Loading...
SAINS
Penulis: Ignatius Dwiana 08:15 WIB | Selasa, 10 September 2013

Badan REDD+ Dibentuk Tanpa Evaluasi Memadai

Peta lokasi proyek REDD+. (Foto: Gambar REDD Indonesia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pembentukan Badan Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD+) melalui Peraturan Presiden No. 62 tahun 2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut sepertinya menggambarkan kepanikan manajemen Presiden SBY.

Pertimbangan pembentukannya pada tanggal 2 September 2013 lalu nampak tidak disertai dengan evaluasi memadai terhadap lembaga-lembaga non struktural yang saat ini jumlahnya telah mencapai 80 lembaga lebih. Banyak kajian menunjukan bahwa sebagian besar lembaga-lembaga ini tidak berjalan efektif tetapi sangat efisien dalam menghamburkan uang negara atau uang rakyat. Pandangan ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global di Jakarta pada hari Senin (9/9).

Kehadiran lembaga-lembaga transisi tidak akan mampu mengubah sistem yang korup. Terkecuali jika disertai dengan perubahan mendasar pada lembaga-lembaga status quo yang membentengi diri dengan keras dari upaya-upaya reformasi. REDD+ yang telah disunat di sana sini kemungkinan hanya akan memainkan peran minor bila dihadapkan dengan institusi-institusi mapan seperti Kementerian Kehutanan, Pertambangan, dan Pertanian yang seharusnya menjadi target utama upaya penurunan emisi.

Badan REDD+ mengulang juga jebakan kompromistis lembaga-lembaga serupa yang akhirnya hanya mempunyai kewenangan koordinatif dan komunikatif. Banyak fakta membuktikan bahwa kewenangan koordinasi hanya menjadi pepesan kosong dan pemanis bibir. Badan REDD+ seharusnya diberi ruang untuk mengevaluasi kinerja berbagai sektor, termasuk  kehutanan, tambang dan perkebunan atau pertanian, terutama dalam kaitannya dengan pelepasan emisi. Lembaga ini telah kehilangan kesempatan untuk meninjau perilaku deforestasi terpimpin yang digawangi sektor ekstraktif dan tidak cukup kuat untuk memberi diagnosa kebijakan yang tepat.

Pembentukannya menjelang Pemilu 2014 juga menjadi pertanyaan. Karena menjelang Pemilu, transaksi dan ongkos politik mulai dikumpulkan pelbagai partai. Kewenangan lembaga ini yang nampaknya banyak menyinggung isu pendanaan REDD+ patut dijaga dari korupsi politik. Walau adanya kerangka pengaman pendanaan untuk mencegah resiko penyalahgunaan maupun penyimpangan tetapi belum jelas kerangka pengaman yang dimaksud.

Perpres ini masih pula mengandung jebakan definisi. Deforestasi diartikan hanya sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan. Pengertian ini mengartikan bahwa pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI) ataupun sawit tidak dianggap sebagai deforestasi. Dalam konteks tumpang tindih perizinan, kacaunya penataan ruang, dan korupsi, definisi deforestasi semacam ini sangatlah lemah.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global mengapresiasi adanya niat Pemerintah melalui Perpres ini untuk mendapatkan sumber pendanaan yang mandiri dan tidak terikat seperti dimaksudkan dalam pasal 25. Hal ini menunjukkan bentuk independensi dan kedaulatan dalam pengelolaan pendanaan. Tetapi seharusnya pasal ini melindungi segala pengelolaan sektor kehutanan melalui REDD+ dari segala bentuk intervensi pendanaan dalam bentuk hutang, bantuan teknis, maupun hibah dengan syarat. Setidaknya dibutuhkan lampiran untuk menegaskan definisi sumber yang tidak boleh diterima untuk ini.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global adalah gabungan dari Greenpeace Southeast Asia – Indonesia, WALHI, Perkumpulan HuMa, Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim/CSF-CJI, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home