Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 07:14 WIB | Senin, 31 Desember 2018

Pilih Ini Saja: Katakan yang Benar!

Tidak semua yang benar harus dikatakan, tetapi semua yang dikatakan haruslah benar (Anonim)
Pinokio (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – ”Hiiii… Kaisar telanjang!”

Inilah kejujuran anak-anak dalam dongeng yang banyak kita kenal, mengenai seorang Kaisar yang berhasil dibohongi oleh seorang ahli tenun bahwa serat yang paling indah telah dibuatkan baginya. Padahal serat itu transparan alias tak ada seratnya.

Para penasihat Kaisar tidak berani membantah karena takut Kaisar marah. Karena kelihaian berbohong itulah, Kaisar bisa diperdaya dan berkeliling kota sambil menggunakan ”jubah yang terbuat dari serat terindah”. Wargapun mengelu-elukan Kaisar karena tidak berani menyatakan kejujuran mengingat konsekuensi keamanan bagi diri mereka.

Hanya anak kecil itulah yang berani menyampaikan dan meneriakkan kejujuran bahwa sesungguhnyalah Kaisar telanjang. Kejujuran yang membukakan mata Kaisar bahwa ia telah dibohongi. Jika peristiwa  tersebut terjadi dalam dongeng Pinokio, betapa banyak orang yang akan bertambah panjang hidungnya karena membohongi Kaisar. Hanya Si Anak Kecil yang jujur itu saja yang tak berubah ukuran hidungnya.

Cerita seperti dongeng ”Baju Kaisar yang Baru” itu terasa jauh dari kenyataan hidup berbangsa. Cerita dengan nilai moral tinggi itu seolah tidak ada lagi gaungnya pada masa kini.

Pada tahun yang akan berakhir ini, sepanjang tahun, berapa banyak kebohongan yang telah kita dengar, kita kritisi, namun tidak jarang juga kita percayai begitu saja dan kita telan mentah-mentah, bahkan kita teruskan  kepada orang lain tanpa menyadari bahwa kita pun jadi ikut penyebar berita bohong. Lalu kemana hilangnya ajaran orang tua dan guru yang selalu mengajarkan kebenaran agar tidak menjadi seperti Pinokio yang hidungnya terus bertambah panjang setiap kali menuturkan kebohongan.

Satu efek sosial yang dahsyat yang tidak disadari dari penerusan berita bohong adalah bahwa ketika satu berita diteruskan berulang-ulang oleh banyak orang, maka makin besarlah kemungkinan bahwa orang akan menreima kebohongan itu sebagai kebenaran.  ”Masakan begitu banyak orang beramai ramai berbohong?” Itu mungkin pikiran orang yang merasa dibombardir dengan berita bohong yang sama berulang kali, begitu seringnya sehingga semakin yakin bahwa berita itu benar adanya.

Mari kita berpikir kritis: apa sebenarnya motivasi orang untuk berbohong? Apa niatnya ketika tidak menceritakan yang sebenarnya? Lalu, apa manfaat kita ikut menyebarluaskan kebohongan itu? Hanya ikut mensukseskan orang yang menciptakan kebohongan itu demi kepentingan mereka?  Apalagi jika kebohongan itu merupakan kebohongan publik?

Sesungguhnya hanya satu tujuan orang mengatakan yang tidak sebenarnya, yaitu ingin menyenangkan: menyenangkan diri sendiri karena takut pernyataannya mengenai kebenaran justru akan membuat orang lain yang berpengaruh menjadi tidak senang dan dengan demikian akan merugikan dirinya. Akan tetapi, bisa juga menyenangkan orang lain demi mendapatkan penilaian yang positif atas diri sendiri, hal mana kembali lagi sesungguhnya adalah kepentingan diri sendiri. Jadi intinya, kebohongan itu diharap akan kembali kepada pembohong sebagai keuntungan, atau paling tidak, tidak menjadi  hukuman.

Yang tidak diingat adalah setiap  ketidakjujuran pasti membawa serta  konsekuensi. Dan yang menanggung konsekuensi pasti bukan diri sendiri semata, dan tidak selalu langsung berdampak, melainkan bisa meluas kepada kelompok, bahkan bisa sampai kepada bangsa.

Saat ini negara kita sedang menjalani rencana bangsa besar, yaitu pemilihan umum. Setiap warga negara perlu untuk ikut menjaga dan mensukseskannya agar bangsa Indonesia semakin baik keadaannya. Bayangkan celakanya bangsa ini jika kebohongan mewarnai pemilihan umum kita sedemikian kuatnya sehingga pilihan jatuh pada pemimpin yang tidak layak hanya akibat kebohongan yang disebarkan. Dan bayangkanlah pula jika kita menjadi bagian dalam menciptakan atau menyebarkan kebohongan itu.

Lalu apa jadinya moral bangsa ini, jika ajaran kejujuran  sebagaimana yang ditanamkan ketika kita masih kanak-kanak, hilang begitu saja ditelan oleh kebohongan skala besar dan terus-menerus, sehingga seolah tak ada tempat lagi bagi kejujuran? Apa jadinya bangsa ini jika kebenaran tidak lagi menjadi titik tolak berpikir dan bertindak?

Pada kesempatan yang baik pada akhir tahun ini, marilah kita mengajak kerabat dan teman, untuk bersepakat ikut membangun kejujuran dalam bersikap. Kejujuran sesungguhnya bukan hanya tidak berbohong, melainkan juga mengatakan kebenaran dan menjalankan hidup yang benar.  Tentu dengan penuh hikmat kebijaksanaan. Artinya, dengan menyadari bahwa untuk semua yang dikatakan atau disikapi, ada tempat dan waktunya.

Memulai untuk bersikap benar adalah langkah pertama. Melanjutkan dengan memilah dan memilih kapan mengatakan atau bersikap benar, dan kapan menunda atau menahannya, adalah langkah berikutnya. Yang dikatakan selalu harus benar, meskipun tidak selalu yang benar harus dikatakan. Bisa disimpan dalam hati, sampai tiba saat yang tepat untuk mengutarakannya.

Hindari mengatakan yang tidak benar. Bukan hanya diri sendiri yang celaka. Bisa saja seluruh bangsa menjadi korban.

Selamat menyongsong tahun baru 2019!

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home