Loading...
INDONESIA
Penulis: Dis Amalo 13:27 WIB | Jumat, 22 Juli 2016

Mantan Ketua PGI Anjurkan Calon Wali Kota Sumbang Gereja

Pdt Dr Andreas Anangguru Yewangoe. (Foto: Dedy Istanto)

KUPANG, SATUHARAPAN.COM - Teolog Kristen, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) 1994-1999 dan 2004-2009, Pdt Dr Andreas Anangguru Yewangoe, menganjurkan para calon wali kota – wakil wali kota Kupang, Nusa Tengara Timur (NTT), untuk memberikan sumbangan kepada gereja-gereja.

Sejauh ini kebanyakan calon kepala daerah hanya menghabiskan uang ratusan juta rupiah untuk sosialisasi diri melalui pemasangan poster tanpa memberi sumbangan kepada gereja-gereja.

"Poster calon kepala daerah itu membutuhkan biaya besar, karena itu sebaiknya uang itu disumbangkan untuk gereja-gereja," kata Andreas di Kupang, pekan lalu.   

Dia mengkritik, meskipun Pilkada Kota Kupang baru digelar 15 Februari 2017, sejumlah poster calon sudah mulai dipampang di sudut-sudut jalan. Poster-poster tersebut dia nilai hanya "mengotori" Kota Kupang dan tidak bermanfaat.

Dia menilai, sikap primordialisme ditonjolkan saat pesta demokrasi, yakni pilkada, sehingga orang yang sebenarnya mampu dalam konteks idealisme, tidak dilibatkan.

Di Indonesia pada umumnya dan khususnya di NTT, justru sering tampak politik balas dendam, sehingga terjadi "potong memotong" di tengah jalan. Hal itu mengakibatkan tidak ada kemajuan, baik sektor pembangunan maupun kesejahteraan masyarakat.

Menurut Andreas Yewangoe, politik di NTT diperkuat dengan emosional agama. Seharusnya isu agama ditanggalkan agar calon yang memiliki elektabilitas yang tinggi bisa maju demi kelancaran pembangunan di daerah itu.

"Isu agama sering dimainkan dalam momen pilkada, namun para calon bupati atau gubernur menghabiskan uang untuk cetak poster ketimbang memberi sumbangan untuk gereja-gereja," katanya.

Andreas Yewangoe menyarankan, sebaiknya agama tidak dicampuradukkan dengan politik, karena politik harus mengandalkan profesionalisme. Intelektual dan kecerdasan tidak lagi dilirik saat ini, tetapi agama dimainkan dalam politik seperti pilkada.

Dalam konteks Indonesia, seluruh masyarakat hidup dalam kemajemukan yang sangat tinggi, baik secara suku, etnis, ras maupun agama. Ini potensi-potensi yang sangat rawan untuk terjadinya ketegangan bahkan konflik.

Dia memberi contoh elektabilitas Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purama (Ahok) yang menjadi pembelajaran politik nasional. Andai saja Ahok terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, artinya emosional agama tidak menjadi andalan di level politik. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home