Loading...
ANALISIS
Penulis: Hananto Kusumo 22:20 WIB | Rabu, 27 April 2016

Lembaga Pemasyarakatan Untuk Siapa?

Kerusuhan di Lapas Banceuy membuka mata kita pada kondisi lapas yang mengenaskan. Apa yang harus dilakukan?

SATUHARAPAN.COM – Tanggal 27 April merupakan Hari Pemasyarakatan Indonesia. Sejak tahun 1964, Menteri Kehakiman Prof. Sahardjo, S.H., telah menandaskan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, melainkan juga mengembalikan para napi ke dalam masyarakat.

Dalam sel penjara yang sepenuhnya terpisah dari orang lain, seorang napi memang dapat benar-benar merasa dihukum berat (tersiksa), karena kodratnya manusia ialah makhluk sosial. Namun, karena lamanya napi hidup terasing, napi itu dalam sel penjara dapat mengalami gangguan jiwa, bahkan dapat menjadi psikopat. Dengan demikian sistem penjaralah yang turut membuat seorang napi semakin jahat.

Oleh karena itu sekarang kita pakai sistem lain, yang lebih manusiawi, yakni sistem pemasyarakatan, melalui pembinaan yang komprehensif. Yang terlibat dalam pembinaan bukan hanya polisi atau petugas pemasyarakatan (sipir), namun juga psikolog, rohaniwan, ulama, pendeta, guru, hingga pelatih keterampilan sebagai sumber mata pencaharian kelak bagi mantan napi yang kembali ke masyarakat. Diharapkan melalui lembaga pemasyarakatan (lapas) seorang napi dibina untuk berperilaku baik, sehingga secara bertahap memperoleh remisi, kemudahan, hingga pembebasan (lihat http://www.satuharapan.com/read-detail/read/menghapus-status-quo-lapas-di-indonesia)  Akhirnya mereka diharapkan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Namun, persisnya masyarakat apa?

Kita juga harus ingat bahwa masyarakat itu bermacam-macam, bukan hanya masyarakat baik-baik. Di satu sisi ada masyarakat kampung, masyarakat perumahan, masyarakat petani / nelayan / buruh, masyarakat  profesi, masyarakat pedagang, masyarakat keagamaan, masyarakat hobi, dll. Namun di sisi lain “masyarakat” juga meliputi kelompok fanatik (geng), kelompok preman, sindikat, persekongkolan jahat, mafia, dll. Di dalam lapas yang tak terawasi dengan baik, dapat terjadi tanpa diketahui petugas: percekcokan, diskriminasi, intimidasi, salah prosedur, penganiayaan, pembunuhan, pemberontakan, kerusuhan, kebakaran, bahkan penjaringan teroris hingga pengendalian peredaran narkoba.   

Sudah puluhan tahun di Indonesia, menjadi rahasia umum bahwa di sejumlah lapas di Indonesia, siapa yang masuk ke sana bukan menjadi semakin baik, melainkan semakin jahat, semakin licin, atau semakin kuat (karena belajar dan berjejaring dengan narapidana yang lain). Dari lapas seorang napi bisa mengenal cara lebih canggih untuk melakukan kejahatan: narkoba, korupsi, penipuan, dan lain-lain. Tak heran banyak transfer trik kejahatan terjadi di lapas.

Jika pemerintah sungguh berniat bersikap tegas terhadap pengedar narkoba, adalah merupakan hal yang ironis jika masyarakat penghuni lapas (bagian yang besar merupakan terpidana kasus narkoba) tidak mendapat perhatian yang memadai melalui pengembangan lapas yang memadai dan terawasi dengan baik.

Hingga kini masih banyak lapas yang penuh sesak, kotor, dan minim fasilitas  minimal. Hingga akhir Maret 2016 penghuni lapas tercatat sebesar 119.706 orang dari kapasitas 183.672 orang. Itu berarti ada kelebihan penghuni lebih dari 53% dari kapasitasnya. Jumlah petugas pemasyarakatan (sipir) juga terbatas (dengan mental yang tak selalu tahan uji), bahkan ada lapas yang jumlahnya 1:50.

Akibatnya penghuni lapas tidak semua dapat dipantau dan dibina dengan baik. Hingga satu dekade yang lalu, hampir 10% di antaranya meninggal dalam lapas. Sebagian besar wafat karena telah menderita sakit sebelum masuk lapas, dan ketika masuk kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan, rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan lapas. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya kelebihan kapasitas pada tingkat hunian lapas.

Terkait dengan itu, sesaknya lapas juga dipengaruhi PP no.99 tahun 2012  tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Sudah tepatlah wacana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk meninjau ulang PP No.99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No. 32 tahun 1999.

Selain alasan praktis (karena PP itu tidak diimbangi penambahan lapas yang memadai), PP itu melanggar salah satu prinsip yang dianut oleh The Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoner yang menolak diskriminasi. Prinsip itu telah diadopsi oleh UU no 12 tahun 1995 pasal 5.b. yang menyatakan bahwa Pemasyarakatan berasaskan persamaan perlakuan dan pelayanan.

Untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas lapas, telah ada Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) sudah dirintis sejak 2006. Penguatan dalam hal regulasi disahkan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 2 Tahun 2014 tentang Program Aksi Kementerian Hukum dan HAM. Ini menjadi pijakan SDP semakin mendapat tempat dalam membangun Pemasyarakatan berbasis IT.

Selanjutnya transparansi kondisi lapas agar dapat dipertanggungjawabkan perlu dibantu dengan peranti keras seperti CCTV secara massal. Melalui CCTV pengawas bisa merekam bila ada ada gerakan mencurigakan, ada rencana melarikan diri, menghasut, atau ada maksud lain. Akan nampak pula bila ada penghuni lapas yang lemah di-bully atau diancam oleh penghuni lainnya atau oleh petugas kemasyarakatan (dulu: sipir penjara). Melalui CCTV akan nampak bila ada petugas yang melanggar prosedur dengan menganiaya atau menyiksa napi. Jika CCTV hidup dan terawasi dengan ketat, tidak lagi ada napi yang leluasa mengatur peredaran narkoba dari lapasnya. Bahkan akan kelihatan semua yang membawa ponsel, senjata tajam, hingga narkoba.

Jika Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bisa mengawasi tiap petak wilayah rawan di Jakarta melalui CCTV, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo bisa mengawasi pelbagai jembatan timbang, maka tempat-tempat lain yang rawan tindak kejahatan, seperti lapas, mestinya juga terpantau juga, oleh minimal hingga Dirjen Pemasyarakatan Kemenhumkam. Dengan alat bukti rekaman CCTV kasus-kasus dalam lapas tidak perlu berkepanjangan, sehingga tujuan membina penghuni lapas (agar bisa memasyarakat) tidak banyak terganggu.

Konsekuensinya, pemerintah perlu terobosan yang berani untuk berinvestasi bagi pembangunan masyarakat, khususnya penghuni lapas. Perhatian yang mendesak untuk diprioritaskan ialah pembangunan jumlah lapas dengan fasilitas yang memadai serta peningkatan anggaran  pengawasan berbasis IT (khususnya CCTV), di samping tentunya meninjau ulang PP No.99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No.32 tahun 1999.

Masyarakat lapas ialah masyarakat Indonesia, yang perlu dijaga hak-hak asasinya. Demikian pula hak-hak para korban kejahatan para napi (seperti narkoba) dan oknum petugas yang menyimpang itu. Komitmen untuk membina para napi itu agar bisa bermasyarakat secara manusiawi, adil dan beradab, tidak bisa dilakukan “asal efisien”,  jika tidak ingin menuai semakin banyak “bom waktu” permasalahan akibat penanganan lapas yang setengah-setengah.

 

Penulis adalah Sekretaris Masyarakat Kristiani Indonesia (MKI) Salatiga, pembina Yayasan Pengembangan Potensi Kawasan dan Kebangsaan (YPPKK), tinggal di Salatiga. 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home