Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 17:22 WIB | Jumat, 14 November 2014

Polemik Kolom Agama

Ilustrasi. (Foto: Kris Hidayat)

SATUHARAPAN.COM - Saat ini masyarakat Indonesia sedang ramai membicarakan tentang kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Topik ini mulai disorot ketika Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menyampaikan pendapatnya bahwa kolom agama di KTP bisa dikosongkan atau tidak harus diisi. Alasannya adalah negara harus melindungi hak konstitusional warga negara.

Pihak yang tidak perlu mengisinya adalah  penduduk Indonesia yang memiliki agama selain enam agama (Hindu, Buddha, Islam, Kristen Protestan, Katholik dan Konghucu) yang “diakui” oleh negara, seperti Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, Parmalim, Marapu, Tolotang dan aliran Kepercayaan atau Kebatinan, juga agama Baha’i yang berasal dari luar Indonesia. Selama ini mereka tidak mendapatkan hak-hak konstitusional beragamanya.

Hak Kebebasan Beragama dan Hak Kewarganegaraan

Kolom agama kemudian menjadi sorotan baik menyangkut hak kebebasan beragama maupun hak sebagai warga negara untuk mendapatkan pelayanan kependudukannya. Ini karena dalam kenyataan, warga yang beragama selain enam agama “resmi”  tidak diperbolehkan mengisi agama atau kepercayaan yang dianut. Akibatnya demi kemudahan pengurusan soal-soal administrasi kependudukan seperti sekolah, pekerjaan dan pernikahan, ada yang terpaksa mengisi kolom agama dengan agama yang tidak dianutnya.

Juga, ada warga yang yang harus mengorbankan hak-hak mereka sebagai warga negara karena tidak bersedia mengisi kolom agama. Jadi mereka tidak memiliki identitas keagamaan. Ini misalnya dialami Dewi Kanti dan suaminya (penganut agama Sunda Wiwitan). Sejak menikah tahun 2002 mereka tidak diberi Akta Nikah karena kolom agama di KTP tidak diisi. Akibatnya berbagai fasilitas kependudukan adalah haknya tidak diperoleh, seperti tunjangan istri dan anak dari tempat suaminya bekerja.     

Hal lain adalah, jika salah dipahami, mereka bisa saja dianggap orang yang tidak beragama, anti Pancasila atau bahkan ateis. Ini merupakan potensi konflik bagi mereka. Adanya kolom agama di KTP dan keharusan mengisinya dengan agama yang diakui negara telah mengorbankan hak asasi manusia dalam beragama maupun hak-hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan oleh negara. 

Ironi Agama dan Keberagamaan Kita

Adanya kolom agama di KTP menunjukkan bahwa pemerintah menganggap agama penting, sebagai bagian dari identitas diri warga negara. Keberagamaan atau kepercayaan seseorang sesuai dengan Pancasila sila pertama: “Ketuhanan yang maha Esa.” Ini menunjukkan pengakuan bahwa warga negara Indonesia itu beragama, agama apa saja. Belum  ada undang-undang di negara ini yang membatasi orang untuk memeluk agama tertentu atau yang menyatakan bahwa agama yang diakui negara hanya Hindu, Buddha, Islam, Kristen Protestan, Katholik dan Konghucu. Hanya UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama yang menyebut agama yang dianut masyarakat di Indonesia, dan fakta bahwa enam agama itu diberi fasilitas di dalam Kementerian Agama  karena pertimbangan historis, bukan teologi atau keilmuan tentang agama.

Semua agama “resmi’ itu adalah hasil import yang datang ke Nusantara atau Indonesia melalui jalur perdagangan. Mereka bukan agama yang tumbuh, berakar dan hidup sejak jaman puba bangsa ini. Agama-agama yang diakui dan difasilitasi negara saat ini bukan agama asli atau agama leluhur kita. Inilah ironinya bahwa agama leluhur bangsa justru terpinggirkan atau tidak diakui negara.

Ini karena pemahaman aparat pemerintah tidak tepat tentang agama. Mereka mengelompokan agama dan bukan agama berdasarkan pertimbangan yang tidak substansial dan objektif. Pertimbangannya adalah agama yang diakui memiliki banyak pengikut, tersebar secara nasional dan berasal dari luar negeri jadi bersifat internasional dan ada sejarahnya. Yang subjektif adalah adanya kepercayaan terhadap sosok ilahi atau Tuhan, ada kitab suci dan nabinya. Sedangkan agama-agama lokal tidak cukup memenuhi kriteria itu. Agama lokal hanya ada di daerah tertentu, kepercayaan terhadap Tuhan tidak jelas, monoteis atau politeis, personal atau bukan, tidak diketahui sejarahnya, tidak memiliki kitab suci dan tidak ada tokoh atau nabinya.             

Dengan petimbangan faktual dan subjektif itu, agama-agama lokal diakui hanya sebagai bagian dari budaya dan adat istiadat. Dalam struktur kenegaraan lalu mereka ditempatkan di dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tidak di Kementerian Agama. Di sini terjadi pemaksaan terhadap definisi agama dan bukan agama terhadap ajaran dan praktek keagamaan di masyarakat.

Untuk menentukan sesuatu itu agama atau bukan agama seharusnya dipergunakan pertimbangan yang benar-benar objektif, yaitu dari keilmuan atau ilmu tentang agama. Di sini agama dilihat dari berbagai penampakan atau fenomenanya seperti antropologis, teologis, filosofis, psikologis dan sosiologis, serta historis, politis dan bahkan gejala ekonomis-nya. Dengan melihat fenomena itu, agama lalu didefinisikan sebagai system ajaran dan paktek hidup manusia yang didasarkan pada kepercayaan terhadap adanya kekuatan atau sosok ilahi supranatural yang memiliki kekuatan jauh melebihi kekuatan manusia; atau kepercayaan kepada adanya keberadaan atau zat asali apakah ia personal atau bukan personal sebagai sumber dari segala yang ada di alam semesta ini. Kepercayaan itu mempengaruhi atau membentuk pola pikir dan prilaku hidup penganutnya.

Dari denfinisi itu maka segala paham dan praktek hidup berdasarkan kepercayaan itu yang diikuti oleh pemeluknya adalah agama. Jadi Parmalim, Sunda Wiwitan, Kejawen, Marapu, Tolotang dan Aliran-aliran Kepercayaan atau Kebatinan adalah agama, yang sama dengan Hindu, Buddha, Islam, Kristen dan Konghucu.

Demi Agama dan Hak Warga Negara

Dalam menanggapi polemik kolom agama, hendaknya pemerintah dan wakil rakyat yang menetapkan Undang-Undang menyangkut agama, perlu mempertimbangkan pemahaman yang tepat dan benar menurut ilmu agama. Dalam menilai agama, subjektifitas, apalagi menggunakan kriteria dari satu agama harus disingkirkan. Soal kolom agama di KTP, jika tetap ada, perlulah memberikan hak seluruh warga negara untuk mengisinya sesuai dengan agama apapun yang dianutnya. Atau, demi menghindari diskriminasi dan potensi konflik berlatar agama, kolom agama ditiadaan saja dan data yang dimasukkan di KTP hanya seperti di Paspor yang tidak memiliki kolom agama.     

 

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home