Loading...
MEDIA
Penulis: Kartika Virgianti 06:25 WIB | Jumat, 26 Desember 2014

Ancaman Pidana Setiap Status di Medsos, Haruskah Diam Saja?

“Memang yang namanya teknologi dikeluarkan tidak hanya untuk didiamkan, apalagi sekarang sudah banyak sekali media sosial yang posisinya di luar produk pers. Problemnya adalah bagaimana kita memperlakukan media sosial dalam porsi tepat.”
Ilustrasi ribuan media sosial dari seluruh dunia. (Foto: socialmedianews.com.au)

SATUHARAPAN.COM – Ada seribu macam bentuk media sosial (medsos) dengan cara berkomunikasinya yang saling berbeda satu sama lain, yang bagaikan air bah yang masuk kehidupan seseorang setiap saat, antara lain melalui Facebook, Twitter, BBM, Whatsapp, Line, Path, dan lain sebagainya. Namun, itu semua ternyata bisa menjerat si pembuat statusnya setiap saat. Bagaimana bisa?  

Terakhir yang terjadi, ada ibu rumah tangga di Bantul, Yogyakarta, Ervani Emi Handayani yang dipidana karena mengkritik manajemen perusahaan swasta tempat suaminya bekerja, PT Jolie Jogja Jewellery, melalui status di Facebook. Begitu perusahaan tahu, lalu tersinggung, status tersebut diadukan ke polisi, lalu dipenjara.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Suwarjono dalam jumpa pers di Kantor AJI, Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (23/12), sebenarnya itu masalah sepele, statusnya pun sangat biasa, tidak ada unsur kata-kata kotor dilontarkan, tetapi ibu rumah tangga itu bisa dipenjara karena status biasa. Orang tentu tidak menyangka sebuah status yang berisi ekspresi kekecewaan itu, bisa menjerat diri seseorang ke dalam pidana.

Ternyata pintu masuk ancaman pidana terhadap status seseorang adalah  Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pada khususnya terdapat di pasal 27. UU ITE itu membawahi ranah internet, meliputi semua platform digital yang menggunakan frekuensi nirkabel ataupun kabel, termasuk bisnis online, sampai pekerjaan jurnalistik yang berbasis internet.

Trend Pencemaran Nama Baik

Ketua umum yang akrab disapa Jono itu menilai, pasal 27 dalam UU ITE memang sering disalahgunakan oleh aparat. Hal yang paling banyak dilaporkan saat ini adalah masalah pencemaran nama baik.

Penyelesaian masalah terkait pemberitaan pers, memang menggunakan UU pokok pers, yakni UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tetapi yang saat ini semakin rumit adalah kemampuan UU ITE dalam menjerat orang yang membuat status tertentu.

“Status di media sosial memang bukan terkait dengan perselisihan pemberitaan pers. Namun ketika status seseorang di media sosial yang awalnya hanya bercanda, malah diadukan ke polisi dan diproses. Hampir semua kasus yang dianggap tidak menyenangkan bagi pelapor, dengan gampangnya bisa mengadukan status seseorang ke polisi,” urai Suwarjono.

Saat ini, pengguna media sosial memang banyak yang belum paham dengan ancaman pidana dari UU ini ketika mereka memasang status, men-tweet, bahwa ada ancaman pidana 5-6 tahun sebagai konsekuensinya.

Terhadap pekerjaan jurnalistik, sejauh ini UU ITE baru digunakan untuk menjerat komentar pembaca yang ada di media massa, misalnya salah satu pemilik blog Kompasiana ada yang dilaporkan ke polisi dengan menggunakan UU ITE ini.

Kendati demikian, Suwarjono menilai tidak menutup kemungkinan berita yang ditulis wartawan di internet itu akan dijerat menggunakan UU ITE, karena aturan tersebut dibuat dengan tidak ada pengecualiannya. Tentu saja ini bisa berbahaya sepak terjang dunia pers, karena ancaman pidananya lebih dari lima tahun.

Jika UU ini terus ada, maka apapun yang disampaikan orang di media sosialnya bisa dikriminalisasi, karena suka atau tidak suka itu tergantung interpretasi orang. Terlebih, dengan kondisi hukum di negara Indonesia yang masih belum matang, masih banyaknya peraturan hukum yang saling bertabrakan, maupun dari aparatnya sendiri yang bisa dengan mudahnya disuap.

AJI Dorong Revisi UU ITE Pasal 27

Suwarjono menjelaskan pembahasan UU ITE memang sudah melibatkan seluruh stakeholder dalam konteks meminta masukan, dan dasar pemikiran awal UU ITE ini jelas menyasar problem waktu itu, yakni konten porno, atau konten lainnya yang tidak sesuai. Meskipun begitu, AJI menilai perlunya merevisi UU ITE, terutama pasal 27.

UU ITE No. 11 Tahun 2008 Pasal 27 ayat (1) berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yangmemiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

“AJI saat ini sedang melakukan lobi dengan pemerintah dan Komisi I DPR RI, agar revisi UU ini bisa masuk di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2015. Sambil menunggu perjuangan teman-teman, kita mendorong masyarakat untuk menggunakan media sosial untuk masuk di ranah internet positif, termasuk masyarakat di daerah lainnya,” kata Suwarjono.

Ancaman pidana lebih dari lima tahun sebenarnya bisa mematikan hak perdata seseorang, misalnya hak politik untuk ikut bursa pencalegan. Oleh sebab itu, posisi AJI mendorong setiap kasus pencemaran nama baik, penghinaan, seharusnya jalurnya ke perdata, dan tidak tidak masuk ke pidana.

“AJI menentang kriminalisasi atas hak orang menyampaikan pendapat. Kalau merasa ada penghinaan, jalurnya ke perdata, yaitu ke pengadilan,” kata dia.

Menggunakan Medsos dalam Porsi Tepat

“Memang yang namanya teknologi dikeluarkan tidak hanya untuk didiamkan, apalagi sekarang sudah banyak sekali media sosial yang posisinya di luar produk pers. Problemnya adalah bagaimana kita memperlakukan media sosial dalam porsi tepat,” tutur Suwarjono.

Maka, usulan AJI selain merevisi UU ITE, yakni memberikan pendidikan kepada masyarakat bagaimana cara menggunakan internet secara positif, memaksimalkan internet untuk kepentingan yang lebih bermanfaat dibanding hanya untuk pornografi, mencaci maki, meneror, atau melakukan surat kaleng.

Untuk masyarakat awam, AJI menilai perlunya mengadakan sosialisasi soal ancaman pidana ini dalam UU ITE, pelatihan, cara memanfaatkan blog, membuat konten positif, ini yang perlu didorong terus.

“Kalau sosialisasi semakin gencar kita beritakan, orang akan sadar bahwa mereka bisa terkena ancaman pidana yang sama, apalagi kejadiannya paling banyak di berbagai daerah, Yogyakarta, Makassar, Surabaya, bahkan di Banda Aceh juga sudah banyak kasusnya,” katanya.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home