Loading...
INSPIRASI
Penulis: Retno Ratih Suryaning Handayani 01:00 WIB | Selasa, 21 April 2015

Sang Inspirator

Belum semua perempuan mendapat ruang untuk melakukan fungsi sosialnya secara utuh.
Raden Ajeng Kartini (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Minggu-minggu ini banyak toko pakaian di Solo sibuk melayani pembeli  yang membeli kebaya.  Maklum, 21 April adalah Hari Kartini. Upaya untuk memperingati hari kelahiran Kartini itu diwujudkan dengan memakai kebaya yang pada masanya dikenakan Kartini.  Memperingati perjuangan Kartini dengan memakai kebaya tentu tidak salah, namun rasa-rasanya belum memadai selama kita tidak melanjutkan perjuangannya. Bukankah peringatan itu menghubungkan kita dengan masa lalu?

Apa yang kita nikmati saat ini tak bisa dilepaskan dari apa yang diperjuangkan Kartini. Sebagaimana umumnya gadis yang hidup pada masanya, berbagai pembatasan dan pembedaan dialami Kartini,  yang tentu saja merisaukan hatinya. Baginya belenggu-belenggu itu membuat dirinya dan kaumnya tidak akan bisa melakukan fungsi sosialnya secara utuh. Kesadaran bahwa ada banyak pekerjaan rumah yang harus digarap justru  menjadi daya dorong bagi Kartini untuk memajukan kaum dan bangsanya.

Belenggu adat-istiadat yang melarang perempuan bersekolah tidak membuatnya menyerah.  Dengan gigih dia terus meminta ayahnya untuk mengizinkannya  sekolah. Penolakan berkali-kali dia terima, tetapi tak menyurutkan niatnya. Sampai akhirnya ayahnya mengizinkannya menuntut ilmu di sekolah guru. Izin orangtuanya tentu saja disambut dengan girang. Bak api mendapat bensin, semangatnya berkobar. Kesempatan yang berharga ini tak disia-siakannya, meskipun pada masanya masyarakat menganggap sebagai sebuah pengkhianatan terhadap adat. Namun demikian, anggapan itu tak digubrisnya.  Bagi  Kartini, sekolah adalah pintu yang membuka cakrawala dan kemungkinan baru. Sekolah guru membuka jalan bagi Kartini untuk mengabdi kepada masyarakat dengan lebih baik.

Jiwa Kartini adalah jiwa yang mencinta pada rakyat. Meskipun keturunan bangsawan, status yang disandangnya itu tak membuatnya menjauh dari rakyat. Tak jarang dia meluangkan waktu berkunjung ke rumah rakyat. Perjumpaannya dengan mereka semakin mengasah hasratnya untuk peduli kepada bangsanya. Dalam surat kepada Estella Zeehandelaar, Kartini menulis: ”Panggil aku Kartini saja... itulah namaku.” Tanpa gelar yang menunjukkan bahwa dia keturunan bangsawan. Bukankah ini sebuah terobosan luar biasa? Bentuk penolakannya atas feodalisme yang bercokol kuat pada zamannya. Kartini dalam usia belia telah menjadi inspirator dengan merintis jalan ke arah dunia yang lebih baik, yang lebih adil.

Saat ini kita memperingati hari kelahirannya. Sudah sepantasnya kita mensyukuri jejak-jejak karyanya. Namun, masih ada perkerjaan rumah yang harus kita lanjutkan. Bukankah realitas buta aksara di negeri kita khususnya bagi perempuan masih tinggi? Kekerasan terhadap perempuan masih banyak terjadi. Belum semua perempuan mendapat ruang untuk melakukan fungsi sosialnya secara utuh, dan masih banyak garapan yang harus kita kerjakan.  

Selamat memaknai Hari Kartini dengan melanjutkan karyanya!

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home