Loading...
OPINI
Penulis: Josep Purnama Widyatmadja 00:00 WIB | Kamis, 23 April 2015

Mengembalikan Semangat KAA

SATUHARAPAN.COM – Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dibuka dengan pidato Bung Karno yang membuat seluruh peserta terkesima. Dalam pidatonya Bung Karno berkata bahwa kolonialisme belum mati. Kolonialisme memakai baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan interlektual, penguasaan material yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah tengah rakyat. Getaran suara Soekarno tidak saja terdengar di gedung Merdeka Bandung, istana Malacanang, juga menembus Samudera Pasifik dan Hindia, melintas Eropa sampai daratan Amerika,

Dalam pidatonya Bung Karno berkata: “Kita bangsa Asia dan Afrika, untuk kepentingan  perdamaian,Ya kita! Kita bangsa-bangsa Asia Afrika berkekuatan 1.400.000.000 jiwa jauh melebihi setengah jumlah penduduk dunia. Kita dapat menggerakkan moral apa yang saya namakan Paksaan Moral Bangsa- bangsa untuk kepentingan perdamaian.”

Jauh sebelum KAA 1955 berlangsung, pada tahun 1928 Bung Karno  menegaskan  perlunya Asia Afrika bersatu dan bekerja sama  untuk mengakhiri kolonialisme. Ia berkata: "When the Liong Sai Dragon of China works together with then New Nandi Cow of India, with the Sphinx of Egypt and the Peacock of Burma, with the White Elephant of Siam with the Hydra of Vietnam, with the Tigers from the Philippines and with the Banteng Bull of Indonesia, then it is certain that international colonialism will be smashed to bit ..."

Kunci penghapusan kolonialis di bumi menurut Soekarno adalah persatuan dan kerja sama negara negara  di Asia Afrika (Selatan- Selatan) yang berbeda kebudayaan dan agama.  Gaung KAA 1955 sangat terasa sebab setelah konferensi berakhir diikuti dengan pertemuan wartawan Asia Afrika, mahasiswa Asia Afrika dan kerja sama pembangunan diantara selatan dan selatan.

 

Many changes have taken place in the past 50 years ...but the new rules as conceived by the true envisioners in 1955 still bear realistic significance in today's south-north relations.

 

Kerja Sama Selatan-Selatan

Jauh sebelum diadakannya konferensi Asia Afrika 1955 yaitu tahun 1952, Tiongkok dan Sri Langka sudah melaksanakan kerjasama Selatan-Selatan untuk mengatasi blokade ekonomi yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang dikenal dengan “Rubber Rice Pact”. Selama Perang Korea (1950-1953) berlangsung, Tiongkok tidak bisa mendapatkan karet dari Malaysia yang masih di jajah Inggris. Sedangkan Sri Lanka sedang mengalami krisis keuangan karena gagal untuk mendapatkan pinjaman dari Amerika Serikat sebesar USD 50 juta. Amerika memaksakan Sri Lanka untuk membeli beras dari Amerika dan Ekuador pada saat harga beras naik sedangkan harga minyak kelapa, karet dan  teh yang menjadi produksi Sri Langka turun. Dengan Rubber Rice Pact Sri Lanka mengirimkan kelapa minyak sawit dan karet ke Tiongkok sebaliknya Tiongkok mengirim beras ke Sri Lanka sebagai gantinya.

Contoh lain kerja sama Asia Afrika adalah proyek Tazara yaitu “Tanzania-Zambia Railway Authority”,  jalan kereta api sepanjang 1860 km yang menghubungkan kota Dar es Salaam di Tanzania dengan kota Kapiri Mposhi di Zambia. Jalan itu di bangun tahun 1970 – 1975 dengan dana dari Tiongkok USD 500 juta ketika Tanzania dan Zambia gagal memperoleh dana dari negara Barat. Dengan pembangunan jalan kereta api Tazara, Zambia bisa melepaskan diri dari isolasi dan ketergantungan pada  Rhodesia (sekarang Zimbawe) dan Afrika Selatan yang masih dikuasai kulit putih.

Kedua contoh di atas merupakan kerja sama bilateral diantara pemerintah Tiongkok dan Sri Langka (Asia–Asia) serta antara pemerintah Tiongkok dan Tanzania-Zambia (Asia- Afrika). Kerja sama itu tidak sekaligus mencerminkan kerja sama Asia Afrika sebagai kawasan. Kerja sama dan dialog ekonomi antar kawasan  justru terjadi diantara Asia dan Eropa (ASEM) serta Asia dan Pasifik (APEC). Pelaksanaan New Asia Africa Strategic Partnership (NAASP) hasil dari Asia Africa Summit 2005 belum mampu membangun kerjasama antara benua Asia dan Afrika. Di antara negara Asia sendiri terjadi persaingan antara Tiongkok, India dan Jepang dalam kerja sama dengan Afrika.

Misalnya Tiongkok mendirikan Forum on China-Africa Cooperation, sedangkan India mendirikan India-Africa Forum Summit dan Jepang mendirikan Tokyo International Forum on Africa Development. Setelah enam puluh tahun berjalan, Asia Afrika tidak memiliki institusi atau sekertariat untuk melaksanakan kesepakatan konferensi.Sudah waktunya Konferensi Asia Afrika 2015 membangun sekertariat bersama seperti ASEAN dan Organisasi Persatuan Afrika.

Kebangkitan Kekuatan Baru

Keadaan Asia Afrika enam puluh tahun lalu sangat berbeda dengan Asia Afrika saat ini. Saat konferensi Asia Afrika 1955  berlangsung jumlah negara yang hadir dalam konferensi Bandung tak lebih dari 29 negara merdeka di samping utusan dari gerakan kemerdekaan dari berbagai negara. Sebagian besar negara Asia Afrika masih dalam penjajahan negara Barat.Ekonomi, politik dan teknologi dikuasai oleh negara Barat.     

Awal abad dua puluh satu diwarnai munculnya  NEFO “new emerging forces” seperti India, Tiongkok dan Brazil  meminjam istilah Soekarno penggagas KAA 1955. Kekuatan lama OLDEFO (old established forces) mulai merosot seperti Jepang, Eropa dan Amerika Serikat. Mantan sekjen Organisasi Persatuan Afrika Amara Essy dalam sebuah seminar yang di selenggarakan untuk memperingati lima puluh tahun  konferensi Asia Afrika di Beijing pada tanggal 14-15 Juni 2005 berkata: “Many changes have taken place in the past 50 years ...but the new rules as conceived by the true envisioners in 1955 still bear realistic significance in today's south-north relations."

Visi Soekarno tentang dunia baru masih relevan hingga saat ini. Bumi perlu tatanan dunia baru (a new world order) menggantikan tatanan dunia lama yang tak berpihak pada rakyat miskin dan negara bekas jajahan. Semua tatanan dan hukum internasional yang berlaku saat ini dipaksakan secara sepihak oleh kekuatan bekas penjajah. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu munculnya organisassi  BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa)

Dalam bidang pembiayaan pembangunan, munculnya AIIB (Asia Infrastructure Investment Bank) yang di sponsori oleh Tiongkok. AIIB menjadi penyandang dana alternatif untuk pembangunan infrastruktur disamping ADB yang dikuasai oleh Amerika dan Jepang. Negara Asia Afrika sudah  tidak sabar dengan agenda pembaruan struktur IMF dan World Bank yang tak kunjung datang. Kebangkitan BRICS khususnya Tiongkok menjadi kekuatan penyeimbang dominasi Amerika Serikat di World Bank.

Masalah keadilan ekonomi antara Utara dan Selatan tetap memprihatinkan setelah enam puluh tahun KAA berlalu.Bukan saja di tingkat antar kawasan tapi juga di tingkat nasional dan lokal. Pertumbuhan dan kemajuan ekonomi di di Asia Afrika  tidak mengurangi gap antara yang kaya dan yang miskin  karena adanya korupst. Kerja sama Selatan dan Selatan harus mencakup juga pemberantasan korupsi, penegakan HAM, kedaulatan rakyat, lingkungan hidup serta menciptakan perdamaian. 

Peringatan KAA 2015 hendaknya jangan jatuh pada retorika kerja sama Selatan-Selatan, tetapi harus mewujudkannya dengan nyata dalam tindakan konkret.

Penulis adalah Direktur Center for Development and Culture ( CDC), Surakarta  

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home