelesaikan masalahnya dengan perceraian dari pada memperkarakan kasus KDRT-nya. Misalnya catatan Komnas Perempuan menyebutkan angka KDRT, khususnya kekerasan terhadap istri  tahun 2012 sebesar  203.507. Sementara Deputi Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sudibyo Alimoeso menyatakan angka perceraian di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik pada September 2013 lalu.

Pentingnya Peran Pengadilan Keluarga

Pengadilan keluarga seharusnya menjadi pengadilan yang problem solving terhadap masalah keluarga, dan tidak  tidak sekedar memutus perkara. Karena itu penyelesaian perkara keluarga harus mempertimbangkan pendekatan kekeluargaan, memberi rasa keadilan, memenuhi hak-hak korban dan mendorong perubahan pada pelaku KDRT.

Pengalaman kantor-kantor LBH APIK dalam menangani kasus-kasus perceraian dan KDRT dan kasus keluarga lainnya memunculkan ide untuk mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melahirkan Undang-Undang Pengadilan Keluarga. Undang-Undang ini dalam rangka memenuhi asas pengadilan yang murah, cepat, dan sederhana serta memenuhi rasa keadilan perempuan dan anak-anak.

Pertimbangan itu mendorong Asosiasi LBH APIK Indonesia dan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan untuk Meminta Mahkamah Agung (MA) mengambil langkah yang diperlukan untuk menghapuskan impunitas yang terkait dengan UU Perkawinan dan UU KDRT. Selain itu juga mendesak DPR dan Pemerintah melakukan upaya yang diperlukan bagi pembentukan pengadilan keluarga untuk menyelesaikan masalah keluarga secara terpadu untuk mewujudkan peradilan yang murah, cepat, dan sederhana. (PR)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home