Loading...
BUDAYA
Penulis: Francisca Christy Rosana 02:33 WIB | Senin, 02 Maret 2015

Aisyah Patahkan Stigma Negatif Model Cilik

Model cilik Aisyah Katherine Morris saat ditemui di Indonesia Fashion Week 2015, di JCC, Minggu (1/3). (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Model cilik Aisyah Katherine Morris mungkin bisa menjadi salah satu sosok yang menginspirasi banyak anak di Nusantara. Di tengah tingginya arus globalisasi yang mendorong anak mengenal berbagai hal di luar usianya, Aisah dengan profesinya yang dekat dengan dunia hiburan justru tak menghilangkan karakternya sebagai anak-anak. Aisyah tampaknya berhasil mematahkan stereotipe dan stigma negatif terhadap model cilik. Kebanyakan orang menganggap model cilik pasti memiliki karakter dewasa sebelum waktunya.

Stigma negatif itu rasa-rasanya sama sekali tak tampak di diri Aisyah. Ketika ditemui satuharapan.com di booth Kokomero, Indonesia Fashion Week 2015, Minggu (1/3), Aisyah dengan gaya malu-malunya memberi salam sapa hormat.

“Saya sejak umur tiga tahun menjadi model,” ujar Aisyah dengan senyum simpulnya.

Wahyu Handayani, ibu dari gadis berwajah campuran Indonesia-New Zealand ini mengaku Aisyah tak pernah masuk sekolah model. Bakat itu secara alami muncul dalam dirinya.

“Sengaja saya tidak memasukkan (Aisyah) ke sekolah model karena saya merasa dari kebanyakan contoh, anak-anak justru dewasa sebelum waktunya. Aisyah untuk pemotretan majalah selalu minim make up. Ia juga selalu menggunakan sepatu yang datar. Tak pernah hak tinggi. Saya tak ingin dia dewasa sebelum waktunya,” ujar Wahyu.

Di usianya yang ke tujuh ini, Aisyah telah beberapa kali digaet industri pakaian untuk menjadi peraganya. Tanpa sekolah modeling, Aisyah pun diakui hanya belajar dari proses perjalanan pemotretannya.

Awalnya, keluarga tak menyetujui Aisyah menjadi model, namun melihat talenta besar yang dimiliki, keluarganya sepakat untuk memberi arahan dan bimbingan.

“Kalau dia tak ada bakat, saya tak akan membantu dia ke arah situ karena saya lebih suka dia sukses di bidang akademik. Namun karena Aisyah punya bakat di bidang modeling, saya harus arahkan dia. Takutnya kalau orang tua nggak mau membimbing, si anak justru malah salah langkah,” ujar sang ibu.

“Kami selalu tanamkan sekolah adalah yang utama. Memang sukses tak selalu bermula dari sekolah. Ada orang yak tak sekolah pun bisa sukses. Tapi kalau orang bependiidkan tinggi pasti ada keuntungannya, wawasannya pun luas,” ia menambahkan.

Dalam perjalanannya pun, Wahyu mengungkapkan sempat timbul kekhawatiran sejak putri kecilnya menjadi pelaku seni foto. Kekhawatiran utamanya terletak pada gaya hidup model-model yang stereotipe.

Untuk menepis kekhawatiran itu, Wahyu akhirnya pelan-pelan memberikan pengertian kepada Aisyah bahwa job hanya sebatas meyalurkan bakat, bukan untuk mencari uang.

“Kalau fokusnya mencari uang, pasti beda,” kata dia.

Oleh karena itu, Wahyu pun sengaja tak sering-sering mengambil tawaran pekerjaan untuk Aisyah agar tak bosan dan tak menjadi rutinitas. Sebelum mnerima job pun, Wahyu selalu bertanya terlebih dahulu ke Aisyah.

“Saya perlakukan dia seperti orang dewasa. Kalau dia mau menerima job, dia tahu dan konsisten dengan pilihannya. Pernah dalam satu hari dia pemotretan 35 baju dari pagi hingga sore, tapi dia enjoy karena itu memang dunianya,” kata Wahyu.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home