Loading...
RELIGI
Penulis: Tunggul Tauladan 16:00 WIB | Kamis, 16 Oktober 2014

Pergulatan Gereja di Belanda Kala Revolusi Indonesia

Dari kiri ke kanan: Moderator, Dr. Hans van de Wal, Dr. Ahmad Yani Anshari, MA (UIN Sunan Kalijaga), Dr. Floribertus Hasto Rosariyanto, SJ (Universitas Sanata Dharma), dan Pdt. Dr. Jozef M. H. Hehanussa, M. Th. (Universitas Kristen Duta Wacana). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gereja-gereja Belanda punya peran penting dalam pergerakan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Dituangkan dalam buku untuk membuka mata masyarakat.

Kaum pergerakan yang meletupkan revolusi Indonesia ternyata mengejutkan banyak kalangan di Belanda. Keterkejutan tersebut disebabkan, salah satunya karena minimnya informasi, tentang Hindia Belanda (Indonesia) yang sampai ke telinga orang-orang di Negeri Ratu Wilhelmina tersebut. Penyebab lain adalah hegemoni NaziJerman yang mengungkung Negeri Belanda sehingga akses informasi untuk mengetahui nasib negeri jajahan (Indonesia) sangat dibatasi. Ditambah lagi, Hindia Belanda sejak 1942 dicengkeram oleh tentara pendudukan Jepang sehingga ruang gerak, baik ke dalam untuk melakukan pergerakan maupun keluar untuk menjalin diplomasi, sangat sulit dilakukan.

Di sisi lain, Politik Etis yang telah diberlakukan Belanda untuk Hindia Belanda pada 1900-1914 ternyata berdampak cukup luas. Salah satu dampaknya adalah munculnya simpatisan di Negeri Belanda yang menaruh simpati teramat besar bagi revolusi Indonesia. Kaum yang sangat respek dengan perjuangan orang-orang Indonesia, salah satunya, adalah para zending dan gereja-gereja di Belanda. Lewat zending, gereja-gereja di Belanda berupaya untuk membantu dengan beragam cara agar roda revolusi tetap berjalan. Namun, di sisi lain, dari golongan partai politik, muncul pula antithesis yang menganggap bahwa Hindia Belanda tak pantas untuk merdeka. Mereka menganggap bahwa revolusi dus kemerdekaan Indonesia adalah buah dari pemberian Jepang.

Dialektika inilah yang kemudian memunculkan pergulatan antara gereja dengan kaum politik. Dialektika ini kemudian dipotret oleh Dr. Hans van de Wal hingga melahirkan buku yang berjudul Terbelah dalam Kancah Revolusi: Kaum Protestan Belanda dan Pekabaran Injil Belanda Menghadapi Revolusi Indonesia. Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) ke-52, buku karya Hans yang diterbitkan oleh Yayasan Cemara ini akhirnya berupaya dibedah pada Rabu (15/10) di UKDW, Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 5-25, Yogyakarta. Hans sendiri hadir sebagai pembicara utama, sedangkan pembedah buku ini terdiri dari tiga orang, yaitu Dr. Ahmad Yani Anshari, MA (UIN Sunan Kalijaga), Dr. Floribertus Hasto Rosariyanto, SJ (Universitas Sanata Dharma), dan Pdt. Dr. Jozef M. H. Hehanussa, M. Th. (Universitas Kristen Duta Wacana).

“Di Belanda terdapat dua gereja, yaitu Gereja Gereformeerd dan Hervormd yang dinilai sangat bersimpati terhadap revolusi Indonesia. Lewat kedua gereja ini muncul gerakan pembaharuan, khususnya pekabaran Injil, yang berupaya untuk melompati nasionalisme mereka ketika berlangsung revolusi Indonesia,” demikian disampaikan oleh Hans.

Gerakan pembaharuan tersebut tidak berjalan mulus. Pasalnya muncul partai politik dengan gerakan konservatif yang menentang adanya revolusi, bahkan anti republik.

“Adanya partai politik berhaluan sangat konservatif yang memilih sikap anti revolusi dan republik ini membuat kaum yang bersimpati terhadap revolusi Indonesia menjadi agak terisolir. Pada saat inilah, gereja dihadapkan pada kenyataan sehingga bersikap untuk berani menentang kebijakan Pemerintah Belanda ketika mengangani konflik di Indonesia,” jelas Hans.

Tentangan dari kaum konservatif tampaknya tidak menyurutkan langkah gereja-gereja di Belanda untuk membantu mengirimkan zending ke Indonesia dengan tujuan untuk membantu kaum pergerakan. Beberapa nama yang secara nyata turut serta bahu-membahu untuk membantu kaum pergerakan adalah seorang ahli bahasa pada lembaga Alkitab Belanda (Nederlands Bijbel Genootschap atau NBG) bernama Hendrik Kraemer. Kraemer berkenalan dengan kaum pergerakan di Indonesia, mendampingi kaum nasionalis, sehingga membentuk orang-orang tersebut menjadi tokoh besar, seperti G.S.S.J. Sam Ratulangi (1890-1949). J.M.J.Schepper (1888-1967), seorang mantan konsul Perwakilan Zending (Zendingsconsulaat) menjadi terkenal karena sepakterjangnya dalam membuat brosur, mengkritik jalannya persidangan yang melibatkan Sukarno. Nama Amir Sjarifuddin juga disebut-sebut dekat dengan Schepper. Amir diketahui sering ikut dalam pertemuan studi-studi Alkitab yang diadakan oleh Schepper.

Buku karya Hans yang menyoroti pergerakan zending tersebut mampu membuka wacana, bahwa pergerakan zending di Indonesia masa revolusi sangat berpengaruh. Kaum elite gereja di Belanda ternyata mampu berbuat banyak untuk membantu revolusi Indonesia. Sikap elite ini diapresiasi oleh pembedah pertama, yaitu Dr. Ahmad Yani Anshari, MA.

“Buku ini melengkapi sejarah revolusi Indonesia, di mana para elite gereja memberi sumbangsih yang luar biasa. Peran zending ini juga diakui sebagai jembatan antara Indonesia dengan dunia internasional, di mana salah satunya, Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB),” papar Ahmad Yani.

Di sisi lain, Dr. Floribertus Hasto Rosariyanto, SJ mengapresiasi hadirnya buku ini karena porsi luar Jawa mendapatkan tempat di buku ini. Pasalnya, menurut pria yang akrab disapa Romo Hasto ini, buku-buku sejarah di Indonesia lebih cenderung bersifat Jawa sentris.

“Gereja Protestan membawa kita pada Indonesia, di mana dimensi di luar Jawa mendapat tempat di buku ini. Selain itu, buku ini juga membantu kita untuk mengetahui orang-orang Protestan yang membantu kaum nasionalis. Padahal sebelumnya kita kurang mengenal sepak terjang orang-orang Protestan tersebut dalam pergulatan nasionalisme Indonesia,” jelas Romo Hasto.

Pembedah terakhir, Pdt. Dr. Jozef M. H. Hehanussa, M. Th. lebih menyoroti, tepatnya, menyanjung semangat ekumenis yang ditunjukan oleh kaum Protestan beserta gereja-gereja di Belanda terhadap kaum nasionalis beserta gereja-gereja di Indonesia. Semangat untuk mendirikan konsili di Indonesia ini secara langsung membantu perjuangan kaum pergerakan untuk menjalankan revolusi Indonesia.

“Satu hal yang sangat saya soroti adalah semangat ekumenis yang sangat besar di gereja-gereja dan orang-orang Belanda terhadap gereja-gereja di Indonesia,” pungkas Pendeta Jozef. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home