Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 17:15 WIB | Kamis, 10 April 2014

PBB: Kekerasan Seksual di Kongo Dilakukan Militer dan Aparat Negara

Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Navi Pillay, Kepala Penjaga Perdamaian, Hervé Ladsous dan Perwakilan Khusus PBB tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik, Zainab Hawa Bangura dalam konferensi pers tentang kekerasan Seksual di Kongo (Foto: UN /Eskinder Debebe)

KONGO, SATUHARAPAN.COM – Badan hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual di Republik Demokratik Kongo dilakukan oleh anggota tentara nasional negera itu (FARD), dan aparat negara lainnya.

Laporan Komisi Tinggi HAM PBB menyampaikan temuan bahwa pemerkosaan telah digunakan sebagai senjata perang untuk mengintimidasi masyarakat lokal. Kekerasan seksual juga dilakukan untuk menghukum warga sipil karena berkolaborasi kelompok bersenjata atau tentara nasional.

Laporan itu juga menunjukkan bahwa kelompok-kelompok bersenjata bertanggung jawab atas lebih dari setengah kasus perkosaan. Sebagian besar kasus terjadi selama serangan untuk menguasai  wilayah yang kaya sumber daya alam.

Dalam konferensi pers di New York, Komisioner Tinggi HAM PBB, Navi Pillay mengatakan bahwa sebagian besar kasus yang didokumentasikan menyebutkan korbannya adalah perempuan, dan sekitar 906 kasus pada  anak-anak, serta 81 korban laki-laki. Hampir setengah dari 3.600 korban adalah warga di provinsi Kivu Utara di bagian timur yang dilanda perang. Korban termuda berumur dua tahun dan yang tertua berusia 80 tahun.

PBB menyerukan kepada Pemerintah Republik Demokratik Kongo (DRC) untuk melawan impunitas (kekebalan) para pelaku pemerkosaan dan kekerasan seksual. "Saya meminta pemerintah untuk memprioritaskan perjuangan melawan impunitas untuk kejahatan kekerasan seksual. Negara segera menyelesaikan penyelidikan yang efektif dan independen, serta menjatuhkan hukum terhadap pelaku, termasuk mereka yang dicurigai memiliki tanggung jawab sebagai komando," kata Pillay.

Laporan  Kantor HAM PBB mendokumentasikan insiden serius kekerasan seksual di negara itu dengan lebih dari 3.600 korban pada Januari 2010 hingga Desember 2013. Laporan ini juga menggambarkan sifat sistematis dari beberapa kasus kekerasan seksual.

Menurut Pillay, kemauan politik pada tingkat tertinggi tidak diterjemahkan di lapangan. "Tidak semua otoritas Kongo siap untuk penyelidikan menyeluruh pada semua kasus kekerasan seksual dan untuk mengadili para perwira paling senior dari FARDC. Kurangnya parah sumber daya dan kapasitas manusia juga tetap menjadi hambatan utama dalam sistem peradilan di DRC.

"Banyak korban tidak melaporkan kejadian karena takut pembalasan, stigmatisasi atau penolakan oleh keluarga dan masyarakat," kata dia. Sedangkan dalam kasus di mana korban mendapatkan kemenangan hukum, mereka juga tidak menerima pemulihan yang menjadi hak hak mereka dari pelaku dan negara. (un.org)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home