Loading...
SAINS
Penulis: Melki Pangaribuan 19:40 WIB | Jumat, 18 Oktober 2013

Warung Kopi Pemberantasan Korupsi Marak Di Aceh

Secangkir Kopi bertuliskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Foto: kpk.go.id)

ACEH, SATUHARAPAN.COM - Aktivis antikorupsi asal Aceh, Suhendri menggagas ide obrolan warung kopi antikorupsi di Aceh. Di warung kopi antikorupsi itu kalangan penggiat antikorupsi menyebarkan virus penolakan terhadap korupsi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang dampak korupsi serta upaya pencegahannya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengetahui ide Suhendri itu menyambut baik keberadaan warung kopi antikorupsi yang sering diadakan secara bepindah-pindah di Aceh. Berikut ini petikan wawancara singkat dengan Suhendri, aktivis antikorupsi asal Aceh yang menggagas ide obrolan warung kopi antikorupsi tersebut.

Bagaimana sebenarnya peran warung kopi di Aceh?

Warung kopi di aceh memiliki peran ganda. Di situ orang bisa melakukan transaksi bisnis, transaksi politik, interaksi sosial, untuk nongkrong, ngenet, nonton bola. Berbagai macam kegiatan bisa dilakukan di warung kopi. Bahkan, seminar juga bisa dilakukan di warung kopi kalau di Aceh.

Intesitas masyarakat Aceh lebih banyak di warung kopi. Betul demikian?

Betul. Siapa pun yang datang, baik petinggi dari Jakarta ataupun dari daerah akan dibawa ke warung kopi, karena di warung kopi  lobi-nya lebih lancar.

Lobi itu juga yang dilakukan oleh sekolah antikorupsi dalam melakukan sosialisasi dan transfer ilmu?

Ya. Jadi, kita manfaatkan media itu. Dalam konteks sosial masyarakat di Aceh,  khususnya warung kopi ini, kita berusaha memberikan warna baru.  Ide awalnya adalah banyak yang berminat belajar tapi tidak bisa ditampung karena keterbatasan ruangan. Akhirnya, diambil initiatif dengan membentuk komunitas. Namanya Komunitas  Antikorupsi. Mereka belajar di warung kopi seminggu sekali.

Materi apa saja dan bagaimana metode pengajaran?

Tentang korupsi secara umum, kemiskinan, ekonomi, politik dan Islam. Misalnya, korupsi dalam perspektif ham, korupsi dan kemiskinan, gender, dan lain-lain. Mereka tidak belajar mengenai investigasi dan advokasi. Hal-hal seperti itu terlalu berat untuk di warung kopi. Setelah mereka belajar diberikan materi. Mereka wajib untuk melakukan kampanye. Misalnya, dengan membagikan pin, stiker dan mengajak orang untuk bergabung di komunitas di minggu berikutnya.

Siapa pesertanya?

Siapa saja. Semua yang ada di warung kopi kita libatkan. Yang rutin dan terorganisir, adalah mereka yang yang tidak tertampung tadi sehingga kita organisir di warung kopi. Selebihnya adalah yang tidak terorganisir, yaitu masyarakat pengunjung warung kopi yang saat itu sedang di sana.

Bagaimana antusiasme dan respon masyarakat?

Sejauh ini masyarakat merespon positif. Walau mereka yang kita ajak tidak mau bergabung, mereka tetap menghargai. Mereka memberikan semangat dan berharap semoga kita tidak korupsi dan apa yang kita lakukan ini mendapat dukungan. Mereka tetap memberikan semangat dan dorongan.

Pembicaraan di warung kopi juga lebih ringan dibandingkan di sekolah. Seperti apa?

Ya. Pembicaraan ringan mengenai pemahaman tentang korupsi atau diberikan gambaran tentang keadaan yang terjadi saat ini. Teori-teori sederhana hanya selingan. Misalnya, untuk melihat korupsi dalam perspektif gender bisa dianalogikan, bahwa persoalan gender itu tidak hanya persoalan mengambil uang istri, tetapi tidak menafkahi istri juga bisa bertentangan karena merupakan kewajiban.

Kalau aktivitas obrolan soal korupsi di warung kopi,  kapan saja? Adakah narasumber?

Sudah sering. Sifatnya spontan. Orang datang ke warung kopi dan ngobrol. Kalau yang teroganisir kita mengundang narasumber. Rutin setiap malam Sabtu. Kalau yang spontan hanya di antara internal teman-teman saja. (kpk)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home