Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 18:21 WIB | Jumat, 16 Oktober 2015

BPKP: Kerugian Negara Rp 5 Miliar Terkait Tambang Pasir

Manager kebijakan pembelaan hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Muhnur Satyahaprabu saat memberikan keterangan pers di Kantor Walhi, dalam keterangan pers di Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta Selatan, hari Jumat (16/10). (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Manajer kebijakan pembelaan hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Muhnur Satyahaprabu, mengatakan hasil audit Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Timur, menemuakan sejak tahun 2004-2005 ada perjanjian operasional atau joint operational antara Pemerintah Kabupaten Lumajang dan PT Mutiara Halim terkait dengan retribusi tambang pasir yang merugikan keuangan negara sebenar Rp 5 miliar.

"Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 5 miliar, itu terjadi dalam waktu satu tahun. Artinya, jika penambangan terjadi sudah lebih dari 3 tahun, maka kerugian negara pasti lebih besar," kata Muhnur di Kantor Walhi, dalam keterangan pers di Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta Selatan, hari Jumat (16/10).

Menurut Muhnur, penambangan pasir besi juga tidak berkontribusi besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lumajang.

"Kontribusi dari pasir besi itu hanya Rp 75 juta per tahun, sehingga dipastikan aliran uang hasil penambangan liar tersebut masuk kekantong-kantong elite birokrat dan aparat," kata dia.

Dengan demikian, kata Muhnur, upaya memberantas praktik mafia pertambangan pasir besi di Kabupaten Lumajang seharusnya tidak hanya berhenti pada penetapan Kepala Desa Selok Awar-awar dan oknum anggota kepolisian sebagai tersangka.

Sementara itu, Manajer Kampaye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Ki Bagus Hadi Kusuma mengatakan, dengan perputaran uang hingga miliaran rupiah per bulan dan kerugian negara mencapai triliunan rupiah, maka sangat besar kemungkinan praktik mafia tambang ini dilindungi oleh orang yang memiliki kuasa yang kuat, baik dari birokrasi pemerintah maupun aparat keamanan. Penyelesaian kasus mafia pertambangan ini seharusnya juga tidak mengabaikan kasus-kasus korupsi terkait pertambangan pasir besi di Lumajang.

"Sejak 2008 setidaknya ada empat kasus korupsi yang berkaitan erat dengan pertambangan pasir besi di Lumajang. Kalau mau menyelesaikan kasus ini secara tuntas, penyidik seharusnya tidak mengabaikan kasus-kasus megakorupsi ini. Sangat penting untuk menggunakan pendekatan tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam kasus ini," kata dia.

Sementara itu, Wahyu Nandang dari YLBHI mengatakan dalam kasus pembunuhan Salim Kancil dan bisnis pertambangan pasir besi Lumajang, polisi harus objektif dalam penanganannya, jangan tebang pilih demi penegakan hukum.

"Jangan tebang pilih dalam kasus Lumajang, demi penegakan hukum, terutama pihak-pihak aparat pemerintahan daerah, pihak pengusaha, ataupun polisi itu sendiri yang terlibat juga harus diungkap," katanya.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home