Loading...
DUNIA
Penulis: Bayu Probo 12:21 WIB | Senin, 04 Agustus 2014

Warga Israel Dukung Tindakan Militer Pemerintahnya

Orang-orang melambaikan bendera Israel saat mereka mengambil bagian dalam demonstrasi mendukung Israel pada Minggu (27/7) di Marseille, Prancis bagan tenggara. (Foto: AFP)

SATUHARAPAN.COM – Warga negara Israel terkenal sebagai orang yang argumentatif. Meski perdebatan atas politik atau agama ada di hampir setiap negara, di Israel debat dianggap sebagai salah satu bentuk seni, bagian dari tradisi Yahudi. Salah satu yang diperdebatkan adalah apa yang sebenarnya Israel harus perjuangkan sejak pendiriannya pada 14 Mei 1948.

Salah satu ukurannya adalah perubahan yang begitu sering di pemerintah. Sejak 1948, Israel sudah mengganti 18 perdana menteri, dibanding Inggris 13 perdana menteri, dan Amerika Serikat 12 presiden. Itu sebabnya ketika hampir ada kebulatan suara di antara orang Israel atas tindakan ofensif pemerintah saat ini di Gaza, itu adalah tanda bahwa sesuatu dapat bergeser tidak hanya dalam politik Israel, tetapi masyarakat pada umumnya.

Sulit untuk menemukan kritik atau mempertanyakan kebijaksanaan respons pemerintah atas roket Hamas di media Israel (selain pemberitaan media berhaluan kiri, Haaretz). Orang Israel yang melihat perang itu—yang telah merenggut lebih dari 1.700 jiwa Palestina sejauh ini—sebagai hal kontraproduktif, hanya sedikit. Sedangkan, yang melakukan kritik terhadap perang dapat menimbulkan kemarahan balik karena dianggap melakukan pengkhianatan.

“Ada kritik, tapi ini bukan waktu untuk berbicara tentang hal itu,” kata Adele Raener 59 tahun, dari Kibbutz Nirim, sebuah komunitas kecil yang katanya selalu berusaha damai dengan tetangga mereka di Gaza yang hanya berjarak dua kilometer jauhnya.

Makin ke Kanan

Menurut jajak pendapat yang dilakukan Israel Democracy Institute, 95 persen orang Yahudi Israel mengatakan kampanye militer ini dibenarkan dan kurang dari empat persen mengatakan tentara telah menggunakan kekerasan berlebihan.

Selama dekade terakhir, seiring Israel makin bergeser ke kanan, dan proses perdamaian telah (berulang kali) dinyatakan gagal, warga Israel makin memberi dukungan luar biasa atas “tindakan defensif terhadap serangan besar-besaran”, kata Prof Yehuda Ben Meir, seorang ahli opini publik di Institut Studi Keamanan Nasional Israel (Institute for National Security Studies/INNS). Walaupun, dukungan berangsur-angsur berkurang saat pertempuran berlarut-larut dan misi terbukti lebih rumit atau mematikan dari yang diharapkan, kata Meir, belum ada tanda-tanda perubahan itu. 

Israel telah kehilangan 63 tentara dan 3 warga sipil di putaran terakhir pertempuran. Dan, pada Sabtu (2/8) Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersikeras mengerahkan semua daya jika Hamas terus-menerus melakukan serangan roket dari Gaza.

Sayangnya, saat warga Israel bersatu di belakangnya, korban meninggal warga sipil Palestina menjadi pukulan atas reputasi internasional Israel. Serangan Israel pada sekolah di tempat penampungan PBB yang menewaskan 10 orang pada Minggu kemarin, membuat Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengecamnya sebagai “tak bermoral dan adalah tindak pidana.”

Tapi banyak orang Israel mempertanyakan apa dukungan internasional terhadap keamanan jutaan warga sipil Israel saat ini dalam jangkauan roket, dan kota-kota Israel selatan rentan terhadap infiltrasi Hamas melalui terowongan? Warga Israel menganggap kritik internasional sebagai hal naif—bahkan menyebutnya sebagai anti-Semit.

Mengejek

Atas saran internasional untuk menghapus  blokade ekonomi Gaza yang akan membuat negara lebih aman, malah menuai ejekan dari sebagian besar warga Israel. Tzipi Livni, menteri kehakiman dan kepala negosiator Israel dengan Palestina, mengatakan kepada Ynet pada Minggu bahwa perjanjian perdamaian masih jauh. Kompromi dengan Hamas? “Anda ingin membicarakan mengangkat blokade? Tidak dengan kami, dan tidak sekarang,” kata dia.

Pandangan dari Matan Peleg, CEO LSM ultra-Zionis, Im Tirzu, dapat menjelaskan mengapa ada begitu banyak dukungan untuk menyerang.

Seorang mantan tentara yang melihat pertempuran selama Intifada Kedua, Peleg mengatakan interaksi tatap muka dengan warga Palestina telah meyakinkannya bahwa “secara keseluruhan, masyarakat Arab menguduskan kematian. Standar kekerasan adalah normal di dunia Arab—pembunuhan demi kehormatan, pembunuhan gay, pelecehan perempuan . Hal-hal yang di Israel bagi kami tidak dapat dimengerti sama sekali “

Kebanyakan orang Israel mengadopsi narasi militer bahwa Hamas mengeksploitasi warga sipil sebagai “perisai manusia” dan karena itu harus bertanggung jawab atas tingginya korban sipil.

“Mengapa orang-orang tak berdosa mati ketika kita melakukan begitu banyak untuk menghindari hal ini? Karena Hamas menginginkan warga sipil tak berdosa untuk propaganda mereka sendiri. Dan, mereka jelas melakukannya dengan sangat baik,” kata Eytan Meyersdorf, seorang mahasiswa ilmu politik 25 tahun di Bar-Ilan University.

Sementara suara dari perbedaan pendapat sebagian besar telah teredam, ekstremis sayap kanan telah menyebarluaskan pidato anti-Arab tanpa dijerat hukum, mengingatkan masyarakat atas peristiwa tragis yang memicu perjuangan saat ini—penculikan dan pembunuhan tiga remaja Israel di Tepi Barat , diikuti oleh penculikan balas dendam dan pembunuhan seorang remaja Palestina oleh ultra-nasionalis.

Minggu lalu Dewan Kota Or Yehuda, kota Israel bagian tengah, memasang spanduk bertuliskan, “Tentara Israel, penduduk Or Yehuda mendukung Anda! Bunuh ibu mereka dan pulanglah dengan selamat.” Dalam demonstrasi pro-perang di Tel Aviv, ratusan bersukacita atas kematian anak-anak Palestina, meneriakkan,” Tidak ada sekolah, tidak ada anak-anak yang tersisa di Gaza.”

Ben-Dror Yemini, kolumnis media Israel, Yediot Ahronot  menyebut gerakan sayap kanan sebagai “hooligan,” tidak mewakili mayoritas orang Israel yang berusaha mencari solusi. Dia berpendapat bahwa orang Israel melihat orang Palestina bertindak manipulatif dan tidak jujur​​, yang mengarah ke keyakinan bahwa perdamaian abadi hanya bisa ditempa oleh seorang pemimpin seperti Netanyahu dan administrasi sayap kanan.

“Kebanyakan warga Israel tidak siap untuk sebuah negara Palestina, namun mayoritas besar akan mengikuti pemerintah sayap kanan karena jauh di dalam hati mereka, mereka mengerti bahwa (solusi dua negara) akan menjadi cara terbaik untuk memecahkan masalah dan menjaga negara Yahudi tetap mengakomodasi orang Yahudi demokratis,” kata Yemini.

Pekan lalu, warga Israel dihebohkan oleh siaran Televisi Pemerintah Israel, Channel 1 —meskipun ternyata, palsu—bocoran percakapan telepon antara Presiden Obama dan Perdana Menteri Netanyahu. Untuk ketidakpedulian Obama atas masalah keamanan Israel, Netanyahu secara rasional menjelaskan mengapa negaranya harus berjuang Hamas.  Nada defensif tersebut menggema bahkan di antara kaum kiri setia Israel.

Novelis berkebangsaan Israel, Amos Oz, seorang kritikus terkenal dari pendudukan Israel dan pendiri “Peace Now,” menjelaskan dalam sebuah wawancara dengan Jerman, Deutsche Welle mengapa dia mendukung perang. “Satu-satunya cara untuk mengusir agresi. Sayangnya, dengan kekerasan,” kata Oz.

 “Seorang kerabat saya yang selamat dari Holocaust Nazi di Theresienstadt selalu mengingatkan anak-anaknya dan cucu-cucunya bahwa hidupnya diselamatkan pada 1945 tidak oleh demonstran damai dengan plakat dan bunga tetapi oleh tentara Soviet dan senapan mesin ringan,” ia menambahkan. (csmonitor.com)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home