Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 12:30 WIB | Rabu, 19 November 2014

Rebranding Jogja Tak Sekadar Ganti Logo

Acara "Urun Rembug Branding Jogja" yang digelar di Bangsal Kepatihan, Selasa (18/11) malam. (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Polemik seputar rebranding Jogja akhirnya memasuki babak baru. Pasalnya, pada Selasa (18/11) malam di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kepatihan Danurejan, Kota Yogyakarta, dihelat acara “Urun Rembug Branding Jogja”.

Acara itu merupakan follow up dari berbagai masukan seputar rebranding Jogja. Acara yang terbuka untuk umum itu menjadi wadah bagi setiap insan untuk menyampaikan berbagai ide, kritik, dan saran, yang kemudian didiskusikan bersama, untuk mewujudkan rebranding Jogja dalam arti luas.  

Acara yang digagas oleh Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) dengan Tim 11 itu  mempertemukan berbagai lapisan masyarakat yang peduli pada rebranding Jogja. Tim 11 sendiri dianggap merupakan representasi rakyat Jogja, yang terdiri atas berbagai latar belakang sosial. Mereka terdiri atas para akademisi dan praktisi, seperti Hery Zudianto (Koordinator Tim 11 sekaligus mantan Wali Kota Yogyakarta), Butet Kartaredjasa (budayawan), Ong Hari Wahyu (praktisi desain grafis), Sumbo Tinarbuko (dosen desain grafis), dan Marzuki Mohammad (seniman).

Menurut Hery Zudianto, rebranding Jogja merupakan spirit sekaligus sebagai citizen brand. Oleh karena itu, branding tersebut harus dijaga oleh semua lapisan masyarakat.

Branding logo itu merupakan citizen brand, yaitu branding kita semua. Karena itu spirit branding harus kita jaga. Mudah-mudahan malam ini jadi momentum branding kita untuk Jogja semua,” ungkap Hery Zudianto.

Pada sisi lain, salah satu inisiator Jogja Darurat Logo, Sumbo Tinarbuko, menyambut baik pertemuan yang digelar di Bangsal Kepatihan itu. Pasalnya, ini merupakan pertemuan yang pertama kali dihelat, terbuka untuk umum demi masa depan Jogja melalui agenda rebranding. Karena itu, Sumbo berharap, melalui forum ini, berbagai masukan dapat dikemukakan oleh semua lapisan masyarakat.

“Kita tidak boleh sekadar mengkritik tapi juga harus sembodo (tanggung jawab). Salah satu cara sembodo itu diwujudkan dengan memberikan ‘Catatan Pitulungan’ kepada pemerintah. ‘Pitulungan’ itu terdiri atas dua kata, pitu yang berarti tujuh dan tulung yang bermakna pertolongan. Jadi ‘Catatan Pitulungan’ merupakan upaya untuk menolong pemerintah,“ ungkap Sumbo Tinarbuko.

Budayawan Butet Kartaredjasa selaku salah satu penggiat budaya yang sangat concern terhadap Jogja menyinggung tentang kinerja Tim 11. Bagi Butet, Tim 11 dibentuk semata-mata sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah.

“Tim 11 mencoba menjembatani rebranding Jogja. Tim 11 yang dibentuk kali ini merupakan semacam embrio untuk mewujudkan dewan atau lembaga yang menemani pemerintah untuk merumuskan tentang Jogja. Ke depan, saya berharap bakal ada Tim 11 yang lain yang tak hanya mengawal logo tapi juga segala permasalan tentang Jogja,” kata Butet.

Jogja Renaissance

Ide perubahan logo sekaligus rebranding Jogja sebenarnya bermula dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Orang nomor 1 di DIY ini menilai bahwa logo lama yang telah bertahan selama 15 tahun, kini sudah tidak relevan lagi. Selain itu, tagline “Jogja Never Ending Asia” juga dianggap perlu diubah.

Ide tersebut sempat dilontarkan oleh Sri Sultan HB X pada Oktober 2012 di depan anggota DPRD. Kala itu, Sri Sultan menyampaikan tentang "Jogja Renaissance", berupa pembangunan kembali peradaban DIY. Ide Jogja Renaissance inilah yang kemudian dikomunikasikan di jajaran pemerintahan untuk membentuk rebranding Jogja.

Diskusi panjang tentang rebranding akhirnya digelar hingga menggandeng Mark Plus selaku pihak yang diserahi tugas untuk me-rebranding Jogja. Anggaran senilai Rp 1,5 miliar disiapkan oleh pemerintah untuk menunjang proyek ini. Namun, jauh-jauh hari Sultan HB X telah berpesan bahwa rebranding Jogja tak sekadar ganti logo semata, tapi lebih jauh dan luas daripada itu, yaitu rebranding harus mengedepankan spirit kebersamaan, gotong rotong, dan golog gilig (persatuan antara rakyat dan pimpinan) di mana dasar dari itu semua adalah kebudayaan. Inilah yang membentuk Jogja menjadi istimewa.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home