Loading...
BUDAYA
Penulis: Sotyati 18:59 WIB | Kamis, 27 Agustus 2015

Standar Kompetensi Kerja Tenunan Tradisional Siap Diluncurkan

Standar Kompetensi Kerja Tenunan Tradisional Siap Diluncurkan
Tenun tradisional Indonesia, warisan budaya leluhur, yang harus dilestarikan dan dikembangkan secara berkelanjutan. (Foto-foto: Sotyati)
Standar Kompetensi Kerja Tenunan Tradisional Siap Diluncurkan
Konferensi pers Konvensi Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Tenunan Tradisional di Jakarta, 20 Agustus.
Standar Kompetensi Kerja Tenunan Tradisional Siap Diluncurkan
Dhani Dahlan, model pada dekade 80 - 90, kini salah satu aktivis di Cita Tenun Indonesia, bergambar bersama produk tenun pilihan dari Sulawesi Tenggara dan Bali.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah bersiap mengesahkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) Tenunan Tradisional.

Cita Tenun Indonesia (CTI), organisasi yang bergerak dalam bidang pelestarian, pengembangan, dan pemasaran tenun tradisional sebagai warisan budaya leluhur, mengabarkan hal itu dalam konferensi pers di sela-sela Konvensi Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (RSKKNI) Tenunan Tradisional, di Jakarta, 20 Agustus lalu. Kegiatan konvensi itu dihadiri masyarakat perajin tenun tradisional dan pewarnaan alam, asosiasi, lembaga masyarakat, koperasi, ritel, serta pemerintahan daerah dan pusat. 

Melalui proyek yang dikoordinasi CTI itu, para perajin tenun tradisional diharapkan dapat menghasilkan produk tenun tangan ramah lingkungan sesuai standar minimal dalam menjaga kualitas kain tenun Indonesia.

Bagi perajin tenun sendiri, seperti dikemukakan Ketua CTI, Okke Hatta Rajasa, standar kompetensi kerja para perajin tenun itu akan menguatkan keberadaan mereka seperti kalangan profesional lainnya. “Pekerja tenun tidak hanya menjadi tukang tenun. Mereka bukan orang upahan. Menenun menjadi profesi dan mereka adalah entrepreneur,” Okke Hatta Rajasa menegaskan.

Sejak didirikan pada 2008, CTI memperjuangkan standar kompetensi itu. Kualitas prima tenun Indonesia, seperti ditekankan Okke, tidak semata-mata ditentukan permesinan yang canggih. Kualitas tenun sangat dipengaruhi oleh kualitas dari sumber daya manusia.

Kain tenun Indonesia tidak akan bertahan di pasar global apabila pengerjaan kain tenun tersebut tidak dilakukan dengan kaidah-kaidah produksi yang benar. Seiring dengan gencarnya komodifikasi kain tenun yang menuntut kuantitas dibandingkan kualitas, banyak pihak yang tidak berkompeten telah dan akan memproduksi kain tenun tradisional tanpa mengikuti kaidah yang sesuai. Apabila hal itu dibiarkan, citra kain tenun tradisional Indonesia dapat tergeser akibat rendahnya kualitas produk yang dihasilkan.

Dasar pemikiran itu yang kemudian mendorong CTI menggelar kegiatan proyek penyusunan SKKNI Tenun Tradisional. CTI memanfaatkan jaringan yang dimiliki untuk memperkuat keberadaan perajin tenun, termasuk perajin tenun binaannya di sepuluh sentra tenun yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, dalam kaitan standar kompetensi ini, CTI berperan membina perajin tenun di tiga provinsi, yakni Bali (Kabupaten Jembrana), Sulawesi Tenggara (Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kota Bau-Bau, dan Kota Kendari), Jawa Tengah (Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Sragen, Kabupaten Klaten, Kabupaten Jepara, dan Kota Pekalongan).

Penyusunan SKKNI Tenunan Tradisional dilakukan CTI bekerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Pusat Pendidikan dan Pelatihan – Kementerian Perindustrian RI, Badan Standardisasi Kompetensi dan Pelatihan Kerja – Kementerian Ketenagakerjaan RI,  para pakar serta praktisi tenun tradisional.

Indonesia Selangkah Lebih Maju

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari proyek “Sustainable Consumption and Production (SCP) of Hand-Woven Textiles (Songket, Ulos, Lurik, Abaca, Ikat): Female Entrepreneurship in Indonesia and the Phillipines”, yang didanai European Union (UE, Uni Eropa) melalui program Switch-Asia, dan dikenal dengan nama proyek “Sustainable Hand Woven Eco Textiles”.

Proyek itu diimplementasikan bersama-sama oleh Humanist Institute for Cooperation with Development Countries (Hivos) Asia Tenggara, CTI, Non-Timber Forest Product Exchange Programme (NTFP-EP), dan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (Asppuk). Proyek dilangsungkan 48 bulan (Februari 2013 – Januari 2017), dilaksanakan di 20 provinsi, 11 provinsi di Indonesia dan 9 provinsi di Filipina.

Seperti tersirat  dari nama proyek, Ria Noviari Butarbutar, perwakilan UE di Jakarta, mengatakan proyek itu dilaksanakan untuk mempromosikan dan meningkatkan praktik konsumsi dan produksi yang berkelanjutan dari tenunan tangan ramah lingkungan di Indonesia dan Filipina. Berkaitan dengan proses penyusunan standar kompetensi itu, dia mengungkapkan Indonesia selangkah lebih maju daripada Filipina.

Selain mengadopsi praktik produksi berkelanjutan, diharapkan ada peningkatan penjualan produk-produk tenun ramah lingkungan. Diharapkan pula ada kebijakan yang mendukung promosi konsumsi dan produksi berkelanjutan dari tenun tangan tradisional.

“SKKNI ini akan mengantar perajin tenun lebih sejahtera, mengingat perajin tenun akan punya pengakuan lewat SKKNI ini. Dan, setelah disahkan, dapat didiseminasikan melalui pelatihan-pelatihan,” kata  Muchtar Azis, ST, MT, dari Direktorat Standardisasi Kompetensi dan Program Pelatihan Kementerian Tenaga Kerja, sambil mengatakan pengesahan atas rancangan SKKNI membutuhkan waktu tak lebih dari empat minggu.  

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home