Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:57 WIB | Selasa, 02 Oktober 2018

Apa Kata Pakar Jerman tentang Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia

Ilustrasi. Dr Jorn Lauterjung, Ahli Geofisika di Pusat Geologi Geoforschungszentrums (GFZ) Postdam, yang ikut membangun sistem peringatan dini tsunami di Indonesia. (Foto: dw.com)

JERMAN, SATUHARAPAN.COM – Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan Pusat Geologi dekat Berlin, Geoforschungszentrums (GFZ) Potsdam. Jurubicara GFZ Josef Zens mengatakan, sistem beserta peranti lunaknya berfungsi dengan baik.

"Menurut informasi yang kami terima, softwarenya berfungsi dengan baik," kata Josef Zens kepada harian Berlin Tagesspiegel, edisi 1 Oktober 2018.

Dia mengatakan, pusat pemantauan sistem peringatan dini tsunami di Jakarta mengeluarkan peringatan bahaya tsunami lima menit setelah terjadi gempa di Sulawesi Tengah.

Simulasi komputer menyebutkan, ada ancaman gelombang tsunami dengan ketinggian 0,5 sampai 3 meter. 20 menit setelah gempa, gelombang besar itu mencapai daerah pesisir Sulawesi.

Lalu mengapa banyak orang di Palu mengatakan tidak tahu tentang adanya peringatan tsunami? Kemungkinan "ada sesuatu yang tidak berfungsi dalam penyampaian informasi kepada masyarakat setempat," kata Josef Zens. Memang ada jarak lebih 1.500 km dari Jakarta ke Palu.

Josef Zens juga mengatakan, penarikan peringatan dini tsunami yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terlalu cepat, hanya 37 menit setelah peringatan pertama dikeluarkan.

"Sistem yang kami buat mengatur bahwa peringatan tsunami paling cepat baru bisa dibatalkan setelah dua jam." Dia menambahkan, masih harus ditelusuri, mengapa pembatalan peringatan tsunami dikeluarkan secepat itu.

Ahli GFZ yang ikut membangun sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, Jorn Lauterjung mengatakan kepada televisi Jerman ARD, sistemnya berfungsi baik karena informasi ancaman tsunami disebarkan lima menit setelah gempa, kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam jaringan bencana.

"Namun informasi itu tampaknya tidak sampai kepada masyarakat setempat yang membutuhkannya," kata Lauterjung.

Ditanya apakah waktu lima menit masih bisa dipersingkat, dia mengatakan, “Semua data yang diterima dari lokasi gempa harus diolah oleh komputer, kemudian dibuat model simulasi untuk menentukan, apakah ada ancaman gelombang tsunami, dan lokasi mana saja yang terancam. Semua itu berlangsung empat sampai lima menit. Itulah waktu yang tercepat membuat simulasi yang real.”

Jorn Lauterjung selanjutnya mengatakan, sekarang yang harus lebih banyak dilakukan adalah lebih sering melatih personal di lapangan yang terkait dengan penanggulangan bencana, agar dapat bereaksi dengan cepat dan tepat, jika ada peringatan. "Di sini tampaknya masih banyak hal yang bisa dilakukan."

Jorn Lauterjung mengaku kaget dan prihatin dengan bencana tsunami di Sulawesi Tengah. Terutama karena menyangkut nyawa ratusan atau ribuan orang dan sudah ada sistem peringatan dini tsunami yang berfungsi.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dari Jerman setelah bencana besar 2004 di Aceh dan Sumatera Utara.

Ketika itu, gempa bumi berkekuatan 9,1 skala richter yang berpusat di Simeuleu menyebabkan gelombang tsunami hebat sampai ke Samudera Hindia. Lebih 230.000 orang tewas di seluruh dunia, di Aceh dan Sumatera Utara saja korban tewas mencapai lebih 160.000 orang. (dw.com)

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home