Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 22:46 WIB | Selasa, 18 Oktober 2016

Orkes Kampoeng Wangak, Ketika Kaum Muda Memainkan Musik Etnik

Orkes Kampoeng Wangak, Ketika Kaum Muda Memainkan Musik Etnik
Teren Bas tradisional Maumere-Flores, yang dimainkan Orkes Kampoeng Wangak pada Pekan Budaya Masuk Kampus 2016 di plasa Sportorium Univ. Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (12/10). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Orkes Kampoeng Wangak, Ketika Kaum Muda Memainkan Musik Etnik
Sebuah replika Mahe (kubur batu) di depan pementasan Orkes Kampoeng Wangak.
Orkes Kampoeng Wangak, Ketika Kaum Muda Memainkan Musik Etnik
Kegembiraan pengunjung saat merespon perform Orkes Kampoeng Wangak dari mahasiswa Maumere-Flores di panggung seni-budaya nusantara PBMK 2016, Rabu (12/10) malam.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tujuh pemuda berbaju putih dengan sarung tenun ikat khas Flores mengelilingi sesajian di depan sebuah pusara batu. Ketujuh pemuda Maumere tersebut sedang menyiapkan ritual adat blatan mahe.  Blatan mahe merupakan tradisi ritual tertinggi dan paling besar dalam tatanan ritual tradisi masyarakat Maumere (Flores, Nusa Tenggara Timur).

Blatan memiliki arti pemugaran sementara Mahe sendiri artinya kubur batu. Mahe merupakan simbol dari perwujudan arwah leluhur yang selalu menyertai setiap sisi kehidupan masyarakat.

Ritual dimulai dengan Tung Piong, semacam ritual meminta restu arwah leluhur sekaligus menyampaikan tujuan untuk melakukan ritual adat blatan mahe, dilanjutkan dengan ritual Togo dalam iringan lantunan syair-syair adat dan hanya diiringi instrumen Korak (separoh tempurung kelapa) dengan tarian tradisi mengelilingi Mahe selama syair-syair adat dilantunkan.

Tahapan ritual berikutnya adalah Sora yang merupakan syair adat puji-pujian kepada arwah leluhur Ina Nian Tana Wawa, Ama Lero Wulan Reta melalui nyanyian yang diiringi Waning (sejenis gong)  dan Reng (giring-giring) tanpa menggunakan tarian.

Selepas ritual Tung Piong, Togo, dan Sora, sebagai perwujudan syukur dan rasa persaudaraan, seluruh masyarakat berbaur dalam diajak untuk menari dan bergembira bersama (Mai Soka Toja Hama-Hama) dalam alunan nada dan irama khas Maumere dengan diiringi musik orkes kampung. Sekuel Soka Toja dalam acara adat Blatan Mahe biasanya berlangsung lebih dari satu hari.

Teatrikal blatan mahe yang dilakukan tujuh mahasiswa asal Maumere yang tergabung dalam Orkes Kampoeng Wangak mengawali pementasan mereka di panggung Musik Etnik Nusantara Pekan Budaya Masuk Kampus 2016,.

Pimpinan orkes kampoeng Wangak Stefanus Padeng menjelaskan bahwa Mai Soka-Toja Hama-Hama merupakan ungkapan bahasa daerah Maumere yang berarti mari bersukaria dan bergembira bersama-sama.

"Di panggung PBMK 2016 inilah kami, Wangak, mengajak segenap penikmat musik untuk sejenak bergembira dan bersukaria bersama dalam alunan nada dan sentuhan musik etnik ala Maumere dalam satu suasana kebebasan dalam hasrat persaudaraan dan kekeluargaan," jelas Stefan Slow panggilan akrab Stefanus Padeng kepada satuharapan.com di sela-sela pementasan, Rabu (12/10) malam

Orkes Kampoeng Wangak yang terdiri dari seorang vokalis, 2 pemain juk/cuk/ukulele, 2 pemain benyol, seorang pemain jimbe, serta seorang memainkan teren bass dibentuk pada April 2014 dengan memainkan musik etnik Flores dalam format permainan musik kampung yang sederhana.

Wangak berusaha menyajikan musik etnik khas Tanah Maumere mulai dari alat musik yang dimainkan, alunan nada, syair, koreografi, serta kostum yang dikenakan untuk memberikan gambaran tradisi, adat-istiadat, budaya, serta pola kehidupan sosial Orang Maumere.

Di tangan anak-anak muda Wangak, musik etnik menjadi hidup ketika dikemas dalam bahasa yang ringan dan menghibur. Permainan musik khas kampung yang sederhana dengan beat sedang mampu mengajak pengunjung bergoyang dan bergembira bersama saat Wangak menyanyikan lagu Maumere Manise.

Selama perform Wangak, pengunjung tidak beranjak dari depan panggung bergoyang mengikuti ritme irama yang dimainkan dalam beat yang cukup cepat dan menghibur. Yang menarik dari perform Wangak adalah penggunaan teren bass tradisional. Alat musik dawai tanpa grip yang terdiri dari tiga nada ini dimainkan dengan cara dipukul pada satu-satunya senar yang ada. Efek pukulan pada dawai tersebut menimbulkan bunyi dalam nada rendah yang cukup keras.

Dengan konsep karya yang mengambil latar pelaksanaan ritual adat daerah Maumere Wangak ingin menunjukkan bahwa sebagai kaum muda dan generasi penerus kekayaan budaya dan tradisi bangsa ini memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk melestarikan dan mengembangkannya. Pada setiap nilai yang terkandung dalam adat dan tradisi yang dimiliki oleh siapapun selalu mengedepankan nilai kasih, persaudaraan, dan gotong-royong/kebersamaan.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home