Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 11:16 WIB | Rabu, 24 Februari 2016

Cinta Dalam Sekotak Potehi

Purwanto, orang Jawa mendalang Potehi
Cinta Dalam Sekotak Potehi
Anak-anak menyaksikan pertunjukan wayang potehi pada Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta 2016 di Kampung Ketandan Yogyakarta, Jumat (19/2). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Cinta Dalam Sekotak Potehi
Dalang Purwanto menyiapkan wayang potehi sesaat sebelum pementasan.
Cinta Dalam Sekotak Potehi
Suasana belakang panggung (backstage) pementasan wayang potehi. Purwanto (kaos abu-abu) dibantu Widodo (kaos putih) dan pemain musik pengiring.
Cinta Dalam Sekotak Potehi
Maestro tari Didik Nini Thowok menyempatkan diri menyaksikan pementasan wayang potehi pada penutupan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta 2016, Senin (22/2).

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kampung Ketandan Yogyakarta dalam 11 tahun terakhir setiap penyelenggaraan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta menjadi langganan tetap bagi Paguyuban Fu He An untuk mementaskan wayang potehi (Po Tay Hie). Kelompok wayang potehi yang berasal dari Klenteng Hong San Kiong Kec. Gudo, Kab. Jombang (Jawa Timur) merupakan kelompok wayang potehi tertua di Indonesia.

Pada PBTY 2016, mulai dari 18-22 Februari selama lima hari Paguyuban Fu He An mementaskan lakon Sie Djin Koei Tjeng See yang bercerita tentang penyerangan Jenderal Sie Jin Koei selama tiga tahun ke wilayah barat. Dalam pementasan berdurasi dua jam setiap malamnya, dalang Purwanto memainkan Sie Djin Koei Tjeng See secara bersambung. Keterbatasan waktu yang hanya lima hari, membuat Purwanto memadatkan cerita tanpa mengurangi alur cerita yang ada. Lakon Sie Djin Koei yang banyak disukai masyarakat dalam perkembangannya dimainkan juga dalam kethoprak Joko Sudiro.

Mendalang Secara Otodidak

"Saya belajar wayang potehi (Poo Tay Hie) tahun 1980 saat masih duduk di bangku madrasah tsanawiyah di Gudo, Jombang. Paman saya dalang wayang potehi. Dari beliaulah saya memulai belajar dengan mengenal seluruh alat yang dimainkan. Berlanjut menjadi pembantu dalang mempersiapkan wayang yang akan dimainkan. Dari sini saya mulai mengenal karakter-tokoh wayang, bagaimana memainkannya, alur cerita, sekaligus dialog. Kalau saya hitung, saya nyantrik mendalang pada paman saya sekitar 8 tahun," tutur Purwanto menceritakan awal kecintaan pada wayang potehi saat ditemui satuharapan.com di sela-sela acara pementasan wayang potehi di Kampung Ketandan Yogyakarta dalam Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta 2016, hari Jumat (19/2) malam.

Purwanto mempelajari cara memainkan potehi secara otodidak karena sering mendampingi pamannya. Tidak ada pelajaran khusus yang diberikan, hanya dari kebiasaan berada di bilik panggung potehi itulah dia mengamati, mempelajari, menghapalkan alur cerita, dialog, berikut penggunaan kostum wayang serta jenis musik pengiring. Sesekali pamannya memberikan arahan saat Purwanto latihan sendiri.

Di Klenteng Hong San Kiong, Gudo-Kab. Jombang, Purwanto tergabung dalam Paguyuban Wayang Potehi Fu He An pimpinan Toni Harsono (Tok Hok Lay), dan mengawali pertunjukan perdananya setelah ngenger selama delapan tahun. Lelaki Kelahiran Gudo, Kabupaten Jombang 51 tahun silam lebih dari tiga puluh tahun hidupnya dihabiskan bergelut dunia wayang potehi, berkelana berpindah-pindah dari satu klenteng ke klenteng lainnya untuk memainkan wayang potehi.

Cerita dalam wayang potehi banyak diambil dari kisah klasik legenda Tiongkok semisal Sie Djin Koei Tjeng Tang/See. Dalam perkembangannya saat ini wayang potehi sudah memainkan dari novel-novel populer semisal Se Yu yang terkenal dengan tokohnya Kera Sakti (Sun Go Kong). Begitupun durasi dan modifikasi pementasan disesuaikan dengan penonton dengan pemadatan cerita. "Jika dimainkan di klenteng (kisah itu) bisa berhari-hari baru selesai dimainkan. Saya sendiri pernah mendalang selama dua bulan non-stop. Agar penonton tidak bosan, dibuat dalam episode secara bersambung dalam pementasan dua jam sekali pentas, disambung besok. Begitu seterusnya sampai selesai. Humor menjadi salah satu daya tarik agar penontonton tidak bosan. Disini dalang dituntut untuk lebih kreatif dan tanggap dengan suasana pementasan," tutur Purwanto.

Lakon-lakon wayang Potehi lain yang sering dipentaskan adalah Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, Poei Sie Giok, Loo Thong Sauw Pak, Sie Kong, Ong Kiau Li Tan.

Pementasan wayang potehi di Indonesia sejak lama dipentaskan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut untuk memudahkan penonton yang tidak mengenal bahasa Mandarin/Hokkian. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia juga untuk menarik minat masyarakat secara umum.

Potehi sendiri berasal dari kata poo (kain), tay (kantong), hie (wayang). Secara sederhana potehi diartikan wayang kantong atau boneka kantong dimana untuk memainkan, dalang memasukkan jari tangan ke dalam kantong kain dan menggerakkan sesuai alur cerita. Musik yang mengiringi disesuaikan dengan peran/adegan yang dimainkan.

Dalam pementasan dalang dibantu asisten yang menyiapkan serta memainkan wayang jika memerlukan adegan dengan tokoh lebih dari dua. Dalam hal penyampaian kisah, dalang yang menyampaikan sementara asisten menyiapkan dan membantu dalang menampilkan tokoh-tokoh sesuai alur cerita yang berjalan berikut atribut tokoh wayang sesuai adegan berjalan.

"Dalam beberapa tahun ini saya didampingi Widodo. Dia sendiri juga seorang dalang (potehi). Musik pengiring wayang dimainkan oleh 3-4 orang. Semua bisa memainkan alat yang ada, sehingga bisa bergantian. Seorang pemain musik bisa memegang 2-3 alat musik dalam waktu bersamaan. Sama seperti asisten dalang, pemain musik pun sudah hapal alur cerita dan musik apa yang dimainkan. Musik pengiring perang berbeda dengan pengiring adegan lainnya," kata Purwanto.

Lebih lanjut Purwanto menjelaskan alat musik yang digunakan meliputi Tambur (tongko), gembreng besar (toa loo-buh), gembreng kecil (siau loo-hoen), rebab (hian-a), siter (yang jin), ngik ngok (kol hu), terompet/slompret (thua jwee). Sementara kostum dalang dan pemain musik bebas mengingat mereka memainkan wayang potehi dalam bilik yang tidak terlihat oleh penonton.

"Dalam satu kotak terdiri lebih dari seratus wayang potehi. Harga satu wayang mulai Rp. 125.000 tergantung bahan, ketelitian pengerjaan, dan tingkat kesulitan tokoh wayang. Itu belum termasuk kostumnya." Purwanto menjelaskan. Sekali tanggapan dengan durasi 2 jam, satu kelompok dibayar mulai Rp. 800.000 tergantung kesepakatan diluar akomodasi dan transportasi yang ditanggung penanggap.

Pelarangan dan Pencabutan Larangan

Akhir tahun 70-an hingga akhir 90-an menjadi masa suram perkembangan wayang potehi di Indonesia. Dalam Inpres No. 14 Tahun 1967 disebutkan, tidak dibenarkan melaksanakan ibadah yang berbau leluhur (Tiongkok) secara mencolok, tetapi boleh dilaksanakan secara internal di lingkungan sendiri. Namun dalam kenyataannya, pada masa itu untuk mendapatkan ijin pertunjukan bukanlah perkara mudah. Tahun 2000 melalui Keputusan Presiden No. 6/Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No. 14/1967. Tentunya ini merupakan angin segar bagi pegiat wayang potehi di Indonesia untuk mengembangkan kembali kesenian yang sempat terbengkalai itu.

Ditemui pada penutupan PBTY 2016, hari Senin (22/2) malam, Toni Harsono menjelaskan bahwa saat ini mulai ada regenerasi di grup wayang potehi Fu He An (Gudo, Jombang) meskipun diakuinya masih perlu waktu. Keterputusan regenerasi yang cukup lama semenjak pelarangan berdampak pada kaum muda untuk sekedar tahu apalagi sampai menumbuhkan minat memainkan wayang potehi. Meskipun begitu Toni masih cukup optimis dengan mulai tumbuhnya minat kaum muda pada wayang potehi. Ini bisa dilihat dari jumlah pengunjung dari kaum muda cukup banyak dalam setiap pementasan wayang potehi.

Memperkenalkan kembali wayang potehi kepada masyarakat luas dengan sistem jemput bola, mungkin bisa jadi salah satu pilihan. "Tahun 2016 rencananya kami akan melakukan tour dari klenteng ke klenteng, dari kota ke kota dimulai dari Jawa Timur hingga Jawa Barat dan Banten untuk mementaskan wayang potehi. Kebetulan ada pihak yang berkenan memfasilitasi dengan memodifikasi mobil box menjadi panggung yang bisa sekaligus pengangkut peralatan pementasan (mobile stage). Targetnya wayang potehi bisa dikenal lagi di masyarakat luas." kata Purwanto menjelaskan rencana tour wayang potehi ke seluruh Jawa.

Tentang regenerasi, senada dengan Toni Harsono, Purwanto menyoroti bahwa perlu kerja keras dari seluruh pihak mengingat masih minimnya peralatan, kurangnya literatur dan referensi wayang potehi yang bisa diakses, tantangan menumbuhkan minat di kalangan generasi muda, hingga ruang bagi pengembangan wayang potehi di Indonesia. Setidaknya, dalang potehi di Indonesia yang bisa menjadi salah satu sumber referensi jumlahnya sedikit. Dalam catatan Purwanto, saat ini dalang potehi yang aktif berjumlah 7 orang termasuk dirinya. Diluar kendala itu, saat ini belum ada lembaga pendidikan yang memberikan pengajaran tentang potehi secara tertata. Dalang potehi terlahir dari kecintaan pada sebuah kotak beserta wayang di dalamnya secara otodidak.

Potehi, Kegembiraan bagi Anak-anak

Indra Budiyanti 45 tahun, warga Wiyung, Surabaya berdarah campuran Jawa-Tionghoa yang menghabiskan masa kanak-kanak hingga remaja di Kabupaten Rembang Jawa Tengah menceritakan kenangan masa kecilnya tentang wayang potehi adalah sebuah kegembiraan anak-anak.

Indra terakhir menyaksikan pementasan wayang potehi sebelum dibatasi pementasannya pada awal tahun 1980-an saat kelas 2-3 sekolah dasar. Untuk alur cerita, Indra baru memahami saat sudah menjelang dewasa. Pertunjukan wayang potehi baginya adalah hiburan yang menyenangkan.

Dalam keterangannya, Selasa (23/2) tentang pementasan wayang potehi pada masa itu Indra mengatakan lebih banyak mendengar cerita dari mamahnya Tjhie Nee Hwa Nio (64). Penanggap pada masa itu lebih banyak dari perorangan meskipun pementasannya di klenteng. Klenteng Hok Tek Tjeng Sin Sugihan, Sumberjo-Rembang menjadi pilihan warga Tionghoa di Rembang untuk mementaskan wayang potehi. Tanggapan dilakukan secara berpatungan, semisal seorang mampu menanggap untuk dua hari akan menawarkan kepada yang lain hingga terkumpul untuk beberapa hari bahkan hingga sebulan lebih.

Tanggapan wayang potehi dilakukan tiap pek gwe (bulan kedelapan penanggalan Tionghoa) atau dalam penanggalan masehi jatuh pada bulan Oktober. Pertunjukan dilakukan dalam 2 sesi, sore hari pada pukul 15.00-17.00 biasanya banyak ditonton anak-anak karena dalang lebih banyak menampilkan kreativitasnya dalam bentuk hiburan, humor, dan atraksi potehi dengan suara yang meriah. Sementara sesi kedua pada malam hari pukul 19.00-21.00. Dalam format pementasan yang bersambung, sesi malam hari menjadi tontonan yang ditunggu-tunggu agar tidak ketinggalan cerita.

Dalam komunikasi budaya, pemisahan pementasan menjadi dua sesi menjadi penting dimana ada keinginan untuk menyampaikan cerita berikut pesan-pesan dan filosofi pementasan secara utuh, di sisi lain merupakan media yang efektif untuk memperkenalkan wayang potehi bagi kaum muda terutama anak-anak.

Selain dari uang tanggapan, dalang beserta anggotanya biasanya masih mendapat tambahan dari sumbangan sukarela melalui umplung (kaleng) yang diedarkan oleh penonton sendiri. Dari cara penanggapan wayang potehi secara patungan, pemilihan sesi pementasan, sumbangan sukarela, ada semangat kebersamaan, komunikasi berbagai arah, kerelaan, sebagai sebentuk dialektika dalam berbagi kegembiraan secara bersama-sama. Dan tentunya kegembiraan bagi anak-anak.

Saat ini, ketika pintu telah dibukakan untuk pengembangan seni-budaya Tionghoa di Indonesia, membayangkan pementasan wayang potehi dalam format wayang wong/orang, Dagelan Mataraman, Kethoprak Humor, Opera Van Java, dan lain-lain ataupun sebaliknya. Mengapa tidak? Basiyo saja punya lakon Sampek Engtay.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home