Loading...
RELIGI
Penulis: Francisca Christy Rosana 13:49 WIB | Senin, 24 November 2014

Penanaman Ajaran Sunda Wiwitan Sempat Terputus

“Kami merasa Sunda banyak kehilangan akar sejarah, banyak kehilangan tinggalan jati diri karena proses syiarisasi agama dan misionarisasi di Jawa Barat yang sangat keras."
Anak-anak penghayat Sunda Wiwitan di Jawa Barat. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penanaman ajaran Sunda Wiwitan di Jawa Barat yang telah muncul jauh sebelum Indonesia merdeka ternyata sempat terputus saat negara mengalami penjajahan.  

Dewi Kanti, penghayat dan pegiat Sunda Wiwitan mengatakan penanaman ajaran sempat terputus karena adanya misionarisasi dan islamisasi.

“Memang kalau di Sunda Wiwitan itu sempat terpotong penanaman ajaran dengan adanya agama-agama baru yang masuk pada masa itu. Sampai ke akar kami sempat terpangkas,” kata Dewi di Jakarta pada Sabtu (22/11).

Penanaman ajaran yang terpotong ini berdampak pada hilangnya akar sejarah. Bahkan, pada masa penjajahan tersebut Sunda Wiwitan pernah dilabeli oleh Belanda sebagai agama Jawa-Sunda.

“Kami merasa Sunda banyak kehilangan akar sejarah, banyak kehilangan tinggalan jati diri karena proses syiarisasi agama dan misionarisasi di Jawa Barat yang sangat keras. Jadi, jangan dikira masuknya agama-agama di Jawa Barat itu baik-baik saja,” kata Dewi.

Terjebaknya ajaran spiritual Sunda Wiwitan dalam periodesasi ini tak menyurutkan para penganutnya untuk kembali melakukan tinjauan spiritual nenek moyang.

“Di Cibubur saat era penjajahan Belanda, komunitas kami akhirnya menumbuhkan lagi sebuah penggalian terhadap keyakinan leluhur,” ujar Dewi.

Penggalian keyakinan adat karuhun atau adat leluhur Sunda dianggap sebagai benteng pertahanan terhadap penjajah agar tidak dikuasai oleh kapitalisme yang mencengkeram pada masa itu.

Kesadaran Religiusitas Sudah Lama Muncul

Masyarakat Sunda, kata Dewi, sejak zaman dahulu tidak sekadar memaknai Sunda sebagai sebuah etnis, tetapi juga kesadaran geografis dan filosofis.

Sunda Wiwitan sebagai sebuah ajaran agama dan tuntunan kehidupan bagi penghayatnya telah muncul saat leluhur mulai memiliki kesadaran religiusitas.

“Kami tidak bisa mendeteksi sejak tahun berapa kesadaran itu muncul, tapi ada kesadaran religiusitas dari tinggalan-tinggalan sejarah,” ujar Dewi.

Kesadaran itu, kata Dewi, muncul jauh sebelum agama-agama resmi yang diakui negara seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Konghucu masuk di Indonesia.

“Saya harap masyarakat kembali menyadari akar sejarah itu,” kata Dewi.

Sekilas Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan merupakan sebuah ajaran spiritual yang berpangkal pada pengolahan dan penyempurnaan apa yang ada dalam tubuh manusia.

“Tubuh manusia ini bukan hanya seonggok daging. Apa yang kita makan dan kita minum mempengaruhi tubuh kita. Jangan sampai karakter binatang menguasai tubuh kita,” kata Dewi.  

Dalam praktik spiritualnya, Sunda Wiwitan kerap mengadakan upacara adat yang melibatkan makhluk hidup serta alam seperti pohon dan gunung. Keterlibatan alam dalam upacara spiritual, kata Dewi, sering dipandang sebagai hal yang tabu oleh masyarakat.

“Pandangan masyarakat seolah-olah leluhur kami menyembah gunung, pohon, dan sekeliling untuk mempertuhankan benda padahal itu bukan untuk mempertuhankan benda atau makhluk-makhluk itu, tapi mereka punya rasa religiusitas bahwa ada yang kuasa dari dirinya,” kata Dewi.

Dalam prosesnya, menghormati pohon dan menghormati gunung kata Dewi adalah sebuah penghormatan terhadap penyelaras kehidupan.

“Pohon, gunung, dan alam sekitar ialah penyelaras dan pendukung kehidupan. Mereka percaya bahwa gunung dan pohon itu juga bagian dari karunia yang diciptakan oleh Maha Pencipta untuk menemani kami dalam kehidupan,” kata dia.

Mempertaruhkan Nilai Kemanusiaan

Penghayat Sunda Wiwitan yang hingga kini masih bertahan, sebagian besar telah mempertaruhkan nilai-nilai kemanusiaan mereka dengan stigma negatif dan labelisasi yang muncul dari masyarakat kebanyakan.

“Kami tidak mempersoalkan label apapun yang diberikan kepada kami termasuk strategi Belanda untuk memecah belah kami dengan anggapan seolah-olah kami ingin membuat agama baru, padahal kami sudah ada sejak dulu” kata Dewi.

Stigma negatif ini menurutnya telah muncul sejak penjajahan Belanda dan sampai sekarang diwarisi oleh aparatur negara.

Stigma negatif ini seolah-olah telah menjadi risiko seumur hidup yang harus ditanggung oleh para penghayat Sunda Wiwitan.

“Kami sebetulnya adalah benteng pertahanan terakhir negara ini. Ketika kami sudah tidak mampu berdiri di tanah leluhur kami sendiri, tak ada Bhinneka Tunggal Ika,” Dewi memungkasi. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home