Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 15:55 WIB | Jumat, 14 Agustus 2015

Caleg Perempuan, Awal Era Keterbukaan di Arab Saudi

Pelatih mengajarkan cara membuat kampanye menarik pada sesi latihan pada calon legislatif perempuan Arab Saudi pada pemilu pertama mereka di Al-Nahda Philanthropic Society for Women di Riyadh. (Foto: Deema Almashabi/Bloomberg)

SATUHARAPAN.COM – Pada lokakarya pada musim panas di Riyadh, bakal calon legislatif dalam pemilihan lokal punya tujuan beraneka: satu ingin membantu anak-anak, satu ingin memperbaiki kondisi hidup di ibu kota Saudi, yang lain menjadi panutan politik.

Bahkan dalam sebuah kerajaan dengan hanya sedikit kesempatan untuk pemungutan suara, adegan ini menyimpan satu aspek yang tak terpikirkan hanya lima tahun yang lalu.

Di ruang dengan 21 calon perempuan, semua mengenakan jubah hitam yang wajib di bawah versi Wahhabi yang ketat dari Islam Sunni, mereka belajar cara merayu pemilih dan mengelola kampanye dan anggaran dalam pemilihan pertama yang terbuka untuk perempuan di negara yang dipimpin Raja Salman ini.

“Pesan saya selama kampanye saya sederhana: perubahan,” kata Haifa Al-Hababi, 36, yang sedang mempersiapkan diri menjadi caleg dan memiliki empat bulan untuk mengasah lapangan sebelum pemilihan Desember. “Mengubah sistem. Perubahan adalah kehidupan. Pemerintah telah memberi kita alat ini dan saya berniat untuk menggunakannya.”

Walaupun memberikan perempuan kesempatan untuk bersuara lebih sepertinya sekadar basa-basi, itu tetap menggarisbawahi makin penting perempuan punya peran lebih. Terutama, peran yang lebih besar dalam masyarakat dan, yang terpenting, ekonomi.

Dengan biaya hidup dan perumahan naik dan harga minyak kembali di bawah $ 50, hanya ada sedikit kekayaan untuk menyebar di antara tiga kali lipat populasi sejak booming minyak tahun 1970-an. Intinya adalah tempat perempuan tidak bisa lagi berada di rumah jika kaum laki-laki ingin mempertahankan standar hidup mereka.

“Ini sampai ke titik mereka membutuhkan dua pendapatan jika mereka ingin hidup dengan cara tertentu,” kata Stefanie Hausheer Ali, direktur di Atlantic Council’s Rafik Hariri Center for the Middle East di Washington. “Dalam 15 tahun, kita akan melihat lebih banyak dari pergeseran ini.”

Menghadapi Perlawanan

Raja Abdullah, yang memerintah dari tahun 2005 sampai kematiannya pada bulan Januari, perlahan-lahan memperluas hak-hak perempuan di tengah perlawanan dari ulama status quo.

Dia mengizinkan perempuan untuk tinggal di hotel tanpa surat dari wali laki-laki, sehingga lebih mudah bagi perempuan untuk melakukan perjalanan bisnis. Dia menunjuk deputi menteri pertama perempuan, membuka universitas coeducational pertama kerajaan dan menghapuskan karyawan laki-laki di toko lingerie dan make-up.

Meskipun banyak dari mereka yang bekerja, wanita masih hanya membuat 16 persen dari Saudi dengan pekerjaan dan account untuk 60 persen dari pengangguran

Dia juga menunjuk perempuan sebagai anggota badan penasihat negara dan memungkinkan atlet wanita untuk bersaing di Olimpiade di London pada tahun 2012 untuk pertama kalinya. Walaupun, tentu saja tubuh tertutup mereka kontras dengan pesaing. Penggantinya, Raja Salman, belum melakukan perubahan. Ia masih fokus pada kebijakan luar negeri Arab Saudi.

Akibatnya, pekerja perempuan yang memasuki angkatan kerja mencapai rekor, lonjakan 48 persen sejak tahun 2010, laporan tenaga kerja resmi tahun lalu menunjukkan.

Meningkatkan Ekonomi

“Reformasi ini menciptakan lapangan kerja dalam populasi nasional dan ada multiplier effect yang besar dalam perekonomian,” kata Monica Malik, kepala ekonom di Abu Dhabi Commercial Bank di Uni Emirat Arab. “Punya sekitar 50 persen dari tenaga kerja Anda yang tidak diberdayakan adalah sebuah beban.”

Meskipun makin banyak dari mereka yang bekerja, wanita hanya 16 persen dari tenaga kerja Saudi. Dan, 60 persen perempuan Arab adalah pengangguran, menurut laporan tenaga kerja.

Bahkan walau status mereka telah meningkat dari satu dekade yang lalu, kehidupan mereka tetap dibatasi. Mereka tidak bisa mengemudi, dan mereka perlu izin wali untuk bepergian atau jika harus dioperasi.

Foziah Abu Khalid, seorang profesor sosiologi politik yang membantu mengatur pelatihan ini, mengatakan ia berharap partisipasi perempuan dalam pemungutan suara berarti suara semua warga negara Saudi, bukan hanya setengah dari populasi, akan didengar.

“Menjadi anggota dewan kota bukan tujuan utama kami,” kata Abu Khalid. “Kami bercita-cita bahwa itu akan menjadi langkah pertama menuju kemitraan politik antara masyarakat dan negara.”

Pemerintah menyelenggarakan workshop untuk memperkenalkan perempuan tentang dasar-dasar pemilu dan cara mencalonkan diri, termasuk satu pada Rabu (12/8) di kota kawasan selatan Baha, menurut pejabat Saudi Press Agency. Lainnya, seperti acara di Riyadh, diselenggarakan oleh aktivis, amal dan lembaga non pemerintah.

Al-Hababi, caleg yang ikut lokakarya Riyadh, mengatakan kendala telah membuat wanita kurang percaya diri. Setelah kembali dari Inggris, tempat dia tinggal dan belajar arsitektur selama 10 tahun, para wanita akan merespons dengan “Apa gunanya?” Ketika ia ditanya mengapa mereka tidak hidup dengan cara yang mereka inginkan.

Wanita lain yang mencalonkan diri di Dewan Kota, Areej Almuallem, 32, mengatakan pencalonannya akan memungkinkan dia untuk menunjukkan bahwa perempuan pun berusaha membuat perbedaan. Dan itu “cukup bagi saya untuk merasa bangga dan terhormat,” katanya. (bloomberg)

Ikuti berita kami di Facebook


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home