Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 18:33 WIB | Kamis, 28 Mei 2015

Buya: Berbeda dalam Persaudaraan, Bersaudara dalam Perbedaan

Dialog Kebangsaan: Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Pembicara dalam dialog ini Prof Dr Ahmad Syafii Maarif (tengah) dan Prof Dr Rochmat Wahab MPd MA (kanan). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Benturan ideologi (konsep) yang terus terjadi di Indonesia melahirkan berbagai fenomena. Salah satu dari sekian banyak ideologi (konsep) tersebut adalah benturan antara Islam dengan keindonesiaan (nasionalisme) dan kemanusiaan, bahkan antara Islam dan Pancasila.

Menurut Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, saat ini sudah tidak seharusnya mempersoalkan hubungan antara Islam, Keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsep tersebut seharusnya bisa senapas sehingga Islam yang berkembang di Indonesia dapat ramah dan terbuka.

“Saya tidak ada persoalan dengan ketiga konsep tersebut. Istilahnya, berbeda dalam persaudaraan, bersaudara dalam perbedaan,” demikian disampaikan Prof Maarif.

Pernyataan Prof Maarif tersebut tersaji dalam dialog kebangsaan yang bertajuk “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan” pada Kamis (28/5). Dialog yang digelar di Ruang Sidang Utama Rektorat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini menampilkan dua pembicara, yaitu Prof Maarif dan Prof Dr Rochmat Wahab MPd MA (Rektor UNY).

Prof Maarif menambahkan, baginya, Pancasila telah mewakili semua konsep kebangsaan dan kenegaraan yang ada. Bahkan, gagasan negara Islam yang diusung oleh kelompok-kelompok tertentu sebenarnya telah termaktub dalam Pancasila, hanya saja dengan pendekatan kultural.

“Dulu saya anti-Pancasila. Saya dukung ulama-ulama Islam. Tapi setelah saya belajar, maka saya berkesimpulan bahwa konsep negara Islam tidak ada, baik dalam Alquran maupun literatur klasik. Cukup negara Pancasila, dengan catatan nilai-nilainya tidak dikhianati, tapi diaplikasikan,” ucap pria yang akrab dengan panggilan Buya ini.

Buya meyakini Indonesia yang merupakan negara besar bisa menjadi milik bersama. Bagi Buya, Indonesia bukan milik kelompok tertentu atau bahkan milik individu tertentu. Bahkan, menurut Buya, orang yang tidak bertuhan sekalipun juga berhak untuk hidup di Indonesia.

“Sesungguhnya kita bisa hidup dengan Pancasila, khususnya sila pertama dan kelima. Bahkan orang yang tidak bertuhan pun berhak hidup di Indonesia karena Pancasila memuat unsur kemanusiaan dan keadilan,” ujar Buya.

Menyoal nasionalisme, Buya memiliki pendapat bahwa saat ini nasionalisme sudah tidak perlu dipertentangkan lagi dalam Islam. Pendapat sebagian kalangan yang menyatakan bahwa nasionalisme bisa membahayakan, bisa dibantah dengan mengawal nasionalisme tersebut dengan sila kedua dari Pancasila.

“Ada orang Islam yang berpendapat bahwa nasionalisme dianggap berbahaya. Sebenarnya nasionalisme itu tidak berbahaya dan tidak perlu dipertentangkan dalam Islam, dengan catatan jika dikawal dengan kemanusiaan dan keadilan,” tambah Buya.

Pada sisi lain, Prof Wahab menyoroti tentang masuk dan menyebarnya Islam di Indonesia. Menurut Rektor UNY itu, Islam bisa diterima karena memakai pendekatan kultural, bukan melalui jalan pedang.

“Islam adalah agama wahyu, tetapi dapat dibumikan dengan pendekatan kultural,” ia menjelaskan. 

Dialog kebangsaan yang merupakan kerja sama antara UNY, Maarif Institut, dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu merupakan refleksi dari buku yang ditulis oleh Prof Ahmad Syafii Maarif dengan judul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Buku setebal 403 halaman itu merupakan seri penerbitan dalam rangka 80 tahun Ahmad Syafii Maarif. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home