Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 17:56 WIB | Selasa, 07 April 2015

Tragedi Kristen Timur Tengah Sudah Ada Jauh Sebelum ISIS

Orang Irak Kristen. (Foto: basnews.com)

SATUHARAPAN.COM – Penganiayaan terhadap orang Kristen Timur Tengah terjadi jauh sebelum munculnya kelompok yang menamakan diri Negara Islam (Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS/Islamic State of Iraq and Syria/ ISIS). Ini adalah opini Robert Fisk—jurnalis independent.co.uk. Fisk dikenal pernah beberapa kali mewawancarai Osama bin Laden pada pertengahan 1990-an. Berikut tulisannya.

Suatu hari di musim panas 1990, saya berjalan ke sebuah kapel Kaum Perang Salib (Crusader) yang indah di Keserwan, lereng gunung di utara Beirut. Di sana, seorang pendeta Katolik Maronit tua menunjuk mosaik Bizantium bergambar Rasul Yohanes. Ia menunjukkan kepada saya mata orang suci itu. Keduanya ditusuk oleh pedang atau tombak di beberapa titik. “Kaum Muslim melakukan ini,” kata imam itu.

Kata-katanya makin menjelaskan apa yang terjadi. Karena pada saat itu, Jenderal Kristen Lebanon, Michel Aoun —yang mengira ia adalah presiden dan hingga hari ini mungkin masih bermimpi dinobatkan—sedang berperang melawan tentara Suriah yang dipimpin Hafez al-Assad. Tiap hari, saya mengunjungi rumah-rumah orang Kristen yang mati, dibunuh oleh tembakan meriam Suriah. Menurut imam Maronit itu, orang Suriah sama dengan ‘Muslim’ yang telah mencungkil mata pada lukisan kuno Rasul Yohanes.

Saya ingat pada saat itu, saya akan mengatakan kepada diri sendiri bahwa ini adalah omong kosong. Kita tidak dapat membawa sejarah kuno ke masa kini. Memang, kaum Maronit telah mendukung tentara Perang Salib sebelumnya. Kristen Ortodoks berdiri di sisi kaum Muslim. Permusuhan Kristen-Muslim pada skala ini adalah kisah untuk menakut-nakuti anak-anak sekolah.

Paus Fransiskus: Orang Kristen Diam Saudaranya Dibunuh

Namun tahun lalu, setelah bom meledak di atas kota Suriah, Yabroud, saya masuk ke gereja tertua di negara itu dan menemukan lukisan orang-orang kudus. Semua mata mereka dicungkil dan lukisan itu telah robek-robek. Saya mengambil salah satu lukisan dan pulang ke Beirut. Mata dalam lukisan orang-orang kudus itu menatap saya, bahkan ketika saya menulis artikel ini. Ini bukan lagi sakrilegi terhadap barang-barang kuno. Hal itu dilakukan oleh orang-orang yang menjijikkan, mungkin dari Irak, hanya beberapa bulan lalu.

Seperti peristiwa 11 September 2001—lama setelah Hollywood, telah secara teratur menggambarkan Muslim sebagai pembunuh yang ingin menghancurkan Amerika—tampaknya ketakutan terburuk kita berubah menjadi kenyataan. Imam pada tahun 1990 itu tidak dapat hidup cukup lama untuk mengetahui betapa barbar baru akan menyerang orang-orang kudus di Yabroud.

Perhatikan bagaimana saya belum menyebutkan perbudakan wanita Kristen di Irak, pembantaian ISIS terhadap orang Kristen dan Yazidi, pembakaran gereja-gereja kuno di Mosul atau penghancuran gereja Armenia besar Deir el-Zour yang memperingati genosida kaum Armenia pada 1915. Juga penculikan siswi Nigeria. Bahkan pembantaian sangat terbaru di Kenya dengan korban orang-orang Kristen dan kekejaman sektarian mereka. Ini seakan meneguhkan epik Hollywood. Juga, tidak saya sebutkan perang Sunni-Syiah ganas yang kini mengerdilkan tragedi Kristen.

Tentara berdiri di atas tengkorak korban dari desa Armenia Sheyxalan pada 1915. Diduga tengkorak-tengkorak itu adalah korban genosida.

Namun tragedi Kristen di Timur Tengah saat ini perlu dipikirkan kembali. Terutama, ketika Armenia di seluruh dunia memperingati ulang tahun ke-100 genosida kaum mereka oleh Kekhalifahan Ustmaniyah (sering disebut juga  Ottoman Turki). Mungkin sudah saatnya kita mengakui itu tidak hanya sebagai tindakan genosida. Tidak hanya menganggapnya sebagai pembunuhan minoritas dalam Kekaisaran Ottoman. Namun, secara khusus minoritas Kristen dibunuh karena mereka Armenia tetapi juga karena mereka Kristen.

Dan, nasib mereka melahirkan beberapa kesamaan umum dengan pembunuh ISIS saat ini. Orang-orang Armenia dibantai. Para wanita diperkosa atau dipaksa mualaf atau dibiarkan mati kelaparan. Bayi dibakar hidup-hidup—kemudian ditumpuk di tempat sampah. Kekejaman ISIS bukanlah hal baru. Bahkan saat mereka memakai teknologi dalam menghabisi seluruh orang yang bertentangan dengan mereka.

Perempuan dari sekte Yazidi dan anak-anaknya sedang mengungsi dari ISIS.

Di Kuwait pekan lalu, seorang Muslim yang baik dan bijaksana, lulusan universitas Amerika—anggota keluarga al-Sabah dan menonjol dalam pemerintahan—menggelengkan kepala tak percaya ketika ia berbicara tentang ISIS. “Saya menonton video mereka membakar pilot Yordania hidup-hidup,” katanya. “Saya menontonnya beberapa kali. Saya harus, karena harus memahami cara mereka. Apakah Anda tahu mereka menggunakan tujuh sudut kamera untuk film penuh kekejaman ini? Kita tidak bisa bersaing dengan teknologi media ini. Kami harus belajar.”

Dan ini benar. Barat—yang berekspresi amorf dan berbahaya—masih belum memahami penggunaan teknologi ini—terutama penggunaan internet. Mereka juga tidak memiliki imam Arab Muslim yang harus berbicara tentang tindakan ISIS ini.

Itu sebab mereka lebih mengecam Perang Iran-Irak 1980-1988, ketika sekitar satu juta Muslim saling membunuh. Karena mereka berada di sisi Saddam dalam perang itu. Dan, karena ideologi ISIS terlalu jelas inspirasi Wahabi, dan dengan demikian terlalu dekat dengan beberapa negara-negara Teluk Arab yang dekat dengan Amerika Serikat.

Kejahatan ISIS brutal seperti halnya yang dilakukan oleh tentara Jerman di Perang Dunia II, tetapi orang-orang Yahudi yang Kristen pun tak luput rencana Hitler untuk pemusnahan mereka. Yang dilakukan ISIS dan Ottoman memiliki kesamaan. Kekejaman berdasarkan ideologi—bahkan teologi—bukan ras kebencian, meskipun itu tidak jauh. Setelah pembakaran gereja dan sinagoga, puing-puing terlihat sama.

Tragedi dunia Arab sekarang sudah skala harfiah seperti yang tercatat pada Alkitab. Namun, saya juga memikirkan Lebanon tempat imam tua menunjukkan mosaik dengan mata hilang dan orang-orang Kristen dan Muslim Lebanon berperang satu sama lain—dengan bantuan banyak negara asing, termasuk Israel, Suriah, dan Amerika—dan membunuh 150.000 orang dari mereka sendiri.

Namun hari ini, Muslim dan Kristen Lebanon, meskipun masih secara politik terpecah, melindungi satu sama lain di tengah angin badai-kekuatan di sekitar mereka. Mengapa? Karena mereka hari ini adalah populasi yang jauh lebih berpendidikan. Itu karena mereka menghargai pendidikan, membaca dan buku dan pengetahuan. Dan dari pendidikan datang keadilan. Itulah sebabnya, bila dibandingkan dengan Lebanon, ISIS adalah bangsa jiwa yang hilang. (independent.co.uk)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home