Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 03:40 WIB | Jumat, 25 Mei 2018

Presentasi Karya Environmental Art "LENG" di BBY

Presentasi Karya Environmental Art "LENG" di BBY
Foto karya "Pancawara" pada pameran "LENG" di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta, 23-31 Mei 2018. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Presentasi Karya Environmental Art "LENG" di BBY
Foto dokumentasi dan sketsa environmental art berjudul "Goro-goro".
Presentasi Karya Environmental Art "LENG" di BBY
Hasta Apsari - Lantana camara, akasia, akar - Wisnu Ajitama - 2018.
Presentasi Karya Environmental Art "LENG" di BBY
Miniatur karya "Pancawara".
Presentasi Karya Environmental Art "LENG" di BBY
Foto "Hasta Apsari" (kiri), "Goro-goro" (tengah), dan "Manara" (kanan).

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokumentasi karya yang dibuat seniman-perupa muda Wisnu Ajitama dalam rentang 2015-2018 dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) dalam bentuk foto, sketsa desain karya, serta miniatur. Karya-karya yang keseluruhan berada di alam terbuka jauh dari keramaian masyarakat menjadi salah satu penanda bagi perkembangan seni yang dibuat dengan mendasarkan pada alam-lingkungan atau lebih dikenal dengan environmental art.

Pameran dibuka bersama perupa Heri Dono dan dosen jurusan Seni Rupa ISI Yogyakarta M. Dwi Marianto, Kamis (24/5) malam. Beberapa dokumentasi project environmental art dipamerkan bersama miniatur serta sebuah karya dalam ukuran sebenarnya terpajang di tengah-tengah ruang pamer BBY.

Dalam perbincangan dengan satuharapan.com di sela-sela pembukaan pameran, Wisnu Ajitama menjelaskan bahwa untuk pembuatan karya environmental art dalam peletakan karya (display) membagi menjadi dua yaitu hidden space dan public space. Saat ini ada tiga karya yang berada di hidden space yakni di daerah Balerante di Gunung Merapi, Nusa Tenggara Timur, dan Magelang. Sementara yang berada di public space berada di Geoforest Watu Payung Turunan, Girisuko, Panggang-Gunungkidul dan Gunung Pengger, Dlingo-Bantul.

Karya pertama Aji dibuat di cagar alam geo-tapak Lava Bantal yang berada di Brebah-Sleman. Pada karya yang dibuat pada tahun 2014 berjudul "Rainbow on River" dengan membentangkan tali rafia beraneka warna membentuk warna pelangi di atas Sungai Opak.

"Pada awal berkarya menggunakan tali rafia hingga menemukan material lain seperti ranting-ranting pohon." jelas Wisnu. 

Ada hal menarik pada karya-karya yang diletakkan pada hidden space. Masyarakat yang menjumpai sebuah karya seni pada sebuah wilayah yang relatif jauh dengan permukiman kerap menghubungkan dengan mitos-mitos. Karya seni yang mampu bertahan hingga tiga tahun lebih dalam perjalanannya ditinggalkan dan dibiarkan mengikuti proses dan pertumbuhan yang terjadi di alam.

"Untuk yang di public space dilakukan perawatan agar bisa dinikmati masyarakat luas," jelas Wisnu.

Pada karya "Manara" yang berada di Geoforest Watu Payung, Wisnu meliliti seluruh bagian pohon akasia (Acacia sp) bertinggi lima meteran dengan batang tembelekan (Lantana camara), akar pohon. Dalam pengerjaan selama empat bulan, pohon akasia berubah menjadi menara raksasa yang berpintu layaknya menara ditembus oleh pohon akasia yang tumbuh berdiri di atas tanah karst.

Pada sebuah goa yang berada di bawah jalan setapak, Wisnu bersama komunitas Pandai Ruang  merespon dengan akar-ranting pohon. Dari jauh karya berjudul "Goro-goro" secara estetis menyajikan sebuah jalan-jembatan akar di tengah rerimbunan hutan Jati (Tectona grandis).

Pada karya berjudul "Hasta Apsari, running angels", tujuh anjungan perahu dibuat dari material yang sama ditata bersambungan pada sebuah ujung tebing Geoforest Watu Payung yang memungkinkan pengunjung berfoto dengan pemandangan lembah yang luas. Sebuah pemandangan yang aneh tapi unik: perahu terbang. Hal yang sama disajikan pada karya berjudul "Pancawara" yang berada di Gunung Pengger, Dlingo-Bantul berupa tangan raksasa dalam posisi tengadah dengan dibuatkan tangga pada lengan dan telapak tangan. 

Secara keseluruhan Wisnu memperhatikan bentuk, ukuran, serta tata letak karyanya dalam bingkai bentang alam (lanskap) yang ada sehingga ketika diambil gambar secara vertikal dari ketinggian tertentu akan membentuk visual yang artistik dimana "Manara", "Goro-goro", serta "Hasta Apsari" berada dalam sebuah garis. Menariknya lagi Wisnu menyertakan seluruh nama artisan terlibat dalam keterangan (caption) semua karyanya.

Terkait dengan perkembangan environmental art di Indonesia, seniman-perupa Heri Dono menjelaskan bahwa sesungguhnya sudah berkembang sejak lama. Masyarakat Badui maupun masyarakat adat lainnya kerap menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari semisal membangun lumbung pangan ataupun rumahnya tanpa menggunakan paku untuk mengikatkan bagian-bagian bangunan.

Seni yang didasarkan pada alam-lingkungan (environmental art) di luar negeri sudah cukup lama berkembang. Diantara senimannya adalah Richard Long yang kerap membuat karya didasarkan pada jalur jalan yang dilewatinya dengan material yang didapat di sekitarnya ataupun patung-patung berbahan tanah. Karya seni lingkungan  yang dibuat Andy Goldsworthy dengan bahan-bahan alami seperti batu, daun, bunga, dan es, dibuat dalam film dokumenter berjudul "Rivers and Tides". 

Seniman lain yang kerap membuat karya seni lingkungan adalah Christo (Vladimirov Javacheff). Tahun 1972 Christo membuat karya "Running fence" dimana pada lembah di Rocky Mountain dipasang layar. Gedung parlemen di Jerman tempat pertemuan politikus dibungkus dengan kain sehingga bentuknya menjadi estetika yang tidak semestinya. Di Great Barier Reef (pantai utara Australia) Christo membungkus pantai.

Di Indonesia tahun 1982 muncul environmental art di pantai Parangtritis melibatkan sekitar 300-an seniman yang diinisiasi oles Sasenitala ISI Yogyakarta (dulu ASRI Yogyakarta), Selama seminggu mereka tinggal di Parangtritis melakukan observasi-survey lokasi alam dan karakternya serta membuat karya di sana. Sebelum itu Mulyono membuat estetika Bebeng sekitar tahun 1979.

"Sebenarnya seni-seni environmental itu justru memberi stigma bahwa ruang-ruang publik itu tidak hanya di ruang-ruang urban, namun di ruang-ruang alam dimana ada sungai yang orang bisa mandi di situ. Ada air terjun, ada goa-goa, yang bisa diakses oleh masyarakat. Acuan seni lingkungan kita selama ini bahwa ruang publik adalah ruang-ruang yang ada di wilayah perkotaan (mall, pusat perbelanjaan, jalan dan plasa taman kota). Sementara  (ruang-ruang publik) yang ada di perdesaan atau bahkan di dalam hutan yang bisa digunakan untuk belajar dan memperkaya wawasan tidak sebatas seni, misalnya banyaknya tumbuhan yang berguna untuk obat-obatan yang mungkin tidak kita kenal. Selain dapat membangun infrastruktur (dalam kerja seninya), kegiatan (seni-seni lingkungan) ini bisa memberdayakan masyarakat setempat untuk terlibat yang bisa berdampak pada ekonomi masyarakat." jelas Heri Dono pada satuharapan.com, Kamis (24/5) malam.

Di tengah perkembangan teknologi informasi saat ini, karya di ruang publik yang jauh dari keramaian semakin mudah diketahui informasinya manakala karya tersebut memiliki keunikan tertentu, kuat secara ide, menarik secara tampilan visual. Terbukti karya Wisnu Ajitama dijadikan tempat berfoto hingga tersebar di dunia maya yang melakukan tag pada karya Wisnu. Mesin pencari google telah mencatat sebanyak 133.000 tautan dengan kata kunci “karya seni pinus pengger”. Jika dengan instrumen hastag berupa #pinuspengger via instagram tersedia hasil sejumlah 24.300 foto yang sebagian besar merujuk pada karya Wisnu.

Pameran "LENG" akan berlangsung sampai tanggal 31 Mei 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home