Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 20:35 WIB | Rabu, 29 Januari 2014

BPPT: Dengan Sumur Resapan, Masyarakat Tak Perlu PDAM Lagi

Konsep desain sumur resapan. (Foto: dok.BPPT)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Masyarakat kita selama ini hanya mengambil air tanah tanpa mengembalikannya kembali ke dalam tanah. Maka, perlu teknologi sumur resapan untuk mengembalikan area resapan itu. Selain itu, air dari sumur resapan dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. Dengan membuat sumur resapan, seharusnya masyarakat kita tidak perlu lagi menggunakan jasa air PAM (Perusahaan Air Minum Negara).

Ini dijelaskan peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ir. Nusa Idaman Said M.Eng, ketika ditemui satuharapan.com di kantornya di Ruang IPAL, BPPT, Jakarta Pusat, pada Rabu (29/1) pagi.

Air hujan yang turun, sebagian air seharusnya meresap ke dalam tanah, sebagian lagi mengalir ke saluran air dan sungai. Saat ini yang jadi permasalahan, lahan resapan itu yang berubah fungsinya. Dulu tempat penampungan air ada rawa-rawa, sekarang justru dibuat perumahan, mall, dan bangunan lainnya.

Air hujan dikatakan memang memiliki derajat keasaman yang agak rendah, akibat dari terkena polusi udara, seperti debu dan zat-zat gas karbondioksida (CO2) yang berasal dari asap kendaraan bermotor. Namun ketika jatuh ke tanah, tanah itu sendiri akan berfungsi menjadi filter atau penyaring.

Maka dapat dikatakan air tanah merupakan air yang paling bagus yang tidak perlu diragukan lagi dari segi kualitasnya, maupun biayanya, karena tidak perlu membayar seperti air PAM (Perusahaan Air Minum Negara).

Nusa berpendapat, sebenarnya penanganan banjir itu sederhana, hanya beberapa langkah. Pertama menampung air, kedua memperbesar saluran air, dan ketiga supaya air itu tidak langsung masuk ke saluran air dan sungai, melainkan diresapkan terlebih dahulu ke dalam tanah. Namun, memang dalam menanganinya tidak sesederhana itu.

Mengatasi banjir dengan cara membangun waduk, itu harus dilakukan pemerintah, sedangkan pembuatan sumur resapan maupun biopori, itu adalah peran masyarakat. Nusa menegaskan bahwa membuat sumur resapan tidak memerlukan biaya besar, bahkan tidak perlu lahan luas.

Sumur Resapan Cegah Banjir

Sumur resapan bisa dibuat hanya dengan kedalaman dua meter. Luas diameternya bisa tergantung dari luas penampang atapnya. Makin lebar maka luas penampang sumur resapan akan semakin lebar.

Sumur resapan setelah digali pada kedalaman minimal dua meter, lalu diisi dengan ijuk, pasir dan kerikil juga bisa, fungsinya sebagai filter atau penyaring air. Ketika air jatuh ke atap rumah, dialirkan melalui talang-talang air menuju sumur resapan itu.

Dengan rumus-rumus, kepada satuharapan.com Nusa sedikit menjelaskan bagaimana cara sumur resapan bisa menyimpan air di dalam tanah. Misalnya saja jika kita mempunyai rumah yang luasnya 100 m2, sedangkan intensitas hujan dalam sehari 0,01388 m/hari, koefisien limpasan airnya ditetapkan sebesar 0,95.

Jika semua angka tersebut dikalikan hasilnya adalah 1,318 m3 air yang terbuang sia-sia. Itu adalah jumlah air yang terbuang dari satu rumah saja, bagaimana jika dikalikan dengan begitu banyaknya jumlah rumah di Jakarta.

Tetapi jika Jakarta memiliki dua juta sumur resapan, maka 2.000.000 dikalikan 1,318 m3. Hasilnya yaitu 2.637.200 m3 air bisa meresap ke dalam tanah, dan bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat sebagai sumber air bersih. Dengan membuat sumur resapan, seharusnya masyarakat kita tidak perlu lagi menggunakan jasa air PAM (Perusahaan Air Minum Negara).

Aturan Pergub

Kewajiban pembuatan sumur resapan ini sudah ada aturannya sejak diturunkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur No. 17 Tahun 1992, diperbarui dengan Peraturan Gubernur Nomor 68 Tahun 2005. Jadi setiap bangunan yang ingin memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) harus membuat satu sumur resapan.  

Sumur resapan merupakan teknologi lama di Indonesia, sudah diperkenalkan sejak zaman penjajahan Belanda. Seharusnya setiap rumah di Indonesia punya sumur resapan, termasuk gedung-gedung bertingkat.

Negara lain yang sudah menerapkan tempat penampungan air hujan, misalnya di  Korea. Setiap gedung wajib membuat tempat penampungan air (ground tank), di mana setiap 1.000 m2 luas bangunan, harus dibuatkan 1.000 m3 ground tank. Penampungan air hujan dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu air yang dari atap, dan air yang jatuh langsung ke trotoar dan jalan beraspal. Yang dari atap diproses jadi air bersih, ada juga yang diproses untuk keperluan pemadam kebakaran (fire system), sedangkan yang air hujan dari jalan ditampung dulu, kalau sudah tidak hujan baru dibuang sedikit-sedikit.

Selain Korea, ada juga negara Singapura, Thailand, Australia, dan negara lainnya, dimana teknologi yang digunakan kurang lebih sama.  

Teknologi Serupa Lainnya

Selain diresapkan ke dalam tanah, di perumahan ada teknik memanen air hujan (rainwater harvesting). Air hujan ditampung, kemudian sisa tampungannya baru diresapkan ke dalam tanah.

Teknik penampungan air lainnya, dilakukan dalam kapasitas besar yaitu pembuatan waduk atau dam yang disebut artificial recharge of groundwater. Bendungan atau waduk harus dibuat sebelum sungai.

Pada saat hujan besar, air ditampung di waduk terlebih dahulu, kalau sudah tidak hujan baru dibuka pelan-pelan untuk mengatur alirannya. Waduk selain untuk penampungan air agar tidak banjir, juga bisa dimanfaatkan untuk irigasi bagi perkebunan atau ladang warga sekitar.

Nusa memberikan contoh manfaat luar biasa dari waduk, misalnya di Wonogiri, Jawa Tengah, setelah ada Waduk Gajah Mungkur sudah tidak banjir lagi. Sungai Citarum juga memiliki tiga bendungan, Cirata, Saguling, Jatiluhur.

Di Jakarta sendiri, 12 sungai dianggap menjadi penyebab banjir, karena air yang melimpah saat musim hujan tidak ditampung terlebih dahulu. Ketika musim kemarau tiba, sulit mencari air bersih, belum lagi limbah yang dibuang ke sungai tersebut bisa menimbulkan masalah sosial.  

 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home