Loading...
DUNIA
Penulis: Eben E. Siadari 08:58 WIB | Selasa, 17 November 2015

Cendekiawan Muslim: Melawan ISIS, Islam Harus Ubah Tafsir Jihad

Abdullahi Ahmed An-Na'im (Foto: blogs.ssrc.org)

ATLANTA, SATUHARAPAN.COM -  Untuk melawan ISIS, perubahan pertama yang harus dilakukan adalah di kalangan umat Islam sendiri. Umat Islam harus mengubah interpretasinya terhadap hukum syariah agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Hukum Syariah harus didiskusikan terbuka dan direformasi, sebab jika tidak, akan melahirkan perang saudara tanpa habis dan munculnya ISIS-ISIS baru.

Pendapat ini datang dari Abdullahi Ahmed An-Na'im, seorang cendekiawan Muslim yang bekerja sebagai guru besar Fakultas Hukum Emory University di Atlanta, Amerika Serikat. Ia melansir pendapatnya melalui sebuah tulisan cukup panjang di  newsweek.com.

"Liputan media tentang kekejaman teroris pada hari Jumat, 13 November di Paris, tampaknya justru akan mempromosikan mitos tentang kelompok militan Negara Islam (ISIS)," tulis An-Na'im.

"Padahal, yang diperlukan oleh kemanusiaan adalah mengungkap ISIS sebagai organisasi kriminal. Dan kebutuhan itu terutama diperlukan oleh komunitas di mana saya hidup, yaitu masyarakat Muslim," kata dia.

Menurut dia, dapat dipastikan mayoritas Muslim merasa jijik secara moral dan marah atas kekerasan yang dilakukan oleh ISIS. Ulama Sunni Mesir, ia tunjuk sebagai contoh, dengan cepat mengecam  teror itu sebagai tindakan mengerikan dan penuh kebencian.

Namun, An-Na'im mengatakan, yang jadi masalah adalah para pemimpin dan pendukung ISIS sendiri dapat dan mengambil sumber-sumber kitab suci serta sejarah untuk membenarkan tindakan mereka. Ini terjadi, kata dia, karena berdasarkan interpretasi tradisional Syariah, jihad secara agresif sah untuk menyebarkan Islam.

"Hukum itu mengizinkan pembunuhan  musuh yang ditawan. Jihadis diperbolehkan memperbudak wanita dan anak-anak musuh, seperti yang dilakukan ISIS terhadap wanita Yazidi di Suriah," tulis An-Na'im.

"Saya seorang cendekiawan Muslim dalam bidang Syariah. Ini adalah pendapat saya, bahwa klaim ISIS tentang legitimasi Islam hanya dapat diatasi dengan interpretasi alternatif pada hukum Islam," lanjut An-Na'im.

Islam Tidak Memiliki Tokoh Setara Paus

An-Na'im mengatakan kunci untuk memahami peran Islam dalam politik adalah bahwa tidak ada satu entitas otoritatif yang dapat menetapkan atau mengubah doktrin Syariah  bagi umat Islam atas masalah apa pun.

Di dunia Muslim, kata dia, tidak ada lembaga sejenis Vatikan yang memiliki otoritas seperti Paus. Dengan demikian, Syariah ditafsirkan oleh banyak komunitas yang berbeda (dari Sunni dan Syiah hingga Sufi dan Salafi). Hukum Syariah adalah produk  konsensus ulama antargenerasi dan pemimpin masing-masing komunitas.

Selain itu, kata dia, keyakinan dan praktik Islam secara fundamental ada pada masing-masing individu dan sukarela sifatnya. "Seorang Muslim tidak dapat bertanggung jawab atas pandangan dan tindakan orang lain," tutur dia.

Salah satu konsekuensi positif dari tidak adanya otoritas tunggal itu, kata An-Na'im, adalah dimungkinkannya untuk menentang dan menafsirkan ulang prinsip-prinsip Syariah.

Namun, di sisi negatif, setiap Muslim dapat membuat klaim tentang Syariah jika ia bisa membujuk massa kritis Muslim untuk menerimanya.

Salah satu contoh dari hal ini adalah bagaimana Ayatollah Ruhollah Khomeini menggunakan doktrin "wilayat al-faqih" (atau perwalian ahli hukum) untuk mengklaim wewenang dalam meluncurkan Republik Islam Iran pada tahun 1979.

Contoh terbaru adalah penciptaan ISIS oleh Abu Bakr al-Baghdadi dan pengangkatannya sebagai khalifah  penerus Nabi Muhammad, untuk membangkitkan keadaan yang telah berakhir 1.400 tahun yang lalu.

Diskusi yang Dinamis

Selama 300 tahun pertama keberadaannya, pemikiran Islam dapat dicirikan sebagai dinamis dan kreatif, dengan perbedaan interpretasi dari kitab suci  dibahas dan diperdebatkan di kalangan masyarakat dan generasi. Ijtihad, atau penalaran yuridis independen, secara eksplisit disahkan oleh Nabi Muhammad.

Beberapa kelompok Muslim modern, seperti Sisters in Islam, organisasi perempuan di Malaysia, melakukan ijtihad  untuk mempromosikan hak-hak asasi perempuan dari perspektif Islam. Bagi mereka yang menerima penafsiran Sisten in Islam, perempuan memiliki hak yang sama menurut hukum Syariah.

Tapi sayangnya, gerakan seperti Sister in Islam adalah minoritas.

Pada abad ke-10, lanjut An-Na'im, sebuah badan yang sangat canggih dalam prinsip-prinsip, metodologi dan  pemikiran tentang Syariah, telah mengambil bentuk dan meletakkan akar di kalangan masyarakat Muslim di seluruh dunia kuno, dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai "menutup Gerbang Ijtihad," untuk menunjukkan bahwa tidak ada ruang teologis untuk berpikir yuridis baru yang kreatif.

Jihad Ditafsir Ulang

Di bagian lain tulisannya, An-Na'im mengatakan interpretasi yang keras dan agresif ISIS tentang Syariah mengacu pada Alquran yang diturunkan di Madinah. Interpretasi itu berulang kali menginstruksikan umat Islam untuk saling mendukung dan memisahkan diri dari non-Muslim.

Ia juga mengatakan bahwa  kesulitan yang terkait dalam seluruh pembahasan ini adalah bahwa menurut Syariah, jihad hanya dapat diluncurkan oleh otoritas negara yang sah. Di sisi lain, ISIS mengklaim memiliki legitimasi Islam, tapi menjadi pertanyaan apa yang menjadi dasar klaim tersebut, siapa yang mencalonkan mereka, dan mengapa dan bagaimana seharusnya khalifah dari ISIS memiliki otoritas atas komunitas Muslim global.

Oleh karena itu, An-Na'im mengajukan alternatif cara pandang terhadap Syariah, yang melihat bahwa sumber Kitab Suci yang digunakan ISIS tersebut harus dipandang dalam konteks sejarah yang lebih luas.

Prinsip-prinsip lama itu, kata dia, mungkin relevan dan berlaku 1.400 tahun yang lalu, ketika perang di mana pun itu, jauh lebih keras daripada sekarang. Oleh karena itu, ketika itu solidaritas Muslim eksklusif (wala ') masih sangat penting untuk kelangsungan hidup masyarakat dan keberhasilan misi mereka.

Tapi hari ini, kata An-Na'im, yang benar adalah sebaliknya.

Hukum internasional modern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Piagam PBB 1945 (perjanjian universal yang mengikat) menegaskan kedaulatan yang sama atas semua negara, terlepas dari keyakinan agama, dan melarang akuisisi wilayah melalui perang agresif.

Sementara prinsip-prinsip ini dilanggar oleh kekuatan besar -- termasuk oleh AS / Inggris yang menginvasi  Irak pada tahun 2003 dan invasi Rusia dari Ukraina pada tahun 2014 -- adalah mustahil untuk negara mana pun, termasuk mereka yang mayoritas Muslim, menerima dan dipaksa menjadi negara Islam, seperti ISIS mengklaim memiliki mandat Islam yang harus dijalankan.

Agar pandangan alternatif Syariah ini dapat bangkit dan berakar melalui konsensus modern, kata An-Na'im, pertama-tama kalangan  Muslim harus mengakui dan mengatasi persoalan yang hanya menundukkan diri pada interpretasi tradisional Syariah, lalu mengabaikan pandangan alternatif yang akan mengutuk ISIS sebagai tidak Islami.

Salah satu titik awal untuk memulai itu, menurut An-Na'im, adalah berangkat dari pemikiran ulama Sudan, Ustadh Mahmoud Mohamed Taha. Taha mengusulkan untuk menyangkal prinsip-prinsip tertentu dari Syariah yang memberi otorisasi jihad agresif, perbudakan dan subordinasi perempuan dan non-Muslim dengan lebih bersandar pada Alquran yang diturunkan di Mekkah.

Misalnya, pada ayat 16: 125 dikatakan: "Menyebarkan jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan saran damai, dan berdebat dengan mereka dengan cara yang baik" (lihat juga ayat 17:70, 49:13 dan 88: 21-22).

Menurut Taha dalam bukunya, The Second Message of Islam, prinsip Syariah yang didasarkan pada Alquran yang diturunkan di Madinah merupakan respons terhadap kondisi historis Arab di abad ketujuh. Menurut dia, sekarang ini prinsip Syariah versi Alquran yang diturunkan di Mekkah,  lebih dapat diterapkan karena kemanusiaan pada umunya sudah siap menerapkan standar yang diharuskannya.

Menurut An-Na'im, ISIS yang memproklamirkan diri sendiri sebagai kekhalifahan Islam, hanya bisa bertahan hidup  dengan melakukan perang terus-menerus. "Menurut saya, ISIS akan meledak atau runtuh dalam perang saudara total  karena tidak memiliki sistem politik yang layak untuk berkuasa secara damai atau melakukan peralihan kekuasaan."

Tetapi, lanjut dia, ketika ISIS runtuh, dunia akan menghadapi lagi munculnya ISIS baru. Dan itu hanya akan bisa lenyap apabila umat Islam mampu secara terbuka membahas dan mereformasi Syariah.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home