Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 05:37 WIB | Selasa, 19 Januari 2021

Menag: Perlu Dikembangkan Pendidikan Agama Berwawasan “Wasyatiyah”

Yacob Tobing: pendidikan jangan dicemari oleh unsur-unsur yang menumbuhkan permusuhan dan kebencian.
Menag: Perlu Dikembangkan Pendidikan Agama Berwawasan “Wasyatiyah”
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. (Foto: Institut Leimena)
Menag: Perlu Dikembangkan Pendidikan Agama Berwawasan “Wasyatiyah”
Ketua Institut Leimena, Jacob Tobing. (Foto: dok. Ist.)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan tentang pentingnya untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia yang wawasan keagamaannya yang wasyatiyah,yaitu toleran dan kontekstual.

Dia mengatakan hal itu ketika membuka Webinar yang diselenggarakan Kementerian Agama bekerja sama dengan Institut Leimena, hari Senin (18/1). Seminar bertema: “Membangun Saling Memahami antara Muslim, Kristen, dan Yahudi sebagai Keluarga Abrahamik Melalui Pendidikan.” 

Webinar itu menghadirkan pembicara Syekh Dr. Mohammad bin Abdulkarim Al-Issa (Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia dan Anggota Dewan Ulama Senior Arab Saudi), Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat-Lebang (Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia/PGI dan Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan), Rabbi David Rosen, KSG, CBE (Direktur Internasional Hubungan Lintas Agama American Jewish Committee dan Anggota Dewan Direktur KAICIID), dan Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Ketua Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia).

Yaqut mengatakan, “Kontekstualisasi ajaran agama ini saya tekankan, karena jujur saja harus kita akui bahwa ada doktrin dan penafsiran keagamaan di dalam agama-agama Abrahamik, yang dianut sebagian pemeluknya, yang mengajarkan kecurigaan dan permusuhan kepada pemeluk agama lain.”

Pendidikan agama yang mengajarkan toleransi dan wawasan keagamaan yang kontekstual menjadi hal yang semakin penting saat ini di mana Islamofobia, antisemitisme, dan berbagai bentuk kebencian agama menjadi marak.

Dia mencontohkan bahwa koeksistensi dan kolaborasi yang damai antara Muslim, Yahudi, dan Kristen telah membawa banyak kemajuan dalam peradaban. Sebaliknya, ketegangan dan konflik di antara mereka sering kali menyebabkan stagnasi peradaban, bahkan kemunduran. Dengan menguatnya identitas agama, maka potensi konflik semakin meningkat.

Diajarkan di Pendidikan

Gagasan merawat kehidupan yang damai dan rukun harus terus diajarkan pada unit-unit pendidikan, sejak unit terkecil di lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, hingga di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, kata Menag. Tema Webinar ini juga berkait kelindan dengan visi Kementerian Agama Republik Indonesia.

Dia menyarankan agar kita harus mengembalikan fungsi agama kepada khittahnya, yaitu agama sebagai sumber inspirasi, sebagai sumber kasih sayang, kebaikan dan perdamaian. Agama tidak lagi boleh menjadi sumber atau norma konflik dari perbedaan-perbedaan yang ada. 

“Agama harus dijauhkan untuk dipergunakan sebagai senjata politik untuk meraih kekuasaan dan kepentingan lainnya, karena itu hanya akan menjauhkan esensi agama dari tujuan yang sebenarnya. Agama selalu bertujuan untuk memperbaiki peradaban, memperbaiki keimanan, memperbaiki akhlak,” katanya.

Yaqut juga mengajak untuk merawat trilogi persaudaraan, yaitu merawat persaudaraan sesama pemeluk suatu agama, memelihara persaudaraan sesama warga bangsa dan memupuk persaudaraan sesama umat manusia. 

Sementara itu, Jakob Tobing, Chairman Insitut Leimena, mengatakan, Bangsa Indonesia, dengan jumlah penduduk 264 juta jiwa, adalah bangsa yang besar. Ada 1.340 suku dengan 1.158 bahasa daerah yang berdiam di 16.058 pulau sepanjang katulistiwa. 

“Sangat beragam, tetapi kita bersatu. Dan kita menyadari, ke masa mendatang, keberagaman itu akan senantiasa bersama kita, namun kita harus tetap bersatu,” katanya dalam sambutan Webinar itu.

Oleh karena itu, katanya, di antara perbedaan dan kesatuan itu, kita perlu membangun dan memelihara sebuah tatanan yang sedemikian, sehingga segala potensi yang terkandung di dalam keberagaman kita, dapat direalisasikan secara konstruktif bagi kesatuan kita, dan potensi yang terkandung dalam kesatuan kita dapat direalisasikan secara positif bagi keberagaman kita. “Jangan sampai kedua hal itu dibenturkan,” katanya.

Pondasi dari setiap bangsa dan negara adalah pendidikan, terutama bagi generasi mudanya. “Oleh karena itu, kebijakan dan program pendidikan kita jangan sampai dicemari oleh unsur-unsur yang dapat menumbuhkan permusuhan dan kebencian di antara sesama warga yang agama dan budayanya amat beragam itu, termasuk khususnya di antara penganut agama Islam, Kristen/Katolik dan Yahudi,” kata Tobing.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home