Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 12:24 WIB | Jumat, 06 Maret 2015

Mengapa Netanyahu Kini Dipandang Seperti Pahlawan oleh Arab?

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, ketika berpidato di depan Kongres AS. (Foto: bbc.com)

RIYADH, SATUHARAPAN.COM – Pidato Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di depan Kongres AS Selasa (3/3) yang menentang kesepakatan nuklir dengan Iran, tidak hanya mendapat tepuk tangan riuh di kalangan Partai Republik di AS dan Partai Likud di Israel. Yang mengejutkan tetapi sangat masuk akal ialah pidato itu secara diam-diam mendapat dukungan di negara-negara Arab, kendati disuarakan diam-diam.

Menurut Christian Science Monitor, kendati PM Israel itu tampak seperti  berdiri sendirian di podium saat ia berbicara di depan para legislator Negara Paman Sam, tak diragukan lagi seruannya memunculkan gaung dan dukungan di antara para pemimpin negara Arab, mulai dari Saudi hingga Mesir. Ia bahkan kini dipandang seperti pahlawan, pemimpin yang lebih bisa menjadi sandaran ketimbang Presiden AS, Barack Obama.

Para pemimpin Arab sudah cukup lama khawatir melihat sepak terjang pemerintahan Syiah Iran yang menangguk keuntungan dari kekacauan yang terjadi di Irak, Suriah, Lebanon  dan sekarang di Yaman. Para pemimpin Arab Sunni itu lebih khawatir lagi karena kesepakatan Amerika dengan Iran terkait program nuklirnya dapat membawa pada dekade ekspansi pengaruh Iran di negara-negara Timur Tengah.

Mempertimbangkan potensi perjanjian yang akan disepakati, para pengamat menilai pemimpin-pemimpin Arab  melihat adanya benih perlombaan senjata nuklir di wilayah tersebut dan tanda-tanda bahwa Amerika mulai lelah menjalankan perannya di Timur Tengah dan ingin mengalihkan fokus ke Asia.

"Fokusnya kini telah beralih ke Netanyahu dan kekhawatirannya mengenai kesepakatan nuklir, seolah-olah ia (Netanyahu) adalah satu-satunya, sementara orang-orang Arab semakin khawatir pada prospek kesepakatan nuklir yang cacat dan apa artinya bagi kawasan," kata James Phillips, peneliti senior untuk urusan Timur Tengah di Heritage Foundation di Washington.

Menurut Philips, aba-aba ini semakin tajam dalam beberapa bulan terakhir dengan tumbuhnya persepsi di kalangan Arab bahwa pemerintahan Obama melihat Iran sebagai "sekutu yang berguna" dalam perang melawan kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau ISIS.

"Mereka khawatir AS akan semakin menutup mata pada kegiatan subversif Iran di kawasan itu," ia menambahkan, "dan bahwa kesepakatan nuklir dapat menyebabkan pemulihan hubungan AS-Iran yang akan menurunkan posisi negara-negara Arab di Teluk pada umumnya, tetapi terutama Arab Saudi, menurut estimasi Washington."

Adanya dukungan diam-diam pemimpin Arab terhadap Netanyahu tersirat dari sebuah tulisan opini di sebuah surat kabar yang berafiliasi dengan pemerintah Arab Saudi. Tulisan yang bernada mendukung Netanyahu tersebut secara luas dipandang merefleksikan pandangan resmi dan utama di Kerajaan Arab Saudi, yang mengungkapkan skeptisme terhadap upaya Obama memperantarai tercapainya kesepakatan nuklir antara negara-negara maju dengan Iran.

“Siapa yang menyangka bahwa Netanyahu kini mengambil posisi lebih baik dibandingkan Obama terhadap kesepakatan Nukir dengan Iran?" tulis Ahmed al-Faraj, dalam kolomnya di koran milik keluarga Kerajaan Arab Saudi, Aljazeera, sehari sebelum Netanyahu menyampaikan pidatonya, sebagaimana dikutip oleh New York Post.

Sebuah tulisan lain, di surat kabar Asharq al-Awsat, milik keluarga Raja Salman, Abdulrahman al-Rashed mengatakan, “Sidik jari Iran ada dimana-mana.” Dan “Iran saat ini merupakan negara penjajah, sejenis negara yang tidak kita saksikan lagi dalams ejarah modern," tulisnya.

Menteri Luar Negeri AS John Kerry telah diutus untuk mengatasi kekhawatieran pemimpin Arab tersebut pada hari Kamis. Para pemimpin Arab berkumpul di Riyadh untuk menemui Kerry yang terbang ke ibukota Saudi itu dari Jenewa setelah melakukan pembicaraan luas dengan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif.

Para pemimpin Arab Sunni mungkin tidak menyukai ide diberikannya peluang bagi Teheran memiliki program nuklir. Namun yang lebih mengkhawatirkan mereka, menurut beberapa ahli di kawasan Timur Tengah, adalah implikasi dari kesepakatan itu yang secara bertahap akan menghapus sanksi ekonomi yang selama ini telah menghalangi beberapa ambisi Iran.

Upaya Presiden Obama untuk mencapai kesepakatan, oleh negara-negara Arab dilihat bukan hanya lampu hijau bagi Teheran tetapi juga simbol beralihnya fokus AS ke poros Asia. Di mata mereka, hal ini akan menjadi bagian dari pergeseran bersejarah, meninggalkan poros Amerika Serikat-Arab yang dulu dicetuskan untuk menghadapi ambisi ekspansionis Iran yang telah ada sejak revolusi Iran tahun 1979.

Para pemimpin Arab Sunni tidak pernah lupa bahwa di hari-hari awal munculnya Republik Islam Iran, Ayatollah Khomeini mencerca  mereka dan mengatakan mereka semua harus diganti, sebagaimana dicatat oleh Richard Murphy, diplomat karier Timur Tengah dan mantan duta besar AS untuk Arab Saudi dan Suriah.

"Mungkin dapat disebut bahwa adalah hiperbolis yang luar biasa ketika Netanyahu mengatakan dalam pidatonya bahwa Iran telah mengambil alih Baghdad, Damaskus, Beirut, dan Sanaa, tapi tidak diragukan lagi bahwa pernyataan itu memiliki gema," kata  Murphy.
"Itu membunyikan lonceng yang terdengar akrab di Yordania, ia menyuarakan keprihatinan di seluruh kawasan bahwa [Iran] telah 'mengepung kita.'"

Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal mengimbau koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) untuk melakukan serangan darat dalam perang melawan kelompok ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau lebih populer dengan sebutan ISIS.

Berbicara dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri AS, John Kerry pada Kamis (5/3), Saud al-Faisal mengatakan negaranya sebagai bagian dari koalisi, “menekankan perlunya memberikan sarana militer yang diperlukan untuk menghadapi masalah ini di darat.”

Kemarin, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Saud al-Faisal, dalam jumpa pers bersama Menlu AS, John Kerry, memperingatkan peran Iran yang semakin meningkat di Irak. Ia menuduh republik Islamis itu “mengambil alih” negara-negara tetangganya tersebut melalui bantuannya dalam perang melawan ISIS.

“Tikrit merupakan contoh utama dari hal yang kami khawatirkan. Iran mengambil alih negara tersebut,” kata Faisal terkait kampung halaman mendiang presiden Saddam Hussein. Faisal menyerukan agar koalisi yang dipimpin oleh AS melakukan serangan darat untuk menggempur ISIS.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home