Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 08:43 WIB | Rabu, 14 September 2016

Teater Ataru Pentaskan Lapar

Teater Ataru Pentaskan Lapar
Pementasan drama Lapar oleh Teater Ataru SMA N 2 Rembang di Rumah Kapiten Desa Soditan, Lasem-Rembang pada penutupan Srawung Sedulur Soditan, Sabtu (10/9). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Teater Ataru Pentaskan Lapar
Happening art drama Lapar di sepanjang jalan Desa Soditan, Lasem.
Teater Ataru Pentaskan Lapar
Sahasika Lituhayu (2,5 tahun) turut meramaikan penutupan Srawung Sedulur Soditan melalui goresan kuas pada kanvas yang disediakan panitia.
Teater Ataru Pentaskan Lapar
Musisi etnik-kontemporer asal Tuban Agus Hewodn (sape') berkolaborasi dengan Iqbal (gitar akustik) mengiringi pembacaan puisi di Rumah Kapiten.

REMBANG, SATUHARAPAN.COM - "... wenehana teken maring wong kang wuta. wenehana panganan maring wong kang luwe..." berikanlah tongkat kepada orang buta, berikan makanan kepada orang yang kelaparan. Sepenggal dialog-narasi dibacakan mengiringi pementasan teater dengan judul Lapar.

Sebanyak 32 pelajar yang tergabung dalam Teater Ataru SMAN 2 Rembang mementaskan naskah teatrikal lapar tulisan Arif Ponco mengadopsi dari ajaran pendiri pondok pesantren al-Hidayah Lasem Rembang KH. Ma'shum Ahmad tentang bagaimana pentingya mencintai dan mengasihi kaum fakir-miskin.

Pementasan dengan diawali happening art sepanjang jalan Desa Soditan, Kecamatan Lasem-Rembang dimulai dari depan rumah candu Lawang Ombo menuju rumah tua Rumah Kapiten sebagai panggung utama pementasan. Pementasan yang dihelat pada Sabtu (10/9) malam merupakan penutupan acara Srawung Sedulur Soditan yang diselenggarakan dari tanggal 8 hingga 10 September 2016.

Drama lapar menukik pada inti permasalahan ketika di antara mereka yang lapar justru saling sikut memperebutkan remah-remah kehidupan. Pada sudut pandang inilah, Teater Ataru mencoba mengangkat realitas mulai hilangnya empati dan kesadaran atas problem kehidupan di sekitar kita.

Masyarakat terlanjur terbingkai bahwa kelaparan melingkupi masyarakat yang tidak beruntung akibat dari kemalasan, sementara akses terhadap faktor-faktor produksi yang justru membuat masyarakat termarjinalkan dan menjadi tidak beruntung belum disentuh secara menyeluruh: penguasaan lahan, kapitalisasi serta penguasaan atas hutan dan SDA, dan pada saat bersamaan mulai memudarnya rasa empati akibat semakin individualistis dan materialistisnya kehidupan masyarakat mempercepat proses wabah "kelaparan".

Potret drama Lapar seolah menjadi gambaran perubahan kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia tidak terkecuali Indonesia yang sebenarnya memiliki modal sosial local genius yang cukup bagus: guyub, gotong-royong, ono rembug dirembug.

Acara yang merupakan donasi seni dilanjutkan dengan penampilan Agus Hewodn, musisi etnik-kontemporer asal Tuban yang secara bergantian memainkan alat gitar sape', karinding, serta slompret. Pada bulan Agustus 2016, Agus tampil pada Dawai Nusantara 2 di Malang dengan eksperimen alat petik memanfaatkan ongkek (pikulan tuak khas Tuban-Bojonegoro) yang dimodifikasi dengan menambahkan senar pada badan ongkek.

Berkolaborasi dengan Iqbal yang memainkan gitar akustik, Agus Hewodn mengiringi perform teatrikal-puisi oleh masyarakat sekitar Desa Soditan mulai dari pelajar, seniman, hingga santri.

Kelaparan seringkali berawal dari keserakahan, keinginan menang sendiri, serta ketidakpedulian atas kondisi lingkungan sekitar. Ketika distribusi atas sumberdaya hanya dikuasai oleh beberapa gelintir pihak/manusia, kelaparan dan juga kemiskinan sesungguhnya adalah gambaran ketidakhadiran negara.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home