Loading...
FOTO
Penulis: Dedy Istanto 14:33 WIB | Jumat, 26 September 2014

Pasca Putusan MK, Implementasi Hutan Adat Belum Maksimal

Pasca Putusan MK, Implementasi Hutan Adat Belum Maksimal
Diskusi media yang digelar oleh Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) digelar dalam rangka mempertanyakan kembali status putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 tahun 2012 tentang keberadaan hutan adat yang dinilai dalam setahun tidak terimplementasikan. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif HuMa Andiko bersama dengan peneliti HuMa Widiyanto dalam diskusi yang digelar di Kantor HuMa Jalan Jatipadang Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (26/9) (Foto-foto: Dedy Istanto).
Pasca Putusan MK, Implementasi Hutan Adat Belum Maksimal
Direktur Eksekutif HuMa Andiko (kanan) saat memberikan keterangan terkait dengan tidak berjalannya implementasi putusan MK 35 tentang hutan adat. Hal tersebut disampaikan setelah HuMa bersama dengan mitranya melakukan riset identifikasi di sejumlah wilayah hutan adat yang ada di Indonesia.
Pasca Putusan MK, Implementasi Hutan Adat Belum Maksimal
Peneliti HuMa Widiyanto (kiri) saat memberikan paparan hasil risetnya di 13 lokasi wilayah hutan adat yang ada di Indonesia untuk menjadi rekomendasi yang bisa dibicarakan dalam dialog nasional yang akan digelar pada 2 Oktober 2014 nanti di Kementerian Kehutanan.
Pasca Putusan MK, Implementasi Hutan Adat Belum Maksimal
Suasana diskusi terkait tentang status penetapan hutan adat berdasarkan putusan MK 35 tahun 2012 yang digelar di kantor HuMa Jakarta Selatan.
Pasca Putusan MK, Implementasi Hutan Adat Belum Maksimal
Para peserta diskusi yang hadir di kantor HuMa membahas tentang status penetapan hutan adat berdasarkan putusan MK 35 tahun 2012.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 tahun 2012 tentang penetapan hutan adat sudah lebih dari setahun tidak terimplementasikan dengan baik. Padahal putusan tersebut dinilai sebagai bentuk koreksi proses menegarakan hutan adat yang telah berlangsung selama puluhan tahun yang menyebabkan pelanggaran hak-hak konstitusional masyarakat adat di wilayahnya.

Pemerintah diminta untuk menyegarkan kembali penetapan hutan adat sebagai implementasi Putusan MK 35/2012. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) Andiko dan Widiyanto peneliti HuMa dalam diskusi media yang digelar di kantor HuMa Jalan Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (26/9).

Diskusi yang digelar merupakah langkah awal menjelang penyelenggaraan Dialog Nasional bertajuk “Penetapan Hutan Adat Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat“ yang akan diikuti berbagai lembaga perlindungan hutan adat. Dialog nasional tersebut rencananya diselenggarakan pada Rabu, 2 Oktober 2014 di Kementerian Kehutanan.

Dalam setahun ini HuMa bersama mitra kerjanya telah melakukan uji legal dan sosialisasi penetapan hutan adat di 13 lokasi yang pemilihannya didasarkan pada subyek pemegang haknya, yaitu masyarakat hukum adat berdasarkan Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Kepala Daerah.

Wilayah lokasi hutan adat yang merupakan hasil riset identifikasi tersebut diantaranya Mukim Lango, Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Beungga, Pidie di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Marga Serampas di Kabupaten Merangin, Jambi, Marga Suku IX di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, serta Suku Taa Wana di Morowali, Sulawesi Tengah.

Sementara upaya hukum adat yang didorong penetapannya menjadi hutan adat diantaranya Kasepuhan Karang di Kabupaten Lebak, Banten, Tapang Sambas di Kabupaten Sekadau dan Ketemenggungan Siyai di Kalimantan Barat, Masyarakat Kampong Muluy di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Amatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba dan Masyarakat Adat Seko di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Utara serta To Marena di Kabupaten Sigi.

Uji legal identifikasi tentang keberadaan masyarakat hukum adat telah diakui secara hukum melalui Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Kepala Daerah. Temuan tersebut merupakan pintu utama untuk memulihkan kembali hak masyarakat adat dan wilayah hutannya. Untuk itu implementasi penetapan hutan adat berdasarkan putusan MK 35 tahun 2012 diperlukan dialog bersama dengan instasi dan pihak terkait dalam hal ini Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, Balai Pertanahan Nasional serta masyarakat adat itu sendiri.

Dengan menjalankan sinergi tersebut, putusan MK 35 tahun 2012 memiliki makna dalam implementasi di lapangandan tidak hanya sebatas norma teks yang tertulis.

“tidak ada alasan untuk menunda penetapan hutan adat“ ujar Andiko.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home