Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 08:18 WIB | Senin, 05 September 2016

50 Persen Wilayah Yogyakarta dan Sleman Krisis Air

Ilustrasi: Unjuk rasa semua orang mendapatkan hak yang sama akan kebutuhan air, "Toya Kagem Sedaya (Air untuk Semua)". (Foto: iaupny.or.id)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pakar hidrologi UGM, Prof Dr Ig L Setyawan Purnama MSi, menyebutkan setidaknya 50 persen kawasan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman terancam mengalami krisis air. Laju penurunan permukaan air tanah di kedua daerah tersebut terus meningkat setiap tahun akibat tingginya kebutuhan air, sementara masukan air ke tanah justru menurun.

Bertambahnya jumlah penduduk dan kenaikan tingkat ekonomi yang memiliki kecenderungan penggunaan air yang tinggi, menyebabkan kebutuhan air di Yogyakarta dan Sleman pun tinggi, kata guru besar Fakultas Geografi itu, seperti dilaporkan ugm.ac.id, Kamis, 1 September.

Data Dinas Pekerjaan Umum, Energi, dan Sumberdaya Mineral DIY tahun 2011 mencatat penurunan muka air tanah di Yogyakarta mencapai 30 cm per tahun. Di wilayah Sleman penurunan terjadi antara 15-30 cm setiap tahun. Penurunan air tanah tersebut terjadi di 28 titik di cekungan air tanah (CAT) Yogyakarta-Sleman. Beberapa di antaranya seperti di Kecamatan Mlati, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Godean, Kecamatan Moyudan, Kecamatan Umbulharjo, Kecamatan Kotagede, dan Kecamatan Mergangsan.

“Kalau per tahun air tanah turun sampai 30 cm, maka dalam 10 tahun bisa turun hingga 3 meter,” dosen geografi lingkungan itu menjelaskan.

Apabila masukan air tidak lebih banyak dari penggunaannya, dikhawatirkan akan terjadi krisis air di masyarakat. Data Direktorat Tata Lingkungan, Geologi, dan Kawasan Pertambangan ESDM tahun 2011 menunjukkan potensi atau ketersediaan air tanah dangkal di wilayah Yogyakarta-Sleman mencapai 604 juta meter kubik per tahun. Sedangkan untuk tanah dalamnya sebesar 9 juta meter kubik per tahun. Pada sisi lain, data Sensus Penduduk, BPS DIY tahun 2010 jumlah penduduk Sleman mencapai 1.093.110 jiwa dan Kota Yogyakarta 388.637 jiwa.

Setyawan Purnama mengingatkan, kebutuhan air masyarakat di wilayah perkotaan mencapai 130 liter per hari. Melihat potensi air yang ada, apabila tidak diimbangi dengan masukan air yang seimbang, dikhawatirkan akan terjadi kerawanan air secara meluas di Kota Yogyakarta dan Sleman. Ditambah lagi dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat setiap tahun.

Setyawan menambahkan, penurunan air tanah juga terjadi akibat berkurangnya daerah resapan karena maraknya konversi lahan. Lahan-lahan terbuka semakin sulit ditemukan karena diubah fungsinya menjadi perumahan dan bangunan komersial seperti mal, hotel, dan apartemen. Sejumlah wilayah resapan utama seperti daerah Pakem, berkurang luasannya karena pertambahan penduduk.

Terkait maraknya pembangunan mal, hotel, serta apartemen yang disinyalir menjadi penyebab turunnya air tanah di wilayah Yogyakarta dan Sleman, menurut Setyawan, baik hotel dan apartemen sebenarnya telah melakukan pengeboran air tanah dalam yang berada di bawah 40-110 meter. Fenomena menyusutnya air tanah permukaan warga di sekitar hotel maupun apartemen dimungkinkan karena lapisan lempung yang berada di antara air tanah dangkal, yang sering disebut dengan formasi Yogyakarta, dan air tanah dangkal yang dikenal dengan formasi Sleman, tidak benar-benar kedap air.

“Ada kebocoran di lapisan lempung antara formasi Yogyakarta dan formasi Sleman. Hasil analisis data bor di Kota Yogyakarta menunjukkan di wilayah Kota Yogyakarta tidak ditemukan lapisan yang betul-betul kedap air atau lapisan semi kedap air. Lapisan lempung ada yang bercampur dengan pasir sehingga tidak kedap air,” ia menjelaskan.

Hal tersebut berpengaruh terhadap air tanah dangkal atau sumur-sumur warga di atasnya. Sumur-sumur warga di sekitar bangunan hotel menyusut bahkan tidak sedikit yang mengering. Kondisi itu juga berpengaruh terhadap penurunan air tanah secara global.

Konsep “Zero Run Off”

Ia menyebutkan perlunya penerapan konsep “Zero Run Off” dengan segera untuk mengurangi penurunan air tanah yang terus meningkat. Prinsip konsep ini diterapkan untuk mencegah aliran air di permukaan tanah. Implementasinya dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti pembuatan sumur, embung, serta tempat penampungan air hujan. Pembuatan resapan sebaiknya dilakukan di tingkat keluarga, institusi pemerintah, maupun perusahaan serta industri.

“Bisa dimulai dari kantor atau institusi dengan membuat aturan yang jelas untuk membuat sumur resapan atau embung,” katanya.

Demikian halnya dengan hotel, ia mengimbau untuk melakukan pembuatan sumur resapan. Pembuatannya seyogianya hingga kedalaman yang sama dengan kedalaman pengambilan air tanah.

“Belum ada yang membuat sumur resapan. Ke depan perlu dibuat aturan hotel berkewajiban membuat sumur resapan lebih dari 40 meter atau sedalam air yang diambil,” ia menegaskan.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara meningkatkan kapasitas PDAM dengan menggunakan sumber air dari sungai, bukan mengambil dari mata air pegunungan. Misalnya, untuk PDAM di Yogyakarta dapat mengambil air dari Kali Progo yang dialirkan ke Selokan Mataram.

“Air ini bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan mencuci dan mandi. Semarang sudah melakukan cara ini dengan menggunakan air Sungai Garang,” ia menjelaskan.

Berikutnya, dengan menahan laju konversi lahan terbuka, terutama yang berada di daerah resapan air, yaitu Sleman. Masyarakat pun bisa berkontribusi mencegah penurunan air tanah melalui gerakan hemat air dan memanfaatkan atau menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. (ugm.ac.id)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home