Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 11:26 WIB | Senin, 27 April 2015

8 Tanda Salib bagi Peti Terpidana Mati Asing Disiapkan

Mary Jane Fiesta Veloso (kanan) terdakwa yang kini menunggu eksekusi mati di Indonesia, sedang berdoa bersama rohaniawan Katolik, Bernhard Kieser, ketika berlangsung sidang judicial review di PN Sleman, Yogyakarta, 4 Maret 2015 (Foto: AP/Slamet Riyadi)

CANBERRA, SATUHARAPAN.COM - Media Australia melaporkan delapan tanda salib bertanggal 29 April 2015 telah disiapkan, yang diduga diperuntukkan bagi delapan dari 10 terpidana mati beragama Kristen yang dalam kasus narkoba di LP Nusa Kambangan, Jawa Tengah pada hari Rabu mendatang.

Salib tersebut akan digunakan menandai peti mati para terpidana setelah mereka dieksekusi dan kemudian diserahkan kepada keluarga.

Telah disiapkannya salib-salib tersebut dilaporkan oleh The Australian mengutip News Corp Australia dan melansirnya hari ini (27/4) dalam laporan bertajuk Bali Nine bribe claims a global issue warns Julie Bishop.

Sebanyak 10 terpidana kasus narkoba yang segera dieksekusi, adalah Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Prancis), Rodrigo Gularte (Brazil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Okwudili Oyatanze (Nigeria), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).

Mahkamah Agung Indonesia telah menolak untuk mendengar permohonan banding satu warga negara Indonesia,  merupakan yang terakhir  setelah yang lainnya melakukan hal serupa. Penolakan judicial review untuk Zainal Abididin,  mengindikasikan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo telah mantap untuk melakukan eksekusi kepada 10 orang terpidana dalam kelompok yang sama, yang diperkirakan dilakukan pada Rabu dini hari.

Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan kepada The Australian  bahwa permohonan  Zainal ditolak pada  hari Jumat malam.

Dalam dua minggu terakhir Mahkamah Agung telah menolak dengan cepat semua permohonan  yang tersisa yang memunculkan spekulasi hal itu dimaksudkan untuk memungkinkan melaksanakan eksekusi bersama-sama terhadap 10 terpidana, seperti yang direncanakan.

Sembilan pria dan seorang wanita terpidana tersebut, pada  hari Sabtu diberi pemberitahuan bahwa eksekusi mereka akan dilakukan setelah minimal 72 jam dari waktu pemberitahuan.

Seorang petugas rumah duka, B. Suhendroputro, telah diarahkan untuk mempersiapkan kayu salib para  tahanan beragama Kristen, termasuk Chan dan Sukumaran dari Australia.

Pemerintah Australia dan sejumlah negara asing yang warga negaranya turut dalam daftar yang akan dieksekusi, berkali-kali menyatakan kekecewaan dengan rencana Indonesia. Eksekusi itu dianggap tidak layak di tengah  tuduhan peradilan yang korup dan campur tangan politik dalam kasus perdagangan narkoba, sebagaimana dikatakan Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop.

Salah seorang pengacara terpidana, Muhammad Rifan, menuduh hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang menghukum Chan dan Sukumaran meminta lebih dari Rp 1 miliar ($ 133,000) dari kliennya untuk membebaskan mereka dari hukuman mati pada tahun 2006.

The Australian mengatakan tokoh politik Indonesia diduga menginstruksikan para hakim untuk menjatuhkan hukuman mati, dan itu mendorong hakim untuk memulai "meminta lebih banyak uang". Ketika itu Rifan menolak karena dia yakin para hakim cuma menggertak.

Bishop mendesak Indonesia untuk menunda eksekusi sampai Komisi Yudisial menyelesaikan penyelidikan atas tuduhan suap tersebut. "Saya sudah meminta Menteri Luar Negeri (Retno) Marsudi agar tidak ada tindakan apa pun diambil dalam kaitannya dengan eksekusi hukuman mati sampai proses hukum ini diselesaikan," kata dia.

"Ini bisa membahayakan Indonesia di dunia internasional, dan ketika Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Ban Ki-moon) ikut berbicara dalam perdebatan, saya pikir ini adalah masalah global," tutur dia.

"Saya tidak ingin berspekulasi saat ini tentang konsekuensi jika eksekusi dijalankan karena fokus saya saat ini tetap ingin mengamankan penundaan eksekusi."

Sekretaris parlemen Bishop, Steven Ciobo, mengatakan tuduhan Rifan itu "sangat mengganggu dan memprihatinkan" dan harus "ditinjau secara serius dan komprehensif."

"Australia ingin tahu bahwa proses peradilan telah berjalan layak,  telah bebas dari noda korupsi," kata Ciobo.

Sementara itu Juru Bicara Partai Buruh untuk urusan luar negeri, Tanya Plibersek, menyatakan oposisi memiliki "keprihatinan besar" atas adanya tuduhan korupsi di peradilan.

"Benar-benar tidak dapat diterima bila hukuman itu dijalankan sementara  masalah hukum masih tertunda," kata Ms Plibersek.

Baca Juga:

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home