Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 14:58 WIB | Rabu, 14 Maret 2018

Tanda SOS di Perkebunan Sawit Sumut

Tanda SOS (Save our Soul) di tengah perkebunan kelapa sawit di Sumut.

SUMATERA UTARA, SATUHARAPAN.COM – Seorang seniman asal Lithuania, Ernest Zacharevic, membuat tanda "SOS" ukuran raksasa di lokasi perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. Tanda SOS sepanjang setengah kilometer ini bertujuan menyoroti kerusakan akibat deforestasi dan dampaknya pada penduduk dan satwa liar.

Zacharevic membuat tanda Save our Souls itu sebagai kampanye mengenai dampak buruk perkebunan kelapa sawit terhadap masyarakat adat dan spesies langka seperti orangutan.

"Kita sebagai konsumen begitu terlepas dari sumber komoditas kita, sehingga tidak dapat lagi melihat konsekuensi dari pilihan kita sehari-hari," kata Zacharevic.

"Saya ingin mengkomunikasikan betapa besarnya persoalan ini," katanya.

Tanda SOS ukuran raksasa yang selesai bulan lalu itu, bisa terlihat jelas dari udara. Menurut dia, lokasi tersebut nantinya itu akan ditanami kembali dengan berbagai jenis pohon asli.

Para pemerhati lingkungan mengatakan, pembukaan lahan untuk perkebunan di Indonesia yang merupakan produsen kelapa sawit terbesar dunia, menjadi penyebab kerusakan hutan. Menurut data Bank Dunia, wilayah hutan Indonesia telah turun hampir seperempatnya sejak tahun 1990.

Tanda SOS yang dibuat Zacharevic itu, seiring dengan meningkatnya tekanan pada kalangan perusahaan untuk menerapkan praktik bisnis berkelanjutan.

PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush, misalnya berkomitmen mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit, yang dipakai dalam berbagai produk mulai dari sabun sampai sereal. Atau setidaknya mereka akan memastikan pasokan bahannya memenuhi standar etis.

Bulan lalu, perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka mata rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.

Mengancam Masyarakat Adat dan Satwa liar

Indonesia, menjadi fokus dalam upaya global pengendalian emisi gas rumah kaca, akibat penggundulan hutan lahan gambut dan rawa yang kaya karbon, demi industri seperti minyak sawit, pulp, dan kertas.

Hutan ini, sering kali berada di daerah terpencil yang dihuni masyarakat adat sejak lama. Mereka mungkin tidak memiliki dokumen kepemilikan sehingga tak sanggup menolak akuisisi lahan.

Hutan di Indonesia juga merupakan habitat bagi populasi satwa liar yang terus menurun. Populasi orangutan di Sumatera misalnya diperkirakan tersisa sekitar 14.600.

Kegiatan kampanye Splash and Burn (penyebutannya meniru metode tebang dan bakar yang digunakan untuk membuka hutan bagi perkebunan), didukung oleh LSM Masyarakat Orangutan Sumatera dan Lush.

"Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan. Baik dengan mengkonsumsi produk maupun melalui kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," kata Zacharevic.

"Proyek ini merupakan upaya untuk menyadarkan khalayak lebih luas," katanya. (australiaplus.com)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home