Loading...
ANALISIS
Penulis: Sabar Subekti 16:22 WIB | Jumat, 11 November 2016

Melihat Masa Depan Palestina di Era Trump

Permukiman Yahudi yang dibangun Israel di wilayah Tepi Barat. Israel mengabaikan seruan internasional untuk menghentikan kegiatan ini yang menggangu penyelesaian konflik Israel-Palestina. (Foto: dok./AFP)

SATUHARAPAN.COM - Masa depan Palestina dan perjuangannya tampaknya akan lebih berat ketika Amerika Serikat dipimpin oleh Donald Trump. Namun mungkin tidak seburuk yang digambarkan oleh Menteri Pendidikan Israel dari partai sayap kanan, Naftali Bennett, yang mengatakan, "Era Negara Palestina berakhir."

Hal ini terutama karena peranan AS yang tidak bisa diabaikan dalam upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) misalnya, beberapa kali AS menggunakan hak veto untuk menggagalkan resolusi yang mengecam tindakan Israel dalam memperluas permukiman baru di Tepi Barat.

Sementara itu, Tump bakal menjadi presiden AS pertama yang tidak punya latar belakang pengalaman di pemerintahan dan militer. Dalam kampanye dia mengeluarkan pernyataan yang kurang mendukung upaya perdamaian di sana. Pernyataan Trump bahkan condong pada Israel, dan tidak memperhatikan kepentingan Palestina.

Selama masa kampnye pemilihan presiden, Trump pernah menyebutkan bahwa dia ingin memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Ini adalah isu sensitif dan menyakitkan bagi Palestina. Karena negara Palestina yang berdasarkan perbatasan pada tahun 1967, wilayah Yerusalem Timur adalah wilayah Palestina, dan hendak dijadikan ibu kota bagi negara itu di masa depan.

 

Presiden AS terpilih, Donald Trump. (Foto: dok)

 

Bukan hanya itu, Trump sendiri tidak menyatakan sikap yang kritis terhadap pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat. Dia juga pernah menyebutkan bahwa Yerusalem adalah ibu kota abadi Israel.

Respons Palestina

Setelah kepastian bahwa Trump terpilih sebagai presiden AS, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, adalah salah satu dari pemimpin Arab yang mengucapkan selamat kepada Trump pada kesempatan awal. Padahal, Trump cenderung sangat negatif bagi aspirasi rakyat Palestina, dan condong lebih dekat ke kepada Israel.

Abbas tampaknya bertahan dengan tetap berharap pada AS (Trump), yang tidak memiliki program kebijakan luar negeri yang jelas, bisa ngubah dengan lembaran baru untuk masalah Timur Tengah, dan perdamaian Israel-Palestina.

"Abbas... berharap hanya perdamaian yang dicapai selama masa jabatannya," kata pernyataan Otoritas Palestina yang dipublikasikan oleh kantor berita resmi, WAFA.

 

Mahmoud Abbas, Presiden Otorita Palestina. (Foto: dok)

 

Abbas juga menyatakan siap bekerja dengan presiden terpilih atas dasar solusi dua negara dan untuk mendirikan negara Palestina dengan garis perbatasan tahun 196, mengacu tahun ketika Israel menduduki Tepi Barat.

Espons lebih pesismistis datang dari Hamas yang tidak melihat ada hal yang bisa diharapkan dari terpilihnya Trump. Hamas menilai kebijakan AS terhadap Palestina selama ini secara konsisten bias, dan tidak mengharapkan perubahan dari pergantian kepemimpinan di AS.

"Rakyat Palestina tidak mengandalkan banyak pada setiap perubahan kepresidenan AS, karena kebijakan AS terhadap masalah Palestina adalah kebijakan yang konsisten atas dasar bias," kata juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri, seperti dikutip AFP.

Respons Israel

Sebaliknya respons dari Israel tampak lebih antusias dengan terpilihnya Trump. Perdana Menteri Israel dari sayap kanan, Benjamin Netanyahu, menyatakan keyakinannya bahwa dia dan Trump bisa bekerja sama untuk membawa hubungan AS-Israel pada tingkat yang lebih tinggi.

Bahkan dia mengatakan Trump mengundangnya untuk pertemuan di AS pada kesempatan pertama. Dia mengharapkan Trump segera setelah memangku jabatan untuk merealisasikan janjinya, memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

 

Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu. (Foto: dok)

 

Trump dari Partai Republik, dan kemungkinan memperoleh dukungan dari Kongres yang dukuasai oleh Republik. Namun memindahkan kedutaan bisa jadi sebagai angan-angan belaka, seperti terjadi sebelumnya.

Keputusan itu mempunyai konsekuensi yang lebih luas dalam diplomasi internasional. Sebab, status Yerusalem tidak bisa diselesaikan tanpa tercapai negosiasi antara Israel dan Palestina di mana Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina, bagian dari Tepi Barat dan Gaza sebagai wilayah Palestina.

Israel memang mendapatkan ‘’angin segar’’ sementara ini dengan terpilihnya Trump, yang menyebut AS dan Trump sebagai teman sejati Israel. Netanyahu juga mengatakan percakapannya dengan Trump sebagai ‘’sangat hangat.’’

"Saya yakin bahwa presiden terpilih, Trump, dan saya akan terus memperkuat aliansi yang unik antara kedua negara dan membawanya ke tingkat lebih tinggi lagi," kata Netanyahu.

Masalah di Timur Tengah

Pembicaraan damai antara Israel dan Palestina yang didukung AS terhenti pada tahun 2014. Dan sejauh ini upaya kembali ke perundingan menemui jalan buntu. Termasuk yang diprakarsai Prancis belakangan ini, karena Israel menolak untuk hadir.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu perdamaian Israel-Palestina dan kemerdekaan Palestina terus merosot dalam pembicaraan internasional. Revolusi Musim Semi Arab yang menimbulkan gejolak dan konflik bersenjata di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara, merebut perhatian dunia pada Palestina. Dan kemudian disusul masalah kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS).

Organisasi Kerja Sama Negara-negara Islam (OKI) dalam pertemuan di Jakarta dan Ankara, Turki yang menyerukan aksi boikot terhadap Israel, juga belum mampu menempatkan kembali masalah Palestina pada agenda prioritas internasional.

Hal ini juga terjadi akibat negara-negara di kawasan sekitar ‘’sibuk’’ dengan tantangan riil yang mereka hadapi. Negara di Afrika Utara (Tunisia, Mesir dan Libya) pasca revolusi Musi Semi Arab, sibuk dengan masalah ekonomi, pengangguran, dan munculnya ekstremisme.

Turki mengalami situasi pasang surut dalam hubungan dengan Israel. Belakangan ini pemerintahan Recep Tayyip Erdogan harus menguras energi untuk urusan internal terkait usaha kudeta pada 15 Juli, dan pemberontakan kaum Kurdistan.

Arab Saudi tengah menghadapi masalah dengan rival regionalnya, Iran, termasuk dalam menghadapi perang saudara di Yaman, di mana pemberontak Syiah Houthi didukung oleh Iran. Dan kedua negara saling berhadapan dalam perang saudara di Suriah.

Secara ekonomi, patut juga dicatat bahwa merosotnya harga minyak membuat banyak negara di Timur Tengah menghadapi masalah ekonomi. Sementara di organisasi negara pengekspor minyak (OPEC), upaya mengangkat harga dengan pembatasan produksi sering menemui kegagalan.

Situasi itu membuat dukungan dan perhatian pada Palestina melemah. Sementara AS di bawah Trump tampaknya akan kurang menguntungkan Palestina. Di sisi lain, masalah yang sekarang membelit negara-negara di Timur Tengah mungkin belum akan surut dalam beberapa tahun ke depan.

Tantangan Internal Palestina

Palestina sendiri menghadapi masalah internal yang belum juga bisa diselesaikan, terutama antara Fattah dan Hamas yang menguasai Jalur Gaza. Pemerintah persatuan Palestina gagal terbentuk, dan Gaza mengalami penderitaan panjang akibat blokade dan perang dengan Israel.

Pemilihan anggota dewan kota di Tepi Barat dan Gaza yang direncanakan pada awal Oktober lalu gagal, kaerena konflik di kedua kubu. Padahal pemilihan dewan kota terakhir adalah satu dekade lalu.

Antara Gaza dan Tepi Barat yang terpisah secara geografis oleh wilayah yang dikuasai Israel, juga makin renggang secara politis akibat konflik antara Fattah dan Hamas. Hal ini melemahkan perjuangan mereka dan juga dalam konsolidasi kekuatan internasional untuk negosiasin dengan Israel.

Di sisi lain, situasi itu dimanfaatkan oleh Israel untuk terus secara masif membangun permukiman baru di Tepi Barat. Protes oleh Palestina dan dunia internasional sering tidak berlanjut dengan tekanan yang nyata bagi Israel untuk menghentikan pembangunan permukiman, bahkan dalam forum di PBB.

Konflik di tubuh Palestina (antara Fattah dan Hamas) dan pembangunan permukiman oleh Israel yang menggerogoti wilayah Palestina sehingga makin sempit, adalah dua hal yang makin mempersulit jalan perdamaian bagi Israel dan Palestina.

Mungkinkah Trump Berubah?

Naftali Benett juga pernah mengucapkan bahwa dia ingin mengundang Trump dan menyaksikan langsung permukiman Yahudi yang mereka bangun. Bahkan dengan ironis menyebutnya sebagai ‘’jalan nyata menuju perdamaian.’’

Namun apakah kebijakan luar negeri AS di bawah Trump nantinya akan seperti yang dia ucapkan dalam kampanyenya? Trump memang telah memenangi pemilihan presiden, namun pemerintahan AS juga akan ditentukan oleh Kongres dan lembaga-lembaga pemerintahan lain. Pernyataan Trump mungkin berhasil memenangi pemilihan presiden, namun ini hal yang bisa berbeda dengan kebijakan luar negeri yang didasarkan kepentingan nasional yang lebih luas.

Penolakan oleh sebagian rakyat AS terhadap Trump yang ditunjukkan dalam demonstrasi  jalanan, tidak bisa diabaikan dan mungkin memaksa perubahan pada Trump dalam isu kontroversial. Dan terkait dengan masalah Palestina, perubahan juga mungkin oleh tekanan dinamika internasional yang mengharuskan Trump melihat Palestina dan Israel dengan kacamata yang berbeda dengan yang selama ini dia lihat.

Namun terkait situasi umum di Timur Tengah, mengangkat masalah Palestina dalam agenda prioritas internasional tampaknya masih membutuhkan kerja keras.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home