Loading...
OPINI
Penulis: Meilinda Anjarsari 00:00 WIB | Kamis, 22 Januari 2015

Perempuan dan Ruang Publik

SATUHARAPAN.COM – Ketika membincang ruang publik, seolah kita sedang membincangkan ruang milik laki-laki, dan perempuan adalah tamu yang hanya boleh sesekali berkunjung. Maka tak heran, jika ruang publik kita disesaki oleh kegiatan-kegiatan yang didominasi laki-laki. Seperti tanah lapang, begitupun ruang publik seperti taman atau tempat-tempat umum lainnya seolah menjadi haram untuk perempuan pada malam hari.

Pemaknaan dan tafsir ruang publik sebagai milik laki-laki, akhirnya menjadikan ruang publik menjadi tidak ramah perempuan. Perempuan yang keluar dari area domestik di tengah malam tanpa ditemani laki-laki, melintasi ruang publik yang sepi dan gelap, rawan diganggu, merasa tidak nyaman dan aman bahkan akan dikesankan sebagai perempuan nakal,  perempuan yang berkumpul di ruang publik taman di siang haripun, tak jarang mendapat pelecehan-pelecehan verbal, berupa suit-suitan atau bahkan vonis bahwa aktivitas para perempuan itu hanyalah untuk bergosip-ria saja.

Ini tentu saja tidak adil, karena seharusnya ruang publik dimaknai sebagai ruang untuk menghargai perbedaan, ruang bertemunya semua kelompok manusia, baik perempuan maupun laki-laki, kaya maupun miskin, tua maupun muda, untuk berinteraksi secara setara, yang harus terbebas dari rasa takut, sehingga tercipta kenyamanan bersama walaupun dalam perbedaan. 

Ruang publik harus dikembalikan kepada fungsinya sebagai ruang aktualisasi diri semua jenis kelamin dalam mengekspresikan perbedaan. Spontanitas dan kreativitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari di ruang publik. Ruang publik tidak boleh menjadi ruang kepentingan satu golongan yang  akan membatasi ekspresi golongan tertentu sehingga harus dimiliki dan dikendalikan oleh pemerintah atau kelompok tertentu.

Dalam kehidupan sehari-hari ruang publik dapat meliputi berbagai akses yang digunakan bersama-sama berupa jalan, taman-taman, tempat belanja, kampus, rumah sakit, fasilitas transportasi umum (halte), museum  dan sebagainya. Sebagaimana Roger Scuurton (1984) mengatakan bahwa setiap ruang publik memiliki makna sebagai sebuah lokasi yang didesain seminimal apapun, memiliki akses yang besar terhadap lingkungan sekitar, tempat bertemunya manusia/pengguna ruang publik dan perilaku masyarakat pengguna ruang publik satu sama lain mengikuti norma-norma yang berlaku setempat.

Sebagai tempat untuk berinteraksi sosial,ruang publik harus dapat diakses oleh berbagai macam golongan masyarakat tanpa adanya sekat akibat perbedaan latar belakang yang tak bias gender.  Pada kenyataanya ranah publik ini masih menjadi ruang hegemoni laki-laki, perempuan tidak mendapatkan cukup ruang untuk berpartisipasi secara total di ruang publik. Padahal perempuan salah satu bagian dari masyarakat yang kedudukannya setara dengan laki-laki. 

 

Perempuan Sebagai Jenis Kelamin Kedua

Ruang untuk ekspresi perempuan masih jauh dari semangat kesetaraan sehingga potensi-potensi besar yang dimiliki oleh perempuan tidak tersalurkan. Perempuan dianggap sebagai the second sex sehingga mendapat diskriminasi dalam berbagai aspek. Di bidang pekerjaan perempuan dianggap lemah sehingga diposisikan pada pekerjaan-pekerjaan yang lebih rendah daripada laki-laki. Setidaknya itulah paradigma yang muncul. 

Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, penggoda, pelengkap laki-laki sehingga perempuan dipandang lebih pantas untuk menjadi sekretaris pribadi, pelayan di kafe maupun pelayan di tempat karaoke, caddy golf dan pekerjaan-pekerjaan lain yang mengharuskan perempuan untuk tampil memesona untuk melayani lelaki. 

Idi Subandy Ibrahim mengkritik iklan perempuan yang dieksploitasi sedemikian rupa, sebagai bagian signifikan dari pengukuhan ideologi kapitalisme yang menjadikan perempuan sebagai objek sekaligus komoditas. Hal inilah yang ditangkap oleh Idi Subandy Ibrahim sebagai kekerasan wajah baru terhadap perempuan, akhirnya hal tersebut menyebabkan ketersiksaan batin bagi perempuan-perempuan yang merasa dirinya tidak ideal. Dengan keputusasaan sebagian perempuan akan mengambil jalan pintas untuk merubah dirinya menjadi ideal dengan operasi plastik, sedot lemak, pemasangan silikon pada payudaranya dan lain sebagainya.

 

Tuhan tentu tak pernah berorientasi menciptakan makhluk perempuan sebagai makhluk yang dihadirkan untuk terus menerus mendapatkan perlakuan diskriminatif, tak adil dan menjadi tunggangan pemuas laki-laki. Perempuan dihadirkan untuk bisa saling melengkapi bersama makhluk laki-laki.

 

Belum lagi permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Masyarakat Indonesia yang menganut budaya patriarkhi menganggap laki-laki yang paling unggul dalam segala bidang akan membatasi gerak perempuan. Masyarakat masih menganggap tabu perempuan yang sering keluar rumah terlebih perempuan tersebut gadis. Para perempuan dengan aktivitas padat sehingga mengharuskannya pulang malam digunjing para tetangganya sebagai perempuan tidak benar.

Keterbatasan akses dan partisipasi perempuan terhadap kehidupan publik, akhirnya menurut Nandita Bhatla berdampak pada masyarakat secara sosial, ekonomi, dan  politik. Secara sosial mempengaruhi relasi interpersonal dan kualitas hidup. Secara ekonomi, partisipasi  pada kegiatan ekonomi berkurang, produktivitas rendah, penghasilan rendah, dan investasi juga rendah. Dan secara politik mempengaruhi partisipasi dalam proses demokrasi. 

 

Menggugat Hegemoni Laki-laki

Budaya patriarki yang telah menggurita, mempengaruhi segenap pikiran mayoritas masyarakat, sehingga menganggap wajar dan absah perempuan sebagai subordinat laki-laki, terlebih lagi agama dan seluruh tafsirnya disusun oleh laki-laki, bahkan negarapun mengambil peran penting dalam mengabadikan hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Sebuah budaya yang diciptakan secara sistemik dan massif selama berabad-abad.

Tuhan tentu tak pernah berorientasi menciptakan makhluk perempuan sebagai makhluk yang dihadirkan untuk terus menerus mendapatkan perlakuan diskriminatif, tak adil dan menjadi tunggangan pemuas laki-laki. Perempuan dihadirkan untuk bisa saling melengkapi bersama makhluk laki-laki. Untuk itu, menggugat hegemoni laki-laki atas perempuan adalah keniscayaan karena merupakan bagian dari perjuangan kemanusian, menggugat diskiriminasi dan dominasi laki-laki, bukanlah menggugat hukum Tuhan.

Mengacu pada Foucault, pengetahuan lebih merupakan produk positif kekuasaan, kekuasaan menyebar dan lebih jauh lagi kekuasaan menciptakan realitas, termasuk tafsir agama dan kekuasaan yang memosisikan perempuan sebagai jenis kelamin kedua setelah jenis kelamin laki-laki. 

Maka apabila wacana dominasi patriarkhi merupakan hasil kekuasaan yang dominan, cara membendungnya adalah dengan memunculkan wacana tandingan, melakukan dekonstruksi terhadap budaya mapan, dan ini harus dilakukan melalalu kesadaran kolektif masyarakat. 

Melawan budaya patriarkhi yang telah mapan, tentu saja bukan pekerjaan mudah, diperlukan gerakan-gerakan terencana dan terukur, karena pasti gerakan perempuan yang menuntut kesetaraan akan dianggap sebagai ancaman, anti realitas, melawan takdir bahkan akan dianggap sesat oleh kelompok yang menjustifikasi dirinya sebagai pemilik kebenaran dengan memperalat agama.

Salah satu ikhtiar yang bisa dijalankan adalah memperkuat studi gender, karena tanpa adanya pemahaman terhadap makna gender kita akan terus menemui ketimpangan-ketimpangan perlakuan terhadap perempuan. Kelompok-kelompok tercerahkan harus ikut mendukung kampanye dan pendidikan secara terus menerus menghilangkan diskriminasi yang tak adil terhadap perempuan, tak boleh ada satupun mereka yang memosisikan diri sebagai pejuang keadilan membiarkan perilaku tak adil terus menerus dilestarikan.

Kaitannya dengan ruang publik pemerintah juga harus membuat peraturan khusus terkait dengan ruang publik ramah perempuan, seperti memberikan penerangan dan akses memadai terhadap seluruh ruang publik, yang bisa menjamin rasa aman dan nyaman bagi perempuan, untuk menjaga keseimbangan peran dalam kehidupan bermasyarakat sehingga perempuan akan lebih aman dan nyaman dalam mengekspresikan dirinya. 

Harapannya, kerjasama yang tercipta antara pemerintah, penyedia ruang publik dan pengguna ruang publik akan menciptakan keharmonisan dalam interaksi sosial, sehingga ruang publik tidak lagi hadir dalam wajah yang tak ramah, tetapi penuh rasa keadilan, setara dan tidak saling mengeksploitasi.

 

Penulis adalah Pegiat Diskusi Majelis Kamisan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home