Loading...
OPINI
Penulis: Nurhidayat 00:00 WIB | Senin, 30 November 2015

Soal Kerukunan

SATUHARAPAN.COM - Meski ruang publik dipenuhi dengan retorika ke-Indonesiaan, keberagaman bangsa dan pluralisme, nampaknya rakyat masih terpenjara dalam ruang gelap kekuasaan yang kuncinya dipegang para pemimpin. Memang, tak mudah membangun relasi sosial ideal dalam masyarakat yang secara etnik, ras, budaya dan agama berbeda-beda seperti Indonesia. Apalagi jika tidak ada saling percaya dalam interaksi sosial.

Tak hanya Indonesia, beberapa negara maju yang sudah lama menerapkan demokrasi seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Australia, hingga saat ini masih ada masyarakat yang besikap rasial. Survei Pew Forum mengungkap, 197 negara di planet ini menghadapi kasus-kasus intoleransi dengan beragam tingkatan.

Lembaga riset yang berbasis di Amerika itu juga menyuguhkan data bahwa Indonesia menempati peringkat ke-15 dalam kategori negara-negara “very high” dalam Indeks Permusuhan Sosial (The Social Hostilities Index). Disusul Rusia (13) dan Arab Saudi (14). Peringkat pertama diduduki Pakistan. Sementara Setara Institute dalam tujuh bulan ini mencatat, ada 116 peristiwa pelanggaran beragama/keyakinan dengan 136 tindakan.

Dalam optik konstitusi, buruknya kohesi sosial yang berakar pada masyarakat multikultur menandakan adanya problema konsitusional. Lihat, misalnya Rancangan Undang-Undangan Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang dijanjikan Kementerian Agama ternyata tak jauh beda dengan draf-draf RUU sebelumnya.

Rancangan tersebut masih merawat watak intervensi negara atas kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Pendekatan yang digunakan pemerintah lebih untuk menjamin stabiilitas keaamanan. Bisa dibayangkan, demi stabilitas keamanan, kepentingan kelompok minoritas justru dikorbankan. Padahal, para pendiri Republik Indonesia sedari awal paham betul bahwa konstitusi yang disusun harus mengakui keberagaman masyarakat.

UUD 1945 sejak disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 sudah memberikan pengakuan jaminan atas keberagaman masyarakat, meskipun cakupannya minim. Pengakuan dan jaminan ini semakin kukuh setelah UUD 1945 mengalami amandemen sebanyak empat kali dari tahun 1999 hingga 2002.

Selain itu, tendensi liyan nampaknya masih menjadi problem yang aktual. Tendensi ini mengarah pada praktik intoleransi yang kadang dimulai dengan hal remeh-temeh. Misalnya, penggunaan kata sesat, menodai agama dan perilaku diskriminatif alias pembedaan. Sebetulnya arti liyan tak sebatas orang lain. Liyan memiliki dimensi sosial, kultural, dan spiritual. Artinya bahwa, orang lain direngkuh menjadi saudara sebangsa, dihormati pikiran, perasaan, ekspresi budaya, dan keyakinan religiositasnya.

Realitas memperlihatkan, kekerasan tak bisa dilawan dengan kekerasan. Karena itu, benih, apalagi terjadinya kekerasan, harus dihindari oleh siapa pun dan kelompok apa pun. Percakapan kewarganegaraan dalam komunikasi agama juga harus lepas dari portal komunal setiap kelompok. Agar potensi intoleransi tak membayagi pergaulan. Kasus Singkil-Aceh dan Tolikara-Papua adalah bukti bayang-bayang komunal dalam pergaulan kewarganegaraan.

Kepercayaan pada demokrasi adalah kepercayaan terhadap kemampuan sistem untuk menyelenggarakan percakapan kewarganegaraan. Percakapan yang dimaksud adalah percakapan yang menyertakan manusia semata-mata sebagai makluk sosial. Di mana keberwargaan yang demokratis bergerak dari jenis toleransi yang ikhlas pada jenis toleransi yang mendalam mengenai perbedaan dalam gagasan saling menghargai dan kepekaan terhadap identitas.

Dalam diksi masyarakat, “identitas” (mayoritas-minoritas) dimaknai bukan sebagai alasan untuk menafikan liyan, justru liyan dianggap sebagai pancaran ilahiah dan relasi sosial yang kebenarannya mustahil ditampik. “Orang lain” menjadi bagian dari jiwa kita. Dengan pertautan dalam satu perasaan sebangsa dan senasib ini menghilangkan mental block mayoritas-minoritas, kaya-miskin, perbedaan etnis dan agama.

Bermodal kesadaran ini diharapkan mampu memutus rantai intoleransi dari generasi ke generasi. Ini penting, sebabnya praktik demokrasi di satu negara dan juga disebuah organisasi kadang menggelikan, bahkan menjengkelkan. Maka perlu satu kesepakatan pemahaman agar jalan sejarah NKRI tak bergerak ke arah lain.

 

Penulis adalah Koordinator Forum Kajian Sosial dan Keagamaan Piramida Circle Jakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home