Loading...
INSPIRASI
Penulis: Dhama Gustiar Baskoro 05:30 WIB | Jumat, 22 April 2016

Being The Second, Why Not?

Eddington memiliki peluang untuk mengakui teori Einstein sebagai miliknya.
Eddington dan Einstein (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Di tengah gegap gempita euforia masyarakat menggelorakan gerakan anti korupsi, telinga kita sering kali dibuat pedas. Sebab banyaknya berita mengenai politisi korup, yang meski sudah dijadikan tersangka, sulit legawa untuk mundur dari jabatannya. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang masih lantang menyatakan dirinya tidak bersalah.

Di kasus lainnya justru banyak pemimpin bersih yang sedang bekerja keras melakukan banyak perubahan yang progresif dan prorakyat justru dijerat, dipojokkan, dan berusaha diturunkan dengan sekuat tenaga melalui berbagai kasus yang dicari-cari.

Itu adalah bukti bahwa jabatan dan kekuasaan memicu obsesi dengan tendensi yang sama yaitu: to be number one. Iwan Fals, dalam lagunya Bento, menyatakan ”persetan orang susah karena aku, yang penting asyik, sekali lagi asyik”.

Menang dan berkuasa menjadi nomor satu merupakan hal yang harus dicapai dan dipertahankan dengan segala cara. Kalau belum bisa jadi nomor satu, ya harus terus cari cara supaya yang nomor satu bisa jatuh dan kita yang jadi nomor satunya. Begitulah kira-kira prinsipnya.

Tetapi, sebenarnya hal ini tidak terlalu mengherankan, karena sejak kecil kita pun dididik dengan pola pendidikan yang mementingkan hasil dan bukan proses. Ketika hari pembagian rapor, masih ingat pertanyaan yang diajukan orangtua kita? ”Adik dapat rangking berapa?”, ”Wah, kakak kenapa rangkingnya turun tahun ini?”, ”Kamu kan sudah dibayari bimbingan belajar, kok rangkingnya turun jadi nomor dua?” Ironisnya, kita pun menanyakan hal yang sama kepada putra-putri kita.

Mungkin sudah saatnya kita menyadari bahwa mental bangsa ini juga dibangun dari apa yang kita bangun bersama anak-anak kita di rumah, sekolah, dan masyarakat. Harus disadari, sering kali tuntutan kita terhadap kesuksesan, mereka terjemahkan sebagai genderang perang semata untuk berkompetisi dan menang, tanpa berhasil menerapkan arti pendidikan yang seutuhnya.

Lihatlah, betapa indahnya ketika Tenzing Norgay, Sang Sherpa yang memandu Sir Edmund Hillary, berhenti di satu langkah terakhir sebelum mencapai puncak Mount Everest dan mempersilakan Sir Edmund Hillary untuk menancapkan bendera pertama di sana!

Atau, kita bisa belajar dari Arthur Eddington yang rela untuk tidak dikenal, demi memperjuangkan teori Albert Einstein mengenai pengaruh gravitasi terhadap lintasan planet yang menjadi dasar dari teori relativitasnya yang termasyhur. Walau, tentu saja, Eddington memiliki peluang untuk mengakui teori tersebut sebagai miliknya.

Mari kita belajar untuk menghargai proses dan bisa menerima kekalahan dengan legawa. Hanya dengan demikianlah kita bisa menerapkan pendidikan yang seutuhnya (wholistic education). Prinsip yang harus kita lakukan dan ajarkan kepada anak-anak kita sebenarnya hanya satu: lakukan yang terbaik dengan jujur dan benar!

 

Email:inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home