Loading...
SAINS
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 12:16 WIB | Rabu, 16 Oktober 2013

Orangtua di Asia Rela Menderita Bagi Pendidikan Anak-anaknya

Para orangtua di China pergi melihat anak-anak mereka ujian masuk universitas. (foto: bbc.co.uk)

ANHUI, SATUHARAPAN.COM – Zhang Yang, seorang remaja pintar berusia 18 tahun dari sebuah kota di provinsi Anhui, China diterima belajar di salah satu perguruan tinggi obat tradisional bergengsi di Hefei. Namun, berita tersebut terlalu berlebihan bagi ayahnya, Zhang Jiaseng.

Ayah Zhang setengah lumpuh setelah ia menderita stroke dua tahun lalu dan tidak dapat bekerja kembali. Dia mengkhawatirkan keluarga ini tidak bisa membayar biaya kuliah anaknya karena memiliki banyak utang untuk membayar biaya pengobatannya.

Ketika anaknya sedang dalam perjalanan ke rumah untuk merayakan kebahagiaannya, Zhang Jiaseng bunuh diri dengan menelan pestisida.

Kasus Zhang ini adalah hal yang paling ekstrem. Tetapi, keluarga di Asia Timur menghabiskan lebih banyak uang mereka untuk memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak mereka.

Di negara-negara Asia yang kaya seperti Korea Selatan dan negara berkembang seperti China, “demam pendidikan” memaksa keluarga untuk membuat pilihan yang terkadang membayar tagihan pendidikan akan menjadi hal yang dramatis.

Bahkan ada pula yang menjual apartemen mereka untuk mengumpulkan dana demi menyekolahkan anaknya ke luar negeri.

Pengeluaran Ekstrem

Andrew Kipnis, antropolog di Universitas Nasional Australia dan penulis buku ini menyatakan bahwa di China ada keinginan yang kuat untuk pendidikan dan rela menghabiskan dana yang cukup banyak atau ekstrem demi pendidikan anak-anaknya.

Bukan hanya keluarga kelas menengah. Para pekerja juga ingin anak-anak mereka untuk menjadi lebih baik dari orangtuanya dan melihat pendidikan sebagai satu-satunya cara untuk menjamin mobilitas sosial. Beberapa di antaranya terlibat dalam utang yang sangat banyak.

“Banyak keluarga yang menghabiskan uangnya lebih sedikit pada hal-hal lain. Ada banyak kasus orangtua di pedesaan tidak membeli obat-obatan yang dokter sarankan kepada mereka. Yang menjadi alasan adalah mereka lebih suka menghabiskan uang untuk pendidikan anak-anak mereka,” kata Kipnis.

“Para orangtua mungkin terpaksa menunda membangun rumah baru mereka yang sebenarnya mungkin mereka mampu lakukan,” kata Kipnis yang melakukan penelitian sebagian besar di daerah Zouping kabupaten di provinsi Shandong, di antara rumah tangga kelas menengah dan pedesaan.

“Hal tersebut bisa menjadi sangat intens. Mereka sering meminjam uang dari kerabat dan tak jarang mereka kesulitan untuk membayar kembali utang-utang mereka,” kata Kipnis.

Sebuah survei Euromonitor menemukan bahwa pendapatan per kapita tahunan di China naik sebesar 63,3% dalam kurun waktu lima tahun sampai 2012, namun pengeluaran konsumen untuk pendidikan meningkat hampir 94%.

Hal ini bukanlah hanya masalah pendapatan orangtua. Mendidik anak telah menjadi proyek jangka panjang bagi sebuah keluarga.

Ada bukti dari tingginya tingkat pengeluaran pendidikan di China, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura. Pengeluaran tersebut juga meningkat di India dan Indonesia.

Di Korea Selatan, pemerintah malah yakin “obsesi pendidikan” adalah hal yang dapat merusak masyarakat, pengeluaran keluarga untuk pendidikan mendorong utang rumah tangga mereka menjadi lebih banyak lagi.

Menurut LG Economic Research Institute, 28% rumah tangga di Korea Selatan tidak mampu membayar pinjaman bulanan dan menjadi hal yang sulit ditekan untuk dapat hidup dari pendapatan mereka sendiri.

Menurut perkiraan Samsung Economic Research Istitute di Seoul, sebesar 70% dari pengeluaran mereka dihabiskan untuk membayar pendidikan di sekolah swasta demi mendapatkan keunggulan pendidikan dengan keluarga lain.

Keluarga mengurangi pengeluaran rumah tangga lainnya “di seluruh aspek” kata Michael Seth, profesor sejarah Korea di James Madison University di Amerika Serikat dan penulis buku tentang semangat pendidikan di Korea Selatan. “Ada sedikit uang untuk dibelanjakan pada hal-hal lain seperti perumahan, pensiun atau liburan.”

“Setiap negara berkembang, khususnya China memiliki pola yang sama,” kata profesor Seth.

Sebuah sistem ujian yang sangat kompetitif dan meningkatnya aspirasi sering disalahkan.

“Sistem pendidikan Korea menempatkan tekanan besar pada anak-anak,” kara profesor Seth. “Satu-satunya cara untuk keluar dari sistem ini adalah dengan cara tidak memiliki anak. Cara tersebut sangat mahal untuk mendidik anak yang tidak diragukan lagi bahwa faktor ini yang menyebabkan angka kelahiran di Korea Selatan sangat rendah,” kata dia.

Dijejali Sekolah

Obsesi pendidikan sangat tinggi yang membuktikan bahwa pemerintah Korea Selatan gagal untuk mencoba mengekang hal tersebut berupa keprihatinan tentang pengeluaran keluarga pada pelajaran ekstra-kurikuler dan sekolah menjejali para murid dengan ujian yang kompetitif.

Meskipun belum sampai pada tingkat Korea Selatan, perihal demam pendidikan di China juga menjadi tekanan pada pengeluaran anggaran rumah tangga sebuah keluarga. Sebuah survei terbaru oleh perusahaan riset pasar Mintel, menemukan bahwa sembilan dari 10 anak dari keluarga kelas menengah di China datang di kegiatan kelas tambahan setelah jam sekolah.

Para orangtua percaya dengan kegiatan tersebut akan membantu anak-anaknya masuk ke universitas.

Anak-anak telah belajar sejak lama bahkan sejak dini untuk belajar ujian saringan masuk universitas. Dimana sebelum itu, untuk satu atau dua tahun sebelum ujian masuk universitas, sekarang bisa mulai di sekolah menengah atau bahkan di sekolah dasar.

Matius Crabbe, direktur riset di Asia Mintel menyatakan bahwa orang-orang di China menggunakan tabungan yang mungkin telah disisihkan untuk kesehatan.

“Tetapi karena biaya pendidikan telah meningkat dan kompetisi untuk tempat di universitas yang baik telah menjadi begitu intens, mereka berinvestasi lebih dari tabungan mereka untuk memastikan anak mereka bisa mendapatkan nilai yang mereka perlukan  untuk masuk ke universitas.”

Beban Besar

Hal ini tidak berhenti sampai disitu saja. Hampir 87% orang tua di China mengatakan mereka bersedia mendanai anaknya belajar di luar negeri.

Di masa lalu, pendidikan di luar negeri hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja. Sekarang banyak pihak asing yang akan memberi mereka jalan pintas menuju sukses.

Menurut Akademi Ilmu Sosial China, sepertiga dari mahasiswa Cina yang belajar di luar negeri pada tahun 2010 berasal dari keluarga kelas pekerja.

Hal ini merupakan beban keuangan yang besar bagi orang tua yang mungkin tidak menyadari biaya pendidikan yang sebenarnya.

Menurut Zhang Jianbai yang mengelola sebuah sekolah swasta di provinsi Yunnan, orang tua di kota-kota provinsi yang kecil sering menjual apartemen mereka untuk membiayai studi anak-anak mereka di luar negeri.

“Orangtua memutuskan bahwa anak-anak mereka akan pergi keluar negeri dan membutuhkan sedikit uang karena persiapan tidak dapat diperoleh melalui sistem pendidikan publik,” kata Maurer.

Persiapan pendidikan tersebut termasuk kursus Bahasa Inggris, studi intensif ke Amerika Serikat dan pembayaran yang signifikan bagi agen perekrutan mahasiswa.

Tahun lalu diperkirakan 40 ribu mahasiswa China pergi ke Hong Kong untuk mengambil ujian penerimaan mahasiswa perguruan tinggi di Amerika Serikat, Test Assesment (SAT) yang tidak ditawarkan di daratan China.

Perusahaan pendidikan Tionghoa, New Oriental Education mengorganisir perjalanan SAT ke Hong Kong rata-rata sebesar $1000 (sekitar Rp 11,5 juta) dan orangtua menghabiskan sampai US$ 8.000 (sekitar Rp 90,7 juta) untuk les atau kursus.

Berspekulasi Pada Hasil

Terbatas pada Shanghai dan Beijing yang makmur, tujuan mereka adalah memperluas pasar. Perusahaan mengharapkan pendapatan tumbuh lebih dari 40% di lapis kedua dan ketiga kota-kota di China.

“Orangtua menyerahkan sumber daya terakhir mereka dan bertaruh demi masa depan anak-anaknya dengan mengirimkan mereka sekolah keluar negeri,” kata Lao Kaisheng, seorang peneliti kebijakan pendidikan di Capital Normal University di Beijing.

Ini berarti bahwa ketika orang-orang muda tersebut lulus, ada tekanan besar pada mereka untuk mulai menghasilkan uang.

Hal ini menjadi masalah yang utama karena catatan jumlah mahasiswa pascasarjana berjumlah tujuh juta tahun ini dan gelar luar negeri tidak lagi menjadi hal yang istimewa seperti yang terjadi di masa lalu. Banyak lulusan yang terjebak dalam pekerjaan non-sarjana.

Tetapi dengan timbulnya masalah tersebut tidak mampu meredam demam pendidikan. Di Korea Selatan seperti di negara-negara Asia Timur lainnya, hal itu sangat tertanam dalam budaya mereka yang didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada jalur alternatif untuk keberhasilan atau karier yang baik selain gelar prestise. Mungkin hal itu berlaku pada waktu 50 tahun yang lalu dan untuk saat ini itu hanyalah kebenaran sebagian.

“Kasus ini sangat rasional bagi orang tua yang menghabiskan begitu banyak uang dan memberikan begitu banyak tekanan pada anak-anak mereka,” kata profesor Seth. (bbc.co.uk)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home