Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 04:08 WIB | Senin, 05 Mei 2014

Berbuat BENAR atau berbuat BAIK?

Pak Ogah (foto: KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN)

SATUHARAPAN.COM – Benar dan baik sepintas terkesan setali tiga uang, sama saja. Betulkah begitu? Mari tilik lebih dalam persamaan dan perbedaannya!

Persamaannya: keduanya merupakan upaya positif, konstruktif. Namun, perbedaannya sangat prinsipil: BENAR berhulu pada satu standar, yaitu kebenaran. Dan kebenaran yang paling benar adalah  yang  Ilahi, nilai yang kita terima  dari Allah.  Kalau kebenaran mutlak itu tidak dilaksanakan disebut SALAH. Lawan kata BENAR adalah SALAH.

Sementara itu, BAIK berorientasi pada kenyamanan penerima perbuatan (atau perkataan) itu. Kalau penerima nyaman, maka perbuatan atau perkataan yang terlontar itu baik adanya. Kalau penerima tidak merasa nyaman, maka akan menjadi tidak baik, bahkan mungkin jahat. Lawan kata BAIK adalah JAHAT.

Karena orientasi BAIK adalah penerimaan atau persepsi, sifatnya sangat relatif: baik bagi siapa? Baik bagi satu pihak, bisa jadi pada saat yang bersamaan akan diterima tidak baik atau jahat oleh pihak lain. Seorang ”Pak Ogah” di pertigaan jalan menolong mereka yang berkendara keluar dari simpang jalan dan untuk itu ia menerima balas jasa.  Namun, pada saat bersamaan ia berbuat tidak baik kepada mereka yang melintas lurus di pertigaan itu karena menghalangi kelancaran perjalanan mereka. Padahal mereka melintas jalan lurus, yang tentunya harus pendapatkan prioritas ketimbang yang keluar dari jalan simpang.

Tidak jarang kita lihat kemacetan yang semakin parah saat suatu jalan lurus bertemu dengan simpang jalan lain.  Sepertinya, pada saat yang bersamaan pak Ogah berbuat BAIK kepada satu pihak dan berbuat TIDAK BAIK kepada pihak lain. Tetapi sesungguhnya, kepada siapakah ”Pak Ogah” itu berbuat baik? Kepada diri sendiri. Karena ia membutuhkan uang untuk hidup.

BAIK itu relatif! Apakah perbuatannya  BENAR? Adakah ”Pak Ogah” mempertimbangkan nilai benar?  Siapakah yang seharusnya ia bantu? Jika ia memilih untuk berlaku BENAR, ia akan memilih untuk memperlancar kedua arah secara seimbang. Mungkin akan ada pihak yang merasa tidak terbantu karena perjalanannya tetap tersendat, dan penghasilannya pun menurun, namun setidaknya pak Ogah itu menggunakan standar kebenaran. Ia tidak memihak kepada mereka yang memberi balas jasa melainkan kepada setiap pengguna jalan.

Harian Kompas beberapa hari lalu memuat sebuah artikel mengenai moral. Di sana disajikan informasi hasil penelitian sosial seorang peneliti Belanda, yang menyimpulkan bahwa rasa bersalah orang di dunia Barat berbeda dengan di Timur (sampel diambil di Jogjakarta). Orang Barat dikatakan lebih berorientasi pada nilai benar, sedangkan orang Timur lebih pada penerimaan orang banyak.

Pelaku pedofilia di Jakarta yang bunuh diri itu, mungkin bukan mengakhiri hidupnya karena nilai benar yang telah ia langgar, melainkan karena perbuatannya diketahui orang banyak. Selama ini ia berlaku SALAH tapi tetap BAIK, karena perbuatannya tak diketahui banyak orang sehingga tak dinilai salah.

Tersangka KPK sering kali tampak keluar dari persidangan dengan tersenyum dan melambaikan tangan. Mengapa? Karena korupsi dilakukan di hampir semua lapisan masyarakat, jadi tak perlu merasa malu atau bersalah karena hampir semua orang melakukannya. Jelas, orientasi pada kebaikan ketimbang kebenaran merugikan tatanan bangsa karena nilai benar tidak lagi dianut sebagai standar.  Nilai moral bangsa akan semakin menurun jika BAIK didahulukan ketimbang BENAR.

Jika ingin memperbaiki bangsa ini, kita perlu mengubah orientasi sikap kita:  memilih BENAR dahulu, baru BAIK. Ujiannya: kalau suatu situasi akan menguntungkan kita (baca: BAIK) namun tidak mengandung nilai BENAR, bersediakah kita menolak keuntungan demi mempertahankan kebenaran?

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home